Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

arsitekbagusAvatar border
TS
arsitekbagus
Hidup nomaden keliling dunia ..(yg pengen kek gini masuk gan..)
Sudah hampir empat tahun Dina dan Ryan “Dua Ransel” keliling dunia dan hidup berpindah tempat tanpa punya rumah untuk ‘pulang’. Dan sepertinya, saat ini ‘pulang’ tak ada dalam rencana mereka.
Dua Ransel saat berada di Greenland yang merupakan pulau terluas di dunia.

Banyak orang mengalokasikan waktu dan dana khusus untuk traveling. Waktu inilah yang digunakan untuk lari sejenak dari rutinitas harian yang terkadang menjenuhkan. Saat kondisi fisik dan jiwa sudah segar kembali, berarti saatnya pulang. Begitu seterusnya. Masih sedikit yang berani traveling secara konstan tanpa ‘kewajiban’ untuk pulang. Hidup menjadi seorang nomad.

Pasangan suami istri Dina dan Ryan, adalah sedikit yang berani—mungkin nekad—memilih jalan itu. Mereka melepaskan banyak hal yang mereka punya, terutama rumah beserta segala isinya, lantas berkelana hanya dengan bermodalkan tas ransel saja. Dari situlah mereka kemudian menemukan nama “Dua Ransel” kini menjadi identitas mereka di dunia perjalanan.

Semua berawal pada tahun 2008 saat keduanya tinggal di Kanada dan sama-sama tenggelam dalam kesibukan. Dina kuliah mengejar gelar Master, dan Ryan sering bolak-balik ke luar negeri untuk urusan kerja. Suasana yang tadinya hangat dan penuh interaksi, perlahan menjadi renggang dan dingin. Karena tak ingin memperlarut keadaan, Dina merasa harus cepat bertindak. Ide traveling pun tercetus, namun bukan jalan-jalan biasa dalam waktu singkat yang ada di pikiran mereka. “Saat itu”, pikir Dina, “tabungan kita cukup untuk traveling satu tahun.”

Semua dipersiapkan dengan matang, termasuk Ryan berhenti kerja, menjual apartemen (isinya sebagian dijual dan diberikan kepada teman dan keluarga), dan ‘mengemas’ segala keperluan hidup untuk muat ke dalam satu ransel. “Kita memang sudah siap ‘nyebur’. Kalau nggak begitu, kita nggak akan jalan-jalan. Lagipula kita juga sudah bosan di Kanada.” ujar Dina yang saat datang ke kantor Wego Indonesia untuk wawancara mengenakan kaos bergambar barong Bali pemberian salah seorang pembaca blog Dua Ransel. Sayangnya Ryan berhalangan hadir karena sedang tidak berada di Jakarta.

Badan mungil bukan penghalang backpacking dengan ransel seberat 13 kilogram!

Rencana backpacking yang awalnya dimaksudkan sebagai career break, ternyata berjalan lebih mulus dari yang diduga. Dua tahun pertama, Ryan masih bekerja untuk kantornya sebagai seorang software engineer, meski semua pekerjaan dilakukan di perjalanan. Sementara Dina yang sebelumnya bergelut di laboratorium kimia otomatis banting stir menjadi seorang penulis perjalanan dan aktif menulis di blog milik mereka duaransel.com. Perjalanan yang awalnya hanya direncanakan selama 1 tahun molor menjadi batas waktu yang tidak ditentukan.

“Di tahun ke dua kita mikir, begini juga bisa. Akhirnya kita memutuskan untuk kerja sambil traveling.” cerita Dina mengenai perubahan rencana yang kemudian membawa Dua Ransel melanglang-buana selama hampir 4 tahun. Kini, sudah lebih dari 40 negara mereka sambangi.

Traveling, terlebih lagi backpacking dalam waktu lama memerlukan persiapan khusus. Yang paling utama harus dimiliki adalah tas ransel. Beberapa hal yang diperhatikan Dina dalam memilih ransel antara lain bahan dan jahitannya berkualitas tinggi, ada rangka internal yang dapat membantu distribusi berat dari bahu dan punggung ke pinggul, dan ada sabuk di bagian dada dan pinggang. Selain itu, dalam blognya Dina juga menyarankan untuk memilih ukuran ransel sekecil mungkin (40-50 L) yang dapat menampung kebutuhan kita. Ukuran ransel yang terlalu besar membuat kita tak leluasa bergerak dan memperlambat langkah selama di perjalanan.

1) Ransel seberat 13 kg ini lah yang menemani Dina keliling dunia. 2) Agar tak berantakan, Dina mengatur barang-barangnya di dalam kantong-kantong kecil 3) Total pakaian yang dibawa hanya sekitar 9 potong saja. 4) Pakaian digulung dan diikat karet agar hemat ruang dan tidak mudah kusut.

“Perlengkapan untuk pergi seminggu dan setahun nggak ada bedanya!”

Wego sukses membujuk Dina untuk membongkar isi tas ranselnya yang saat perhelatan #WegoHangout kemarin menjadi properti foto wajib traveler lain yang hadir. Perawakan Dina yang tergolong mungil tangguh menggendong ransel seberat 13 kilogram yang selalu menemaninya selama ini. Hampir 4 tahun hidup mengembara, Dina sadar bahwa ia harus disiplin dalam berbagai hal, termasuk barang bawaan. “Perlengkapan untuk pergi seminggu dan setahun nggak ada bedanya!” ujarnya diiringi gelak tawa.

Untuk pakaian, Dina hanya membawa 9 potong pakaian yang terdiri dari 4 kaus lengan pendek, 1 cardigan lengan pendek, 1 baju renang, 1 celana pendek, 2 tanktop. Sisanya adalah pakaian yang ia kenakan, termasuk celana kargo berwarna abu-abu kehijauan yang selalu dipakai setiap hari saat traveling. “Kantongnya cukup besar untuk menampung barang-barang, seperti dompet, paspor, dan lain-lain. Soalnya saya lebih senang jalan-jalan nggak bawa tas.” jelasnya antusias.

Sebagai tambahan, ia juga membawa perlengkapan berbagai cuaca seperti payung dan coat yang bisa dipakai hingga suhu 0° Celcius. “Saat sedang ke negara yang sedang bersuhu di bawah 0° Celcius, kami terpaksa beli coat tebal di sana. Setelahnya kami tinggalkan di tempat itu atau kasih ke yang membutuhkan saat akan traveling tempat berikutnya lain.” ujar Dina yang berambisi untuk diet ransel menyaingi Ryan yang barang bawaannya hanya seberat 7 kilogram saja.

Ryan ber-scuba diving bersama sang kakak ipar dan pemandu di Bunaken, Sulawesi Utara.

Selain charger dan adaptor untuk berbagai gadget, barang wajib Dina lainnya adalah obat anti alergi. Perempuan asli Surabaya ini mengidap alergi yang cukup akut terhadap udang. Tablet saja tidak cukup, sehingga Dina juga membawa obat alergi injeksi. Selain itu, payung, sepatu datar, dan kacamata snorkeling adalah barang-barang yang bisa kita temukan di dalam tasnya.
Mempersiapkan destinasi berikutnya

Saat ditanya apa pertimbangan saat menentukan destinasi selanjutnya, dengan semangat Dina menjawab “Budget!”. Ia kemudian bercerita soal pengalamannya di Amerika Serikat. Meskipun saat itu ia bernafsu untuk menjejakkan kaki di Amerika Selatan, namun karena biaya transportasinya mahal, pasangan suami istri ini memutuskan untuk pindah benua yang ternyata biayanya tergolong lebih murah.

“Sewaktu di Kopenhagen, Denmark, juga begitu. Karena nggak tahan sama biaya hidup di sana yang mahal banget, kita mutusin untuk pindah. Orang pikir pindah ke negara tetangga naik bis atau kereta biayanya akan lebih murah, tapi ternyata naik pesawat ke Yunani justru lebih murah!”

Dina di antara bebatuan besar di Tanjung Tinggi, Belitung.

Dina dan Ryan menetapkan strategi yang sama untuk urusan penginapan. Bagi mereka yang juga bekerja sambil traveling, faktor utama memilih penginapan selain murah adalah memiliki koneksi internet. “Di Asia tenggara banyak hostel yang punya kamar pribadi. Kalau selisih harganya nggak jauh dengan tipe dormitory, kami pilih itu karena lebih tenang untuk kerja.”

Semua informasi mereka dapatkan di internet. Ryan yang menurut Dina “terobsesi” dengan harga murah, pernah membuat mereka sukses menginap di hotel bintang 4 yang harganya lebih murah daripada hostel yang paling murah.

Durasi tinggal di suatu daerah tidak dapat dipastikan, bisa hanya 1 hari atau bahkan berbulan-bulan. Semua tergantung apakah mereka senang dengan tempat itu, jumlah pekerjaan yang harus diselesaikan, banyak tujuan yang bisa dieksplor atau tidak, dan faktor-faktor lainnya.

Jika kebetulan ada waktu luang, keduanya akan menjelajahi objek wisata alam di tempat mereka berada. Begitu cintanya terhadap alam, pernah Dina dan Ryan terpaksa berpencar karena sang suami membutuhkan koneksi internet untuk bekerja.

Salah satu daerah favorit Dina adalah Lopburi, Thailand. Kawasan percandian ini terletak sekitar 150 Km ke arah timur laut kota Bangkok. Dina yang senang dengan suasana rustic, tak keberatan berada di penginapan yang usang dan dikelilingi monyet-monyet liar daerah itu, hanya untuk menikmati pemandangan alam dari lantai tertinggi penginapan tersebut. “Lucunya, penginapan terjelek di daerah itu justru menyuguhkan pemandangan yang paling indah dibandingkan dengan penginapan yang bagus dan mahal.” cerita Dina sumringah.

Berbeda dengan traveler pada umumnya, Dina mengaku tak lagi traveling membawa misi tertentu, misalnya mengunjungi pasar lokal untuk melihat geliat aktivitas harian penduduk setempat. Dina kini membebaskan dirinya tanpa daftar kunjungan wajib atau itinerary yang kaku. “Misi-misi gitu sudah lewat masanya. Sekarang semacam nggak perlu lagi pembuktian diri.” ujarnya singkat.

“Dua Ransel” saat menyepi di kawasan Glenorchy yang sepi dengan berkendara campervan.

Dari seluruh negara yang pernah disambangi, yang paling berkesan bagi Dina adalah Selandia Baru dan Laos. Sewaktu di Selandia Baru, Dina dan Ryan memilih untuk berkendara dengan camper van ke pulau di bagian selatan. Karena saat itu sudah lewat masa liburan (off season), sejauh mata memandang hanya mereka berdua turis yang ada di wilayah Glenorchy tersebut. Menikmati pemandangan alam dan menghabiskan waktu berdua saja di sebuah pulau, memberikan pengalaman personal yang begitu mengena di hati Dina.

Sementara Laos memberikan pengalaman yang sedikit berbeda. Saat itu itu keduanya mengunjungi desa yang tak jauh dari tempat ditemukannya ranjau-ranjau darat yang masih aktif. Di sanalah Dina bertemu dengan keluarga yang anaknya masih berusia dua bulan namun menjadi korban penderitaan. Di Laos pula, Dina dan Ryan pernah ditolong penduduk lokal saat tersesat. Keramahan orang Laos yang menurut Dina “ramah yang sederhana”.
Hidup tidak (harus) normal

Pengalaman yang mereka dapatkan selama hampir 4 tahun hidup di perjalanan otomatis mengubah cara pandang dan perilaku dalam menyikapi hidup. Karena tidak punya rumah untuk ‘pulang’, mereka jadi lebih cepat beradaptasi di lingkungan baru. “Kami nggak punya tempat untuk fallback,” ujar Dina, “kemana pun kita berada, ya di situ rumahnya. Bagi saya, Ryan adalah rumah, begitu juga sebaliknya.” Sebelumnya, Dina dengan malu-malu mengatakan bahwa boneka penguin biru yang kami pergoki ada di dalam tasnya adalah ‘pengganti’ Ryan yang saat wawancara ini berlangsung sedang tidak berada di Indonesia.

Bersenda gurau bersama backpacker mancanegera di Taman Nasional Masaya, Nikaragua.

Lebih lanjut Dina menambahkan, ia dan suami jadi lebih mudah menerima ide dan pendapat orang lain, dan tidak judgemental. Ia menganggap semua kesulitan yang dihadapi sebagai bagian dari pengalaman yang memperkaya diri.

“…hidup itu nggak harus normal, yang penting baik.”

Dina melanjutkan ceritanya saat terjatuh di sebuah kuil di Thailand yang menyebabkan tak bisa berjalan selama hampir dua bulan. Atau pengalaman lain yang hampir menyenggut nyawanya. Tahun 2011 Dina dan pemandunya terseret arus di Honduras. Berjam-jam lamanya mereka mengapung di tengah laut. Beruntung Ryan berhasil mencari pertolongan sebelum matahari tenggelam. Setahun setelahnya, Dina dan Ryan kembali hampir berhadapan dengan maut saat memanjat tebing vertikal di Filipina hanya dengan panduan dari penduduk lokal. Tanpa pemandu profesional dan alat pengaman.

“Jadi, kalau banyak orang yang bilang paspor sama dengan nyawa, saya nggak setuju. Kalau hilang paspor ya pergi ke kedutaan (besar) negara kita dan minta paspor baru. Kalau nyawa mana bisa begitu.” ujar Dina serius.

Macau menjadi salah satu dari 40 negara yang sudah mereka sambangi.

Setelah hampir 4 tahun hidup di perjalanan, traveling sudah menjadi cara hidup bagi duo ini. Mereka bekerja, berlibur, dan hidup dengan secara berpindah-pindah.

Dina pun tak mau repot menyematkan misi besar ‘pencarian’ dalam cara hidup mereka yang nomadic ini. “Banyak yang bilang traveling itu untuk mencari atau mengerti diri sendiri. Kalau nggak begitu, nggak dianggap dalam. Kami justru sekarang jadi mengerti bahwa inilah yang kami suka untuk lakukan dalam hidup.” tukas Dina.

Saat ini, ia hanya ingin benar-benar menyerap kehidupan dari setiap persinggahan yang mereka lakukan. Saat ditanya apakah ada keinginan untuk kembali hidup ‘normal’ dengan menetap di suatu tempat, Dina menjadwab santai, “Hal itu bukan nggak mungkin. Kami juga nggak akan memaksakan traveling kalau kami sendiri sudah tidak senang melakukannya.”

“Yang pasti, hidup itu nggak harus normal, yang penting baik.” ujarnya mengakhiri obrolan.

***

Ikuti cerita perjalanan Dina dan Ryan serta tips seputar backpacking di blog duaransel.com, atau berinteraksi dengan mereka di Twitter @DuaRansel, atau di Facebook dan Instagram “Dua Ransel”.

fotonya
http://www.wego.co.id/berita/dina-du...a-penuh-waktu/

emoticon-Matabelo ini keknya keren untuk di jalanin gan...
sayang sekali ane lum bisa ngejalaninnya...soalnya lum punya partner ..emoticon-Ngakak

agan agan sendiri begimana...kepikiran pengen nomaden gak ?....emoticon-I Love Indonesia (S)
0
4.6K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan