Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ryan.manullangAvatar border
TS
ryan.manullang
Ketika Perguruan Tinggi Menjadi Pabrik Kapitalisme

foto via: thecommune.files.wordpress.com

Tentang Institusi Pendidikan Tinggi

Pandangan bahwa kampus adalah wahana pendidikan untuk ‘memanusiakan manusia’ perlahan memudar. Hal ini seiring terkuaknya berbagai macam kontroversi di dalamnya, seperti proyek-proyek kerjasama dengan berbagai macam perusahaan, waktu studi yang semakin ketat dan singkat, serta upaya-upaya menormalisasi kehidupan kampus agar sesuai dengan karakter produk yang akan dihasilkannya: pekerja yang patuh dan terampil.
Berubahnya kapitalisme dari bercorak industri menjadi pasca-industri, turut mengubah tatanan global. Pasokan tenaga kerja ‘kerah putih’ dibutuhkan secara besar-besaran. Karena itu peranan Universitas dan lembaga pendidikan sejenis menjadi semakin vital sebagai pemasok. Dalam posisi ini, kampus senantiasa berusaha mengintegrasikan diri ke dalam tatanan ekonomi global sebagai perusahaan sektor pendidikan. Ini kemudian menempatkan mahasiswa ke dalam dua posisi yang saling berhubungan: sebagai pekerja, sekaligus komoditi.
Berbeda dengan kapitalisme industrial yang hanya menekankan kerja-kerja kampus sebagai sarana produksi pasokan pekerja cadangan semata, di dalam kapitalisme-kognitif kampus berperan memapankan bentuk masyarakat baru yang berbasis informasi, komunikasi, teknologi canggih. Hal ini ditempuh melalui aspek-aspek immaterial (kreativitas, ekspresi, ilmu pengetahuan, dsb), dimana komputerisasi, proses digitalisasi, bioteknologi, serta ilmu-ilmu sosial lainnya mampu mendukung aktivitas pasar dan menjadi semakin dibutuhkan oleh industri.
Karenanya, kampus berperan sebagai pabrik yang mengolah pasokan tenaga kerja untuk semakin cerdas dan cenderung sesuai dengan tatanan masyarakat baru ini. Sederhananya, di dalam tatanan ekonomi global yang berbasiskan informasi dan teknologi, para pekerja yang menguasai aspek-aspek kognitiflah (immaterial) yang paling dibutuhkan.
Kecenderungan berkembangnya kapitalisme-kognitif pun mengharuskan kampus untuk bisa segera mengatur ulang dan memastikan posisinya di dalam tatanan ekonomi global. Konsepsi mengenai Research University pun mulai diterapkan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Sistem pendidikan pun lantas berbasis penelitian, mengingat hasil-hasil riset pun turut menjadi salah satu produk kampus yang bakal laku keras di pasaran.

Konsep ini merupakan hasil privatisasi dan korporatisasi kampus yang akhirnya bertransformasi menjadi perusahaan yang bergerak dalam industri pendidikan yang juga menghasilkan komoditi berupa sarjana, instruktur, dan pekerja kerah putih yang kompeten dan teralienasi satu sama lain. Untuk menunjang terciptanya atmosfir tersebut, maka diadakanlah berbagai macam pelatihan-pelatihan yang dianggap membantu tertanamnya aspek-aspek kognitif ke dalam diri para pelajarnya. Mulai dari diadakannya maka kuliah berbasis bisnis seperti kewirausahaan, seminar-seminar MLM (Multi-Level Marketing), dan rutinnya kegiatan ‘bursa kerja’ (job fair).
Itulah mengapa kurikulum, aturan-aturan akademik, serta para fasilitator menjadi salah satu instrumen yang dibutuhkan dalam menciptakan kondisi yang sesuai untuk memproduksi komoditi. Kerasnya aturan beserta sanksi akademik di kampus, yang terlihat jelas dalam beberapa tahun belakangan ini, merupakan indikasi bahwa lingkungan kampus memang didesain sedemikian rupa untuk menyamai lingkungan kerja, layaknya pabrik-pabrik yang memiliki jam kerja dan pengawasan yang ketat.

Di sisi lain, teknologi dan informasi menjadi salah satu modal utama kapitalisme abad ini, maka keberadaan teknologi canggih (termasuk di dalam lingkungan kampus) pun tak dapat dipandang sebagai penerapan kemajuan teknologi semata. Efisiensi, digitalisasi data, pengawasan-kontrol dan berkurangnya ruang-ruang interaksi langsung adalah tujuan utama.
Di dalam sistem pendidikan di level perguruan tinggi, penggunaan KRS elektronik, sentralisasi data, merupakan salah satu penerapan sistem pengawasan dan sistem kontrol. Perlahan dominasi dan kontrol birokrasi kampus semakin menguat, sementara ruang-ruang interaksi pun semakin menyempit. Hal ini semakin memacu agar suasana di kampus semakin mudah terkontrol; dengan memastikan orang-orang di dalamnya lebih terasing satu sama lain. Layaknya pabrik, kampus mesti menyediakan kondisi yang menopang terciptanya atmosfir serupa dunia kerja, disertai pengawasan yang ketat. Kurikulum disusun sedemikian rupa agar bisa membentuk pekerja yang mampu bersaing di dunia kerja, kompeten dan menerima kapitalisme dengan baik. Tak pelak, beberapa jurusan dan mata kuliah yang tidak selaras dengan dunia eksploitasi pun dihapuskan. Jam-jam kuliah semakin diperpadat, masa studi pun kian dipersingkat. Pembatasan waktu studi menjadi patokan efisensi produksi, semuanya bertujuan untuk memastikan bahwa pasokan pekerja cadangan yang intelektual mampu diperoleh dalam jangka waktu yang singkat.

Penggunaan sistem penilaian pun semakin memacu persaingan, dan kelak akan mendorong dan menopang pola interaksi sosial yang mudah terkontrol. Pada titik ini, mahasiswa telah dilibatkan di dalam proses produksi dan karenanya dijadikan sebagai pekerja tidak diupah (unpaid labour) dalam menghasilkan komoditi berupa dirinya sendiri.
Melihat pergeseran posisi kampus di dalam tatanan ekonomi global, maka melihat kampus sebagai pabrik pun telah menjadi alternatif dalam analisis gerakan melawan otoritas kampus. Pandangan mengenai mahasiswa sebagai ‘borjuasi kecil’ juga mesti ditinjau kembali, mengingat di dalam ‘pabrik’ ini, mahasiswa merupakan pekerja yang bekerja untuk mempersiapkan diri sebagai pasokan tenaga kerja intelektual, dan memastikan bahwa dirinya terintegrasi dengan baik dalam sistem kapitalis.
Dengan universitas sebagai pabrik, maka mahasiswa maupun siapapun yang dinyatakan lulus dari institusi ini adalah produknya. Sebagai pekerja, para mahasiswa atau kader universitas bekerja dalam kurun waktu yang telah dibatasi untuk menciptakan komoditi berupa dirinya yang lebih berpendidikan, lebih ahli dalam suatu bidang, sesuai dengan kebutuhan ‘gizi’ perekonomian.




sumber
Diubah oleh ryan.manullang 07-10-2017 10:05
0
2.6K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan