putrisyahlaAvatar border
TS
putrisyahla
Mendirikan Taman Baca Tak Semudah Menikah Dini
 
Desa itu terletak 10 kilometer dari pusat kota Rembang, Jawa Tengah. Tak ada angkutan kota atau desa yang menuju kesana. Sekumpulan pohon jati dan bukit yang berundak menjadi teman mesra bersama motor yang saya tumpangi pagi itu. Meski namanya asing, sejak 2014 lalu mulai akrab disebut netizen dan media. Desa itu Pasucen, satu dari lima desa ring 1 pabrik Semen Indonesia.
 
Hari itu, Sabtu, 27 Januari 2018, saya berkunjung ke Pasucen. Meredakan kepenatan kota Jakarta demi membasahi tubuh di bawah gravitasi air terjun Curug Pasucen dan keheningan Rimbanya. Hingga kepuasaan terasa sesak untuk dinikmati.
 
Di pojok desa sana, ada keramaian yang tak biasa. Tawa riang anak-anak yang bukan hal biasa ada di desa. Bertemulah saya dengan Wahyuningsih. Perempuan yang masih berseragam batik PGRI, dihiasi senyuman ramah di pipinya, menyambut saya yang sedang berkunjung ke tempatnya mengajar, di Desa Pasucen, Rembang Jawa Tengah.
 
Bangunan tempatnya mengajar hanya berukuran tak kurang sembilan meter persegi, tapi mampu menampung hingga dua puluhan anak-anak saat Taman Bacaan itu buka. Anak-anak antusias menggilir halaman demi halaman buku, ada juga 3 unit komputer di meja. Dan mungkin sampai ratusan buku tersusun rapih rak samping jendela. Biasanya Wahyuningsih, selepas mengajar di SD ia menyempatkan waktu membuka Taman Bacaan itu, membuka luas ilmu bagi anak-anak desa agar kelak semakin maju.
 
Wahyuningsih bukanlah warga asli Desa Pasucen. Kegigihannya mendirikan Taman Bacaan berbuah hasil setelah bertahun-tahun. Menurutnya, Desa Pasucen yang jauh dari keramaian, urusan pendidikan masih jauh, mereka tak pernah memikirkannya. Alasan itulah, Wahyuningsih memutuskan tinggal dan menjadi warga di sana, dan lama mengabdikan dirinya sebagai guru Sekolah Dasar. Juga dengan pendidikanlah, pikirnya, sebagai langkah kemajuan suatu wilayah.
 
Hingga saat saya berkunjung disana, Wahyuningsih sebut, perjuangannya gak mudah, proses panjang dilaluinya.
 
“Untuk sampai jadi bangunan ini sebagai taman bacaan aja sulitnya minta ampun, soal uang juga sih masalahnya dan warga sini lebih memilih menikahkan anaknya yang lulus SD daripada meneruskan sekolah,” kata Wahyuningsih.
 
Perempuan itu dan Rembang, mengingatkan saya akan sosok Kartini...
 
Raut muka Wahyuningsih berubah, kebahagiaan begitu terpancar di wajahnya. Perjuangannya berbuah manis. Ada perubahan pemikiran warga soal pendidikan. Mereka melek sekolah, anak-anak semangat menuntut ilmu. Setidaknya, markanya pernikahan dini yang terjadi di sana perlahan mulai terkikis.
 
“Hampir semua, renovasi gedung ini, termasuk buku-buku dan raknya, komputer, papan tulis, dan mainan-mainan edukasi, semua bantuan,” tutur Wahyuningsih.
 
Ceritanya, Semen Indonesia yang masuk ke Rembang sejak 2014 lalu ternyata bagi warga sana seperti Wahyuningsih memberi dampak postif. Wahyuningsih, jiwa pejuang pendidikannya tersalurkan, keinginan mulianya pun terjawab.
 
Lanjutnya, bahkan pemuda-pemuda di Desa Pasucen pun kini berlomba-lomba mendapatkan ijazah SMA. Ribuan kursi lapangan kerja membuka lebar-lebar mata warga desa, ada masa depan, ada harapan ada titik cerah kemajuan desa. Wahyuningsih, sosok berusia 40-an tahun ini menunjukan ke saya, selalu ada hasil dari perjuangan. Sekecil apapun itu. Dan kini ia menikmati senyum lebarnya. Pendidikan menjadi harapan masa depan warga.
 
“Gak ada yang gak mungkin mas, yang penting fokus dengan niat, insya Allah ada jalannya,” sepotong kalimat penutup cerita Wahyuningsih.
 
Bagi saya, Wahyuningsih adalah Kartini Rembang masa kini. Habis gelap terbitlah Rembang yang terang! (mgl)
 
 
https://www.kompasiana.com/bonartiha...h-menikah-dini
0
732
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan