Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yolandaimeAvatar border
TS
yolandaime
Sakti tapi kenapa pendekar kita dikalahkan penjajah saat zaman dulu?.
Apa yang harus dijalani bagi seorang remaja umur 15 tahun yang hidup di pulau Jawa di tahun 1600 Masehi (awal abad 17) untuk bisa mencapai tingkat ‘sarjana kesaktian’ di dalam ilmu kebatinan?

Dia harus mendalami segala macam kitab dan ajaran yang memakan waktu bertahun-tahun. Kemudian ia harus menjalani segala ritual dan pelatihan-pelatihan mental dan fisik yang diberikan gurunya. Lalu ujian-ujian lain termasuk melakukan perjalanan jauh untuk menemukan guru yang lebih sakti lagi, yang belum tentu mau menerimanya sebagai murid —dimana ia harus menunjukkan kesungguhan dengan bertapa beberapa lama— sampai akhirnya sang guru itu tergerak untuk menerimanya.

Sekalipun ia memulai perjalanan pendidikan ilmu spiritualnya bersama 100 orang teman-teman sebayanya, tidak bisa diharapkan adanya keseragaman penguasaan materi-materi ilmu yang akhirnya akan menentukan tingkat ‘kelulusan’. Bukan hal yang aneh bila dalam perjalanan ‘ngilmu’ ini mereka menjadi terpisah-pisah yang akan membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk mencapai kesaktian yang sama —itupun jika ada yang masih bertahan mengingat tingkat harapan hidup yang masih rendah di masa itu.

Jika ia tergolong sebagai murid yang cerdas, berbakti dan beruntung dengan dorongan motivasi yang luar biasa, mungkin butuh waktu paling cepat 15 tahun dimana dia bisa meraih kesaktian yang diharapkan. Ini berarti dia sudah berumur 30 tahun ketika ia mendapat gelar kehormatan “Panembahan Neosakti” atau yang biasa disingkat menjadi “mbah Neo”. 

Quote:


Singkatnya, setelah mendapat ijazah dan sertifikat dalam beragam kesaktian, mbah Neo kemudian berkelana menyebarkan kebajikan. Dalam empat tahun masa perjalanannya, ia mengumpulkan banyak pengikut hingga berjumlah lebih dari 5000 orang. 

Bersamaan waktunya dengan pemuda 15 tahun yang baru mulai mencari ilmu di tanah Nusantara, di belahan dunia lain di Belanda sana, seorang remaja berusia 15 tahun bersiap masuk pendidikan militer. Ia bersama 100 orang kadet sebayanya dididik selama 3 tahun dengan berbagai ilmu-ilmu dan teknologi kemiliteran tercanggih yang sudah terstandarisasi dan terukur di masa itu.

Tepat setelah ia lulus di umurnya yang ke 18 tahun, ia mendengar kabar bahwa perusahaan dagang membutuhkan tenaga-tenaga terlatih untuk ditempatkan di Banten. Jadilah ia mendaftar, ikut berlayar, dan sampai di Banten pada tahun 1603 untuk memulai pengabdiannya sebagai prajurit yang digaji oleh VOC.

Si pemuda ini, yang mempunyai nama Cruyff Van Basten, terbukti terampil dan profesional dalam menjalankan tugas-tugas pengamanannya. Karirnya terus menanjak hingga 12 tahun kemudian (atau di saat ia berumur 30 tahun), ia telah menjadi seorang kolonel dan dipercaya untuk memimpin satu resimen berkekuatan 1000 orang. 

Quote:


Kolonel Van Basten memimpin pasukannya bagai seorang playmaker lihai. Diturunkannya pengalaman selama masa latihan di Belanda kepada segenap pasukan yang dibawahinya. Segala taktik yang pernah dipelajari selama masa itu dikembangkannya lebih jauh. Segala kekurangan teknologi persenjataan yang sudah sangat ia pahami mendorongnya untuk menyusun pasukan dalam berbagai formasi guna menutupi kekurangan tersebut.

Tak hanya itu, selama masa tugasnya di Banten dan sekitarnya, ia pun telah mempelajari bahasa penduduk setempat, menumbuhkan selera makan dan daya tahan tubuhnya terhadap pecel dan sambel hingga menjalin interaksi yang dia maksudkan untuk memahami karakter dan budaya masyarakat ‘pribumi’ yang ada di wilayahnya.

Semua berjalan dengan normal sampai empat tahun kemudian atau di tahun 1619 ketika datang perintah untuk mempertahankan Jayakarta yang baru dikuasai oleh VOC dari serbuan tentara gabungan Banten, Sunda dan Jawa (Mataram) dibawah pimpinan Panembahan Neosakti.

Kedua bala tentara itu saling berhadapan di tanah lapang dekat sebuah desa yang menjadi basis tentara mbah Neo. Desa yang terletak sekitar 25 km arah Barat Daya benteng VOC itu dijuluki sebagai “Blootsvoets Soldaat Dorp” (desa pasukan tanpa alas kaki) yang belakangan sering disingkat menjadi “Beesde”. Hal ini sangat beralasan mengingat pasukan mbah Neo memang bertelanjang kaki walaupun terlatih dan dipersenjatai dengan golok dan tombak buatan Cibatu dan Cimande yang terkenal tajam dan tangguh.

Melihat jajaran 5000 orang pasukan mbah Neo yang berkerumun di depannya, kolonel Van Basten langsung mengetahui bahwa ia harus memiliki kekuatan tengah yang tangguh untuk mem-backup pasukan penyerangnya. Ia pun menyadari bahwa hanya dia dan pasukannya yang berada diantara bala tentara Panembahan Neosakti dengan benteng VOC yang masih rusak parah setelah direbut oleh pasukan yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen beberapa minggu sebelumnya.

Disusunlah kekuatan pasukannya dalam formasi  3-4-3 : 300 orang dalam tiga barisan terdepan, 400 orang pasukan tengah untuk segera menggantikan pasukan depan ketika mereka mengisi kembali bedil-bedil (musket) mereka, dan 300 sisanya yang dipersenjatai dengan tombak-tombak panjang sebagai cadangan. Kini ia siap untuk bertempur. 

Di depan sana, dalam jarak 300 meter dari formasi itu, sorak-sorai pasukan mbah Neo terdengar membahana. Kolonel Van Basten dengan sigap langsung memerintahkan barisan terdepan pasukannya untuk melancarkan serangan pembuka dengan salvo tembakan jarak jauh…

…yang membuatnya terkejut ketika timah-timah panas yang ditembakkan pasukannya berhenti di udara lalu terpental tak karuan tanpa mengenai sasaran. Adalah ilmu "Perisai Matrix" yang dimiliki mbah Neo yang membuat dia dan pasukannya tak tersentuh oleh peluru-peluru dari tentara VOC itu. 

Quote:


Lebih parah lagi, sejumlah pengikut mbah Neo mulai mengeluarkan mantra-mantra yang dari kejauhan terdengar seperti "wolooo woloo" . Hal ini membuat sebagian pasukan Van Basten yang berada di barisan depan menjadi kelimpungan dan terlihat mulai melepas sepatu mereka untuk bergabung dengan barisan pasukan mbah Neo.

Melihat keadaan tersebut, kolonel Van Basten segera mengambil tindakan. Sebelum ada satupun pasukannya yang membelot, ia sigap memerintahkan pergantian pasukan depan dengan pasukan tengah yang berjumlah 400 orang. Sejumlah orang yang masih terlihat linglung dirawat (baca: digebuki) hingga sadar oleh pasukan cadangan di belakang formasi.

Ia lalu membagi tugas: 200 orang untuk mengkonsentrasikan tembakan ke arah mbah Neo dan 200 sisanya untuk mengincar bala tentara gabungan itu yang kini mulai bergerak maju. Ia menduga bahwa pusat kekuatan “Perisai Matrix” yang tak kasat mata itu ada di mbah Neo dan tak akan bisa ikut bergerak bersama gerak maju pasukannya. 

Quote:


Dugaannya ini bukan tanpa alasan karena dari hasil interaksinya dengan penduduk setempat di wilayah Banten, ia sedikit banyak mengetahui keterbatasan-keterbatasan ilmu-ilmu sakti tradisional. Selain itu, ia juga memahami ketiadaan urut-urutan rantai komando yang terstruktur dimana suatu perlawanan penduduk pribumi akan mudah dipatahkan jika pemimpinnya bisa dikalahkan.

Dan benarlah. Dalam waktu singkat ratusan prajurit mbah Neo telah terkapar tak bernyawa disambar oleh bola-bola timah panas yang mampu menembus dua-tiga orang dalam jalur lintasannya sekaligus. Konsentrasi mbah Neo menjadi terpecah karena disamping ia harus memerintahkan bala tentaranya untuk mundur dengan hanya mengandalkan suara sendiri (yang sulit terdengar di tengah-tengah hiruk pikuk pertempuran), ia pun masih harus menangkal dan menghindari dua ratus bola-bola timah yang diarahkan kepadanya. 

Quote:


Walaupun sebagian besar peluru yang mengincarnya mampu ditepis dan dielakkannya, tak ayal dua butir peluru mampu menembus pertahanan berlapis “Aji Catenaccio” yang dimiliki mbah Neo dan menyambar tubuhnya. Ia jatuh tersungkur bersimbah darah seraya berteriak:
“Merde…!!!”
Melihat pemimpinnya sedang meregang nyawa, runtuhlah moril pasukan gabungan tersebut. 

Jadi apa yang bisa dimaknai dari cerita di atas yang tak akan bisa ditemukan dalam catatan sejarah manapun? Setidaknya, saya bisa menyarikan beberapa poin walaupun anda masih bisa menemukan poin-poin lain yang dapat ikut menjawab pertanyaan di atas.

Pertama, orang Indonesia terlalu mengagung-agungkan “kesaktian” yang dimiliki sejumlah orang. Betul bahwa dalam catatan sejarah (non resmi?) ada banyak tokoh-tokoh perjuangan yang dikatakan tidak mempan peluru, namun ini bukan berarti semua pasukannya sama-sama kebal. Selain itu, fakta bahwa Belanda bisa berkuasa hingga ratusan tahun di sebagian besar wilayah Indonesia, menjadi bukti tidak bergunanya ilmu-ilmu tersebut dalam mengusir penjajah.

Kedua, kita bisa menilai metode mana yang lebih baik untuk menghasilkan calon pemimpin yang berkualitas: Apakah dalam 15–20 tahun masa ‘pendidikan spiritual’ yang hanya menghasilkan segelintir orang-orang sakti, atau dalam tiga tahun masa pendidikan militer yang terstandarisasi untuk menghasilkan puluhan hingga ratusan tentara muda siap tempur? Dalam pilihan yang terakhir, sebagian dari pasukan ini akan menapaki karir militer mereka hingga menjadi komandan dengan pengalaman yang tinggi dalam waktu yang sama dengan yang dibutuhkan untuk ‘meluluskan’ seorang pendekar sakti yang masih minim pengalaman di lapangan.

Ketiga, bedil dan pistol > kemenyan. Ini mengilustrasikan betapa penguasaan akan ilmu pengetahuan dan teknologi akan memberikan hasil yang lebih terjamin, lebih nyata dan lebih luas dibandingkan dengan ilmu-ilmu kebatinan yang lebih bersifat personal.

Keempat, tentang kedisiplinan dan rantai komando. Jika dalam pertempuran imajiner di atas komandan Belanda terluka parah atau terbunuh, selama masih ada rantai komando yang terstruktur yang diterapkan dengan ketat dan penuh disiplin, kemungkinan terjadinya kehancuran moril pasukan akan bisa diminimalisir. Sebaliknya, dalam suatu pasukan yang hanya mengandalkan satu tokoh pimpinan utama, sekali pemimpin tersebut terbunuh, akan berdampak sangat buruk terhadap moril pasukan.

Kelima, penguasaan strategi. Langkah-langkah yang diambil oleh sang kolonel —mulai dari interaksinya dengan penduduk setempat— hingga menganalisa kekuatan dan kelemahan teknologi yang digunakan oleh pasukannya, sampai penentuan formasi berdasarkan kondisi lapangan sebelum pertempuran dilaksanakan adalah bagian dari strategi yang brilian yang membantunya memenangkan pertempuran. Berbeda dengan taktik ‘tawuran’ yang mengandalkan jumlah orang yang banyak untuk menyerbu musuh yang bisa ditangkal dengan relatif mudah. Ini khususnya bila mengingat keunggulan teknologi yang dimiliki oleh pasukan VOC sehingga mampu mengatasi lawan dengan jumlah yang berkali-kali lipat banyaknya.
Dan lain-lain. 

Diubah oleh yolandaime 11-12-2019 19:07
anasabila
sebelahblog
sebelahblog dan anasabila memberi reputasi
2
5K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan