Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

salikersAvatar border
TS
salikers
Akibat belajar keilmuan tanpa guru
Sampai di rumah yang kami tuju, hari sudah sore tapi matahari masih enggan ke peraduan, suasana amat sepi, kami mengucap salam, berulang kali, baru muncul seorang lelaki setengah tua. Peci kain bundar bermotif kotak-kotak kain sarung ada bertengger di kepalanya. Wajah lelaki itu sedikit murung. Namun ketika berhadapan dengan lek Muhsin dia langsung tersenyum.

“Oh lek Muhsin, mari-mari, silahkan dienak-enakkan dulu.” setelah menerima kami berdua dengan ramah maka lelaki itu pergi ke dalam, menyuruh istrinya mengambilkan minuman dan makanan ala kadarnya.

Setelah itu kedua suami istri itu pun mengobrol dengan kami, saat berkenalan denganku lelaki itu bernama pak Soleh. Dan istrinya bernama Hamidah, karena istrinya adalah orang sedesaku maka mengenal lek Muhsin, kemudian tau lek Muhsin biasa menyembuhkan orang yang kerasukan jin, jadi lek Muhsin dipanggil.

“Awal-awalnya gimana to di, kok si Marjuki itu bisa berpenyakit seperti itu?” pak Soleh pun bercerita:

“Benar Ki kamu mau mesantren?” tanya pak Soleh suatu malam kepada Marjuki yang sedang makan.

“Bener pak’e, aku sudah jenuh di rumah terus, tak ada perkembangan.” jawab Marjuki sambil mengunyah nasi di mulutnya.

“Mondok itu berat lho, kalau kamu mbangkong di rumah bapakmu ini tak ngapa-ngapain kamu, tapi kalau kamu mbangkong tak mau subuhan, bisa dipecuti sama Kyainya, kalau kamu melanggar peraturan pondok kamu akan diberi hukuman, apa kamu siap? Tirakat di pondok?”

“Pokoknya aku siap pak’e.”

“Lalu kamu mau mesantren di mana?”

“Bagaimana kalau di Tegalrejo, Magelang, pak’e?”

“Di mana saja tak masalah kalau memang kamu siap.”

Marjuki adalah anak tunggalnya pak Soleh, sifatnya ceria dan rajin bekerja, kadang membantu orang tuanya di sawah, kadang juga bekerja di tempat orang lain, pekerjaan apa saja, Marjuki siap melakukan asalkan halal, umur Marjuki telah menginjak sembilan belas tahun. Akhir-akhir ini Marjuki merasa kesepian, sebab teman-temannya yang selama ini menemaninya nyangkruk telah pergi semua, mencari pengalaman hidup, ada yang mesantren ada juga yang pergi merantau ke Jakarta, ada yang ke Malaysia, bahkan ada yang ke Saudi Arabia, Marjuki bingung mau kemana. Tapi setelah berpikir, maka Marjuki memutuskan mesantren saja, maka dia pun bercerita pada ibunya supaya keinginannya disampaikan pada ayahnya. Dan terjadilah dialog malam itu, sekarang dia telah pergi ke Magelang.

Setahun di pesantren, Marjuki pulang keadaannya telah berubah, dulu dia periang dan giat bekerja, kini sering kelihatan diam dan amat malas, bahkan dia suka pergi menyepi di kuburan-kuburan, dan melakukan puasa yang aneh-aneh, bahkan kamarnya dicat warna hitam. Pak soleh melihat hal yang seperti itu, mau menegur, tapi takut Marjuki marah, tak jarang karena kesalahan sedikit saja, Marjuki marah membanting piring.

Ternyata Marjuki telah terseret mempelajari ilmu sesat, yang berhubungan dengan Nyai Roro Kidul.

Telah beberapa hari, Marjuki tak keluar kamar, tidak makan, tidak melakukan aktifitas apa-apa, dari dalam kamarnya bau menyan jawa. Tiap malam menyengat hidung, ibunya sangat kawatir, maka setelah ada lima harian di kamar ibunya mengetuk pintu, memintanya untuk makan karena takut terjadi apa-apa yang menimpa anak semata wayangnya. Setelah lama mengetuk, terdengarlah lenguhan dari kamar, dan pintu terbuka. Terkejutlah perempuan itu, melihat Marjuki yang tak seperti anaknya.

Mata Marjuki semerah darah, di lingkar matanya warna hitam angker, hidungnya mendengus-ndengus, dari mulutnya keluar air liur yang membanjir.

“Hmmm, siapa kau perempuan tua? Mengganggu saja.” suara Marjuki, berat mendirikan bulu roma. Sangar!

“Nak ayo makan, nanti kamu sakit…” suara ibu Marjuki, di antara rasa takut melihat keadaan anaknya.

“Jebleng, jebleng… apa sudah kau sediakan darah ayam dan darah kambing?”

“Udah ibu masakkan sambal terong kesukaanmu.”

“Sialan, memang aku apa? Di masakkan suambel terong mati saja kau…” tiba-tiba tangan Marjuki bergerak cepat menyambar leher ibunya dan mencekiknya. Untung ibunya masih sempat teriak, sehingga teriakan itu didengar pak Soleh yang sedang membersihkan rumput di depan rumah, yang segera berhambur ke dalam rumah, melihat istrinya dicekik anaknya, sampai kelihatan matanya mau keluar, maka pak Soleh segera memukul tangan anaknya itu sehingga cekikan lepas. Melihat ada yang memukul tangannya Marjuki pun mengalihkan serangan ke leher pak Soleh, dengan mudahnya dia menangkap leher pak Soleh dan mencekiknya, tubuh pak Soleh sampai terangkat dari tanah. Dia mencoba melepaskan dengan segala daya, tapi tangan Marjuki yang kerasukan itu teramat kuat sehingga pak Soleh hanya menendang-nendangkan kakinya, nyawanya benar-benar telah di ujung tanduk, sementara istrinya yang tadi dilepas oleh Marjuki, ngos-ngosan di tanah, melihat suaminya dalam keadaan sekarat, segera mengambil kursi kayu, dan mengemplangkan ke kepala Marjuki sekuatnya. Sampai kursi kayu patah-patah. Dan untung cekikannya dilepaskan, sehingga pak Soleh pun menggelosor jatuh di tanah. Aneh, Marjuki sama sekali tidak berdarah, malah tertawa bergelak-gelak, lalu mengamuk menghantam meja kursi sampai semuanya hancur. Lalu dia berlari keluar rumah mengamuk di jalan, segera gemparlah semua tetangga, orang yang lewat segera lari ketakutan, lalu Marjuki meloncat ke atas genteng. Melempar-lemparkan genteng pada orang yang lewat di jalan. Ibu Marjuki menangis melihat keadaan anaknya seperti itu.

Para orang pintar telah didatangkan untuk membujuk Marjuki turun dari genteng, tapi malah disambitin pake genteng, dia hanya mau turun kalau diberi minum darah ayam dan kambing. Sudah dua hari Marjuki ada di atas genteng, dia mau turun kalau ada darah ayam dan kambing disediakan, dan setelah minum darah itu maka dia meloncat lagi ke atas rumah, dan menyambitin orang yang lewat. Kelakuan Marjuki yang menyambiti orang yang lewat dengan genteng rumahnya ini benar-benar membuat panas hati, maka para pemuda kampung pun bermusyawarah untuk menangkap Marjuki, dan nantinya akan dipasung, setelah dipancing dengan darah, Marjuki pun turun, ketika sedang menikmati darah yang dikasih obat bius itu, para pemuda pun bergerak meringkusnya, yang mau meringkusnya dari belakang ada tiga orang itu kecele, walau Marjuki tak melihat kebelakang, tapi dengan mudahnya dia menjatuhkan diri dan berguling sehingga yang menubruknya dari belakang hanya menangkap angin.

Pemuda dan orang desa pun melakukan pengepungan, dari kiri kanan, depan belakang, dengan susah payah tujuh orang dapat memegang tangan kaki, namun semua dapat disentak lepas, dan banyak yang terpental dilemparkan oleh Marjuki yang kerasukan, yang memang tenaganya berlipat-lipat, kembali tujuh orang berusaha mendekap memiting kaki tangan Marjuki, namun kali ini para penduduk tak mau usaha mereka sia-sia, maka segera berbagai macam tambang dijeratkan ke tubuh Marjuki. Rupanya saat itu obat bius yang dicampurkan darah pun mulai bekerja. Kelihatan sebentar-sebentar, Marjuki melengut ngantuk siut, lalu meronta lagi, begitu berulang kali, dan orang-orang tak mau kecolongan tetap mendekapnya erat, sampai akhirnya Marjuki terbius. Perjuangan yang melelahkan, Marjuki kelihatan tergolek di pelataran rumah pak Soleh, semua orang yang meringkusnya semua mandi keringat, bahkan ada yang luka berdarah dan salah urat. Orang-orang yang tidak ikut meringkus Marjuki, telah membuatkan pasung dari kayu sebesar sedekapan manusia, Marjuki pun dipasung. Tangannya masih dirantai, para dukun paranormal didatangkan, para Kyai dimintai tolong, untuk membantu penyembuhan, sawah lima petak pun telah terjual sebagai biaya pengobatan, tapi kesembuhan tak kunjung datang. Sampai hampir setahun Marjuki dipasung. Tapi penyakit gilanya makin parah saja.

Kami berdua diajak melihat keadaan Marjuki, ternyata pemuda itu diletakkan di ruangan terpisah di belakang rumah dalam satu ruangan.

Berdinding gedek, pintu dibuka dan bau busuk segera menampar hidung, bangunan berukuran lima meter persegi itu gelap, karena tak ada jendela juga tak ada penerangan, penerangan hanya dari lampu ublik yang dibawa pak Soleh, nampak lapat lapat seorang pemuda dewasa tengah duduk terpasung, wajahnya mengerikan, matanya yang hitam ke atas, tapi yang putih mencorong merah menatap kami, wajah pemuda itu tak bisa dibilang bersih lagi, wajahnya menghitam penuh daki, rambutnya awut-awutan kribo panjang, bagian atas tubuh tak berpakaian dan nampak bekas darah ayam dan kambing yang mengering menempel di tubuhnya. Orang yang melihat keadaan Marjuki, pasti akan ngeri sekaligus iba, siapakah orangnya yang mempunyai cita-cita menjadi orang gila. Karena penerangan yang tak memadai, maka oleh pak Soleh kami diminta mengobatinya besok hari saja, malam ini kami menginap, beristirahat.

“Yan bagaimana menurutmu, gila kerasukannya Marjuki?” tanya paman Muhsin, ketika kami berdua telah rebahan dalam kamar.

“Ya gilanya karena mempelajari ilmu, tanpa dasar yang kuat, tarekat misalkan, juga karena mempelajari ilmu tanpa guru pembimbing, sungguh berbahaya sekali, karena belajar ilmu tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan, bagaimana menurut lek Muh sendiri?” tanyaku balik.

“Apa yang kamu katakan, tepat sekali, tapi terus terang aku ragu akan bisa menyembuhkannya…” nampak lek Muhsin mengerutkan keningnya.

“Yah sebelum kita mencoba, kenapa harus ragu lek? Itu sama saja dengan kita kalah satu langkah, kita hanya berusaha, kesembuhan hanyalah di tangan Tuhan semata, jangan sampai kita tertindih oleh keharusan, seakan akan sembuh dan sakit itu kuasa kita, hidup dan mati kuasa kita, kita hanya berusaha saja…” dan kami pun tidur tanpa beban.

Esoknya, kami berdua diantar pak Soleh ke tempat Marjuki dipasung, jam di tanganku baru menunjukkan jam tujuh seperempat, matahari yang kuning keemasan memantulkan sinarnya yang hangat, terasa hangat di tubuh yang baru mandi, membayangkan hal yang seperti itu, betapa damai dunia, seakan di dunia ini tak ada kejadian yang seperti dialami Marjuki.

Setelah masuk ke tempat Marjuki, uh jijik sekali, rupanya bau yang menyengat di malam itu, adalah baunya kotoran dan kencingnya Marjuki, juga bau bangkai tikus dan binatang-binatang lain yang dimakan mentah-mentah oleh Marjuki. Oh, sungguh menggidikkan bulu roma. Rupanya di tempat pemasungan, telah berjejal-jejal orang desa yang ingin menonton, tua muda, prawan, janda, remaja, jejaka, duda, semua pada datang menonton, sampai kebun belakang rumah pak Soleh bener-bener lebek, ah kyak ada tontonan dangdutan aja, atau bioskop misbar, gerimis bubar, orang-orang itu ada yang mengintip dari gedek, ada yang berdesakan di pintu masuk, dan ada yang dari luar pagar saja, rupanya pengobatan Marjuki, tanpa disiarkan dengan mikropon keliling kampung, telah terdengar dari telinga ke telinga.

Lek Muhsin mulai mengobati, sementara aku mempersiapkan yang diperlukannya. Lek Muhsin memang sudah profesional, segala macam cara mengobati orang kesurupan dia kuasai. Dari yang model kejawen, ilmu tao, ilmu tenaga dalam, dan ilmu rukyah. Lek Muhsin mulai mengobati dengan ilmu tao, bajunya diganti jubah kuning, dan ada simbol tao di punggungnya, semua mata menatap tegang ketika dia beraksi, dengan uang logam Cina kuno yang dengan cepat dibentuk pedang, dan tangan kirinya memegang pedang dari kayu setigi, tubuh lek Muhsin mulai berloncatan kesana kemari, membuat jurus mengelilingi Marjuki, tiba-tiba Marjuki yang sedari tadi diam, menatap kosong, serentak ramai, “Ayo… ayo menari…, bang Roma menarinya kurang seru, kenapa tak pakai gitar…?” semua yang ada di situ kontan ketawa, karena memang lek Muhsin adalah penggemar Roma Irama, jadi biasalah kalau dari potongan rambut, jenggot, dia upayakan mirip dengan Roma.

Tapi lek Muhsin ini tak terlalu, malah ada tetanggaku yang mirip sekali, namanya Joni, sangking ngidolain banget sama Roma, bukan hanya rambut dan jenggotnya yang dibuat mirip Roma tapi juga suaranya, pernah kulihat Joni lagi naik sepeda, ee ada lagunya Roma diputar kenceng-kenceng, maka si Joni turun dari sepeda, lalu sepedanya disandarkan di pohon, ia nyamperin ke rumah yang lagi muter lagu, “bang, numpang joged ya?” kata si Joni, tanpa nunggu jawaban si Joni langsung joged, sampai lagu selesai, dan setelah lagu selesai, dia pun permisi, tak lupa mengucapkan terima kasih, dengan dialek Roma.

Karena dengan jurus tao tidak ada perubahan apa-apa, lek Muhsin pun segera mengubah pengobatan dengan tenaga dalam dan ilmu kejawen, tapi juga tak menghasilkan apa-apa, malah Marjuki bilang katanya permainan sandiwara lek Muhsin untuk menghiburnya teramat membosankan, Marjuki minta diganti lakon yang lain saja, dan disambut ketawa oleh penonton yang menyaksikan, karuan saja membuat lek Muhsin malu bukan kepalang. Dan keringatnya mengalir deras sampai lehernya basah, dan pakaiannya juga basah. Seperti orang yang habis nyangkul di sawah, aku memahami perasaan lek Muhsin.

Kali ini lek Muhsin mengobati dengan rukyah, membaca ayat-ayat Alqur’an, ayat satu digabungkan dengan ayat yang lain, tapi pengobatan rukyah ini rupanya juga tak begitu ada hasilnya, Marjuki malah siat-siut mengantuk, ayat-ayat Alqur’an itu seperti menina bobokannya, melihat gelagat yang tak baik ini, aku segera ikut membantu, seluruh wirid yang biasa ku baca, ku baca dalam hati tiga kali, sambil menahan napas. Serasa hawa aneh mengalir bergeletaran dari pusarku, ku salurkan ke tanganku ku arahkan ke tubuh Marjuki, ku bayangkan tubuh jin yang ada di tubuh Marjuki terlingkupi dan berusaha ku sedot ke tanganku, tiba-tiba tubuh Marjuki yang siat-siut ngantuk itu membuka matanya, liar dan “krimpying..!!, kretekkriet..!!,” Marjuki berdiri tegak, kayu yang dipakai memasungnya sebesar dekapan manusia itu berderak membalik. “Hah, siapa yang mencoba menarikku keluar dari tubuh ini, hrrr..brr…bedebah, belum tau siapa aku?!”

“Aku iki panglimane Nyai Roro kidul, ayo sopo pengen adu ilmu…huahaha…” aku grogi juga mendengar yang masuk ke tubuh Marjuki adalah anak buah ratu pantai selatan, keringatku pun mulai keluar, aku segera meminta tikar kepada pak Soleh, sementara keadaan semakin menegangkan. Sementara lek Muhsin rupanya juga takut, dia mencengkeram lenganku.

“Bagaimana ini yan?’

“Tenang lek, aku akan berusaha… nanti bantu wirid Basmalah sebanyak-banyaknya…” kataku, sambil melihat wajah lek Muhsin yang ketakutan. Setelah pak Soleh datang membawa tikar. Akupun menggelar tikar di tempat yang bersih, mengingat lawan yang berat, aku pun berinisiatif membaca fatihah kepada Nabi dan silsilah tarekat kodiriah nahsabandiah, sampai ke Kyaiku, Kyai Lentik.

Sementara Marjuki masih ketawa sesumbar. Tiba-tiba salah seorang penonton, seorang setengah baya kesurupan, dan maju ke depan ke arah Marjuki yang masih tertawa bergelak.

Mendadak saja tertawa Marjuki berhenti, aku masih membaca wirid, dengan khusuk, tak urung suara orang yang kesurupan itu terdengar di telingaku. Suara itu suara Kyai.

Aku pun membuka mata, nampak orang yang kesurupan itu petentang petenteng, di depan Marjuki yang tertunduk, takut-takut.

“Kau tau siapa aku?” suara Kyai berwibawa.

“Ampunkan saya, saya tau tuan Kyai …” suara Marjuki dengan nada takut.

“Lalu kalau kau tau siapa aku kenapa tak cepat keluar, apa aku sendiri yang akan mencabutmu, dan menjadikanmu debu..!!” suara Kyai membentak. Tiba-tiba tubuh Marjuki lemas. Dan menggelosor ke tanah. Kyai yang ada di tubuh orang lain itu segera mengusap tubuh Marjuki yang segera sadar. Dan memanggil ayah ibunya. Sementara Kyai mendekatiku dan membisiki telingaku.

“Kalau mau kembali ke pondok, kalau sakit biar sembuh dulu.” lalu orang desa yang kerasukan itu sadar. Lelaki yang sebelumnya dipinjam wadagnya oleh Kyai itu tak mengerti dengan apa yang terjadi.

Hari itu Marjuki benar-benar telah sembuh, dan segera dimandikan, aku dan lek Muhsin pun mohon diri.
Diubah oleh salikers 31-05-2022 11:26
tulip.putih
Cupu1971
ekopermono
ekopermono dan 14 lainnya memberi reputasi
15
2.5K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan