Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nasura2101Avatar border
TS
nasura2101
BAB 05 EXTENTION
“Dia lagi?! ucap dokter keheranan.

“Iya, Dok. Dia lagi,” jawab seorang perawat sambil tersenyum kecut.

“Kenapa lagi dia?!”

“Kecelakaan tunggal, Dok. Mobilnya menabrak pohon besar di tengah hutan yang menghubungkan wilayah desa terasing di kabupaten XX.”

“Kapan kejadiannya?”

“Dini hari tadi, Dok.”

“Perasaan suka banget dia kelayapan ke hutan?!” lagi-lagi suster hanya tersenyum, kecut. “Bukankah sebelumnya dia juga terluka di tengah hutan Klarakan?! Katanya dia tergelincir tapi dari luka-luka kemaren sepertinya dia dipukuli?!” alih-alih menjawab kerisauan dokter, suster hanya tersenyum. Senyumnya lebih kecut dari sebelumnya.

Dewa telah berada di ruang perawatan setelah di pindahkan dari UGD, beruntung saat terjadi kecelakaan mobil yang dikendarainya sudah dekat persimpangan menuju jalan utama. Hand phone yang tadinya tidak ada sinyal tiba-tiba ada sinyal, Riyana langsung menghubungi rumah sakit dan polisi untuk meminta bantuan.

Dewa masih belum siuman tapi sudah melewati masa kritis. “Hampir seluruh tubuhnya terluka karena serpihan kaca, pungungnya juga mengalami trauma. Pendarahan di kapala juga sudah bisa dihentikan,” ucap suster menjelaskan panjang lebar.

“Awasi terus dia, tolong awasi gerak-gerak orang di sekitarnya, aku mencurigai sesuatu. Jika kecurigaanku benar, kita mesti lapor polisi!” ucap dokter tegas.

“Baik, Dok!”

“Siapa yang bersamanya saat terjadi kecelakaan?” tanya dokter kemudian.

“Istri, kakak ipar serta ibu mertuanya, Dok!” Dokter tampak tidak percaya, “bukankah kecelakaan sebelumnya juga dia sedang bersama kakak ipar, ayah mertua serta seorang penunjuk jalan bernama___, siapa namanya aku lupa?”

“Kalau tidak salah bernama Maman, Dok.”

“Iya benar, Maman. Dia yang membawanya ke sini.” Keduanya saling pandang, tampak bingung.

“Apa orang tua pasien ada disini?”

“Ada, Dok. Selalunya orang tuanya yang menunggui saat dia sakit. Istri serta mertuanya seolah tidak terlalu peduli.”

“Oh ya?!”

“Iya, Dok. Bahkan ayahnya yang selalu mengcover biaya rumah sakit.” Dokter manggut-manggut mendengar keterangan suster.

“Tolong minta orang tuanya menemuiku, Suster.”

“Baik, Dok.” Dokter berlalu, suster tampak tertegun sejenak memandangi Dewa yang terbaring dengan wajah pucat, seolah mayat hidup.

“Bagaimana keadaan anak saya, Suster?” Suster geragapan saat ayah dan ibu sudah ada di ruangan itu, wajahnya langsung pias. Entah apa yang sedang dipikirkannya hingga kehadiran ayah dan ibu membuatnya langsung pias. “Apa suster baik-baik saja?” Tanya ibu, sambil mengelus bahunya.

“Saya baik-baik saja, Bu. Saya hanya terkejut saat ibu dan bapak datang,“ jawabnya menjelaskan. “Tapi wajah suster sangat pucat, sebaiknya suster istirahat,” ucap ayah menimpali.

“Baik Pak, Bu. Namun sebelum itu Bapak dan Ibu silahkan menemui dokter dulu, sudah ditunggu di ruangannya.” Ayah dan ibu tidak menjawab, bola matanya menatap suster penuh Tanya. “Saya kurang tahu apa yang dokter ingin bicarakan, cuma tadi dokter berpesan bahwa bapak dan ibu ditunggu di ruangannya.” 

“Baiklah suster, kami temui dokter dulu ya?” Ayah dan ibu melangkah meninggalkan ruang rawat inap menuju ruangan dokter.

“Silahkan Pak, Bu,” sambut dokter ramah, ayah-ibu langsung duduk.

“Mohon maaf sebelumnya, saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi keluarga Bapak dan Ibu. Cuma sebagai dokter saya berhak tahu penyebab kecelakaan hingga suadara Dewa mesti dirawat di sini?” Ayah-ibu tampak bingung tidak tahu mesti mejawab apa.

“Bukankah hanya minggu lalu suadara Dewa keluar dari rumah sakit, juga karena kecelakaan?! Menurut laporan orang yang membawanya dia tergelincir. Namun dari luka-luka di tubuhnya, saudara Dewa sepertinya dipukuli.” Ayah tampak terkejut, “Saya sudah bicara dengan istri saudara Dewa tapi istrinya minta untuk tidak membahas hal ini, dan berjanji akan menyelesaikan masalah ini secara intern. Saya tidak pernah membahasnya lagi karena saya pikir bapak dan ibu sudah tahu.” Ayah dan ibu semakin terkejut.

“Saya juga berbicara kepada saudara Dewa saat saudara Dewa siuaman, Saudara Dewa meyakinkan saya supaya merahasiakan hal ini dari bapak dan ibu, katanya yang terpenting Suadara Dewa sudah tidak apa-apa.” Lagi-lagi  ayah dan ibu cuma bisa melongo mendengar keterangan dokter.

“Baru minggu lalu saudara Dewa keluar dari rumah sakit dan sekarang masuk rumah sakit lagi dengan keadaan yang jauh lebih parah dari sebelumnya. Kalau sebelumnya bersama Indri serta ayah mertua juga Maman, sekarang bersama Indri serta Ibu mertua juga istrinya?!” Dokter menhela nafas berat, “kalau sebelumnya mereka bilang dia tergelincir, sekarang terjadi kecelakaan tunggal yang mobilnya nabrak pohon. Sama-sama di hutan?! Sayangnya lagi kedua hutan yang dia kunjungi sama-sama hutan yang hampir tak terjamah orang luar. Untuk apa Saudara Dewa ke sana?” Jelas sekali dokter meluahkan semua uneg-unegnya. Kali ini ayah tampak ingin bicara tapi ibu segera memberi isyarat supaya ayah bungkam. Dokter tampak memperhatikan keduanya penuh selidik.

“Dokter, kami paham betul kekhawatiran dokter, kami juga sangat berterimakasih atas kepedulian dokter terhadap apa yang menimpa anak kami. Untuk saat ini kami ingin focus dengan kesehatan Dewa terlebih dahulu. Jika Dewa siuman, kami akan coba bicara dengannya.” Pembicaraan selesai disitu, Ayah-ibu tampak muram saat keluar dari ruangan dokter, sementara dokter menatap punggung kedua orang tua itu dengan tatapan trenyuh.

____________________


Aku terhenyak, dari arah belakang muncul lampu menyilaukan dibarengi dengan suara berisik
kendaraan bermotor. Hatiku bersorak, akhirnya jalan ini ada seseorang yang melintas selain kami. Motor butut itu menyalipku sambil membunyikan klakson, aku membalas dengan melakukan hal yang sama.


Setelah itu, banyak kendaraan bermotor di belakangku, umumnya motor mereka sudah butut.
Mungkin memang sudah hampir pagi, orang-orang ini sedang berangkat ke tempat kerja. Sebagian ada yang menyalipku sebagian ada yang tetapberada di belakangku.

Beberapa saat kemudian hand phoneku mulai
bunyi, notifikasi dari whats up dan social media lainnya beruntun masuk. Sedari kemaren memang tidak ada sinyal begitu kami memasuki hutan, maknanya sebentar lagi aku akan keluar dari hutan. Benar juga, "akhirnya aku kembali melihat aspal."

Kami sampai di rumah dengan selamat, Riyana mengalami trauma untuk beberapa waktu, dia sering tiba-tiba demam lalu berteriak-teriak ketakutan. Dengan penuh kesabaran kami semua
membantu Riyana keluar dari trauma. Dia juga rutin bertemu psikiater. Seiring berjalannya
waktu, kondisinya terus membaik.

Begitu pun keadaan Indri terus membaik, kami melakukan semua yang disarankan pak kiyai, empat puluh satu hari sekali kami berkunjung ke kediaman beliau. Selalunya aku menolak saat
Riyana ingin ikut, aku juga selalu berangkat pagi hari saat berkunjung dan pulang ke esokan
harinya.

Berusaha untuk tidak melintasi hutan di malam hari, nyatanya melintasi hutan di siang hari lebih aman. Aku hampir tidak pernah mendapat rintangan yang berarti. Selain kepada pak kiyai,
kami juga membawa Indri ke dokter secara rutin.

Dua tahun telah berlalu, Indri telah benar-benar pulih, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Seorang yang periang, ramah dan penuh kasih sayang, hampir tidak pernah aku melihatnya menangis di pelukan Riyana.

Begitu pun Riyana. Dia lebih percaya padaku, kini dia tidak pernah menyembunyikan tangisnya. Dia akan mengatakan apa pun yang dia rasakan kepadaku.

Ternyata semua itu hanya sesutau yang terjadi di kepalaku saja, sesuatu yang kuharapkan sejak lama. Kenyataannya aku berada di ruang ICU, di wajahku juga dipasang alat bantu pernafasan, saat aku membuka mata tidak ada siapapun di sana.

Kepalaku di perban, sementara aku memiliki luka jahitan di beberapa bagian tubuhku. Wajah dan tubuhku di beberapa bagian juga masih terasa perih. Kulepaskan alat bantu pernafasan, lalu berusaha bangkit namun aku seolah tidak memiliki tenaga. Tubuhkku rasanya lemah, aku tidak mampu bangkit. Aku menghela nafas berat, sedikit kesal kepada tubuhku yang lemah.

Kupindai seluruh ruangan, ada sebuah jendela kaca, kulihat dua orang tua sedang mengintipku. Kutajamkan pandangan, “ayah dan ibukah?” batinku. Mataku tidak dapat melihat dengan jelas, kugelengkan kepalaku, menepis pusing di kepala yang mulai mendera. Aku melambaikan tangan Sambil tersenyum, berharap dua orang yang mengintipku di balik jendela akan masuk ke dalam ruangan dan menyaiku apa yang kuperlukan.Tenggorokanku kering, rasanya haus sekali. Alih-alih menjawab lambaikanku, dua orang itu mengabaikanku lalu pergi.

“Kenapa tidak ada perawat atau dokter yang mengunjungiku?” tiba-tiba pikiran itu muncul
dengan sendirinya, entah dari mana. ‘’’Mestinya ada tombol bel supaya aku bisa menghubungi
mereka?!” batinku, bingung. Kulayangkan pandangan ke segala arah, mencari tombol yang
kucari. Tidak ada satu bendapun yang tampak seperti sebuah tombol. Aku terus berfikir keras, “bodohnya aku! aku kan di ruang ICU, maknanya sesuatu yang buruk terjadi pada tubuhku, pastinya tombol itu bakal ada sangat dekat dengan tanganku.” Hatiku bersorak gembira saat
menyadari kebodohanku. Kuraba ke segala arah segala sesuatu yang dekat dengann tangan
kananku. “Horeee! Aku menemukanya,” sekuat tenaga aku menekan tombol tersebut.

Benar saja, beberapa menit kemudian, tampak dua orang menghambur memasuki ruangan ICU, dari pakaiannya sepertinya satu seorang dokter dan satunya adalah perawat. Mereka tersenyum menatapku, wajah mereka tampak sumringah. Kemudian dokter mulai memeriksa keadaannya, senyumnya melebar begitu selesai melakukan pekerjaannya.

“Suster, Saudara Dewa sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, kondisinya sudah stabil. Hanya butuh pemulihan.” Ucap Dokter kemudian, “Baik, Dok.” Jawab suster.

“Tolong beritahu keluarganya, sampaikan bahwa sudara Dewa sudah siuman.”

“Baik, Dok.” Kemudian dokter berpamitan, setelah itu suster juga demikian. “Saya akan siapkan ruang rawat inap bapak, setelah itu saya akan kembali untuk memindahkan bapak ke ruang perawatan.” Ucap suster sebelum meninggalkan ruangan, aku terpaku menatap punggungnya. Kenapa tidak ada satupun anggota keluargaku yang menungguiku? Apa aku sudah lama koma?

Tiga puluh menit kemudian suster kembali bersama temanya dan memindahkanku ke ruang perawatan, “suster berapa lama aku tidak sadarkan diri?” tanyaku. “Bapak koma sebulan
lebih,” jawabnya, “Sebulan lebih?!” tanyaku tidak percaya. “Iya Pak, bapak dilarikan ke sini oleh istri bapak yang dia sendiri juga terluka, hanya saja lukanya tidak separah bapak. Ada dua orang perempuan lainnya yang di daftarkan atas nama ibu dan kakak dari istri bapak, keduanya hanya memiliki luka ringan, jadi tidak perlu dirawat disini.” Panjang lebar suster menjelaskan.

“Bagaimana keadaan istri saya, suster.”

“Istri bapak baik-baik saja, dia hanya memiliki luka-luka ringan di wajah karena terkena pecahan kaca. Terjadi benturan juga di kepalanya, tapi sudah tidak apa-apa.”

“Berapa lama istriku tinggal di sini untuk dirawat,
suster?”

“Hanya sehari, Pak.”

“Sehari?!"

“Iya, Pak. Kami hanya memastikan luka di kepalanya saja, begitu kami tahu bahwa tidak ada yang serius kami mengijinkan dia pulang keesokan harinya.”

“Apakah dia sering menjengukku selama aku koma?” Suster menatapku lekat, matanya terlihat
bingung, ada trenyuh di bola matanya.

“Suter mohon katakana yang sebenarnya, saya tahu kok istri saya seperti apa, saya tidak akan
terluka,” pancingku. Suster tersenyum, “hampir tidak pernah, saya tidak pernah melihat istri bapak datang kemari setelah meninggalkan rumah sakit, mungkin istri bapak kemari pas sudah ganti sip.” Meski aku sudah menduga bahwa Riyana tidak peduli padaku, karena ini juga pernah dilakukannya saat aku masuk rumah setelah tersesat di dalam hutan bersama Riyana dan Maman, tetap saja aku sedih dan kecewa. “Bagaimana dengan orang tua saya, suster?” aku mengalihkan pertanyaanku agar rasa sedih dan kecewa di dadaku tak tampak di mata suster. “Orang tua bapak tidak pernah absen, tiap hari kemari, teruma orang tua laki-laki.
Ibu kadang kala saja absen, sebentar lagi beliau berdua pasti datang, sudah saya kabari tadi.”
Sesaat setelah suster menyelesaikan kalimatnya, ayah dan ibu datang.

“Panjang umur, kita baru saja diam membicarakan bapak dan ibu, ternyata bapak dan ibu datang.” Sambut suster, “terimakasih suster,” ibu menimpali sambutan suster. “Iya, Pak, Bu, sama-sama. Kalau begitu saya mohon diri,” suster meninggalkan kami, memberi ruang. Ibu dan ayah sumringah menyambutku, mata ibu berkaca-kaca sesaat kemudian. Ibu memelukku erat, ayah menatap kami berdua penuh cinta.

“Akhirnya kau bangun juga, lain waktu nggak usah lama-lama tidurnya,” ucap ayah menyambutku, ayahpun memelukku erat setelahnya. Kami bercengkrama seolah tidak pernah terjadi apaapa atas diriku. Suster membawakanku makan malam, aku makan ditemani ayah dan ibu. Ingin sekali menanyakan keadaan Riyana kepada ayah dan ibu, tapi dari keterangan suster bahwa Riyana tidak pernah kemari. Ayah dan ibu juga pasti tahu, jika aku bertanya bukankah akan membuat ayah dan ibu terluka?

“Kemana saja Riyana selama aku dirawat, kenapa tidak pernah kemari? Lalu kenapa hanya diriku yang terluka parah bahkan sampai koma sebulan lebih?” Ah, pikiran sinting itu kembali muncul, “jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi yang tidak kuketahui? Kejadiannya hampir sama dengan saat kami berada di tengah hutan bersama Indri dan Maman. Semua orang baik baik saja kecuali diriku.”

“Apa yang kau pikirkan, Le?” ucap ibu membuyarkan lamunanku. Gerapan aku menjawab,

“Ti…tiidak ada, Bu.”

“Kalau itu tentang istrimu kau tidak usah khawatir, istrimu baik-baik saja.” Ucap ibu, “begitupun ibu mertuamu dan Indri,” Imbuh ayah. Aku hanya tersenyum kecut, otakku kembali pada ucapan ayah sebelum aku pergi mencari Maman waktu itu. “Jangan-jangan analisa ayah dan ibu benar, bahwa mereka yang mencelakaiku waktu itu, begitupun dengan yang terjadi sekarang.” Entahlah, kenapa aku jadi mencurigai istriku dan keluarganya. Ayah mengelus bahuku, seolah mengerti kesedihan dan kekecewaanku.

“Sudahlah, Le. Tidak usah kau pikirkan istrimu, yang penting kau focus sama pemulihanmu.” Ucap ibu kemudian, “ibumu benar, Wa. Yang terpenting sekarang kesehatanmu, jika kau sehat lain-lainnya bisa diatur.” Ucap ayah menambahkan, kamipun tersenyum getir.
_________________
TO BE CONTINUE
https://karyakarsa.com/Karenina/bab-...-sakit-sakitan


Diubah oleh nasura2101 12-08-2023 10:36
sangpemimpi89
provocator3301
kubelti3
kubelti3 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
504
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan