Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

gitartua24Avatar border
TS
gitartua24
PULANG DARI RUMAH NENEK - KUNCEN


*****


“Kamu ga sholat maghrib dulu aja disini?”
 
Nenek membantuku membereskan barang bawaan selagi aku mengikat tali sepatu. Nggak tega kalau nenek harus sampe membantu, aku buru-buru berdiri dan mengenakan tas di pudak.
 
Jam menunjukkan pukul setengah enam kurang, suasana langit terlihat temaram dari ambang pintu rumah nenek. Sambil memastikan kalua sudah nggak ada yang tertinggal aku bergegas beranjak keluar. “Nanti aja nek, di jalan atau di rumah. Masih keburu kok.”
 
“Kamu tuh, kalau dibilangin. Yasudah, kamu tunggu di sini sebentar.” Nenek bergegas masuk ke dalam rumah. Jalannya sudah membungkuk karena usia. Sesaat kemudian nenek kembali dan memberiku sesuatu. Nih, kalua ada apa-apa kamu tebar aja. Begitu ucapnya.
 
Sebuah plastik kecil berisikan garam. Aku nggak tahu maksud dan tujuan nenek memberiku seplastik garam. Mungkin sebagai jimat pelingdung untuk perjalananku pulang ke rumah. Sepertinya begitu. Aku nggak terlalu menanyakannya. Lagipula untuk orang tua sepertinya hal-hal yang berbau takhayul masih melekat erat.
 
Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih karena sudah diizinkan untuk menginap semalam kepada nenek, kemudian segera memacu motor matik berukuran 150 cc untuk pulang.
 
Dua hari yang lalu, komunitas motor yang aku ikuti sejak lama mengadakan acara perjalanan jauh ke sebuah kota di jawa tengah. Mungkin jaraknya sekitar empat jam perjalanan dari kota tempat aku tinggal. Ditambah dengan kegiatan lainnya dua hari tersebut kami gunakan untuk kegiatan komunitas.
 
Kebetulan rumah nenek berada di jalur yang sama dengan jalan yang komunitas kami pilih untuk jalan pulang. Meskipun agak sedikit memutar, namun nggak terlalu jauh jika ingin kembali ke jalan utama.
 
Keinginanku untuk menginap di rumah nenek muncul begitu saja ketika ketua komunitas kami mengumumkan jalur kami pulang. Jadi aku memutuskan untuk mampir sebentar sekalian menginap. Sudah lama juga aku nggak mengunjungi rumah nenek.
 
Terakhir kali aku mengunjungi rumah nenek adalah ketika berumur lima tahun. Aku masih ngingat saat itu keluarga besar Ibu berkumpul semua. Sebagai anak kecil yang masih suka main, saat itu adalah waktu yang menyenangkan. Aku bisa bertemu dengan saudara yang umurnya nggak berbeda jauh denganku dan kami main bersama.
 
Beberapa hari sepulangnya dari rumah nenek, aku meminta Ibu untuk kembali berkunjung ke rumah nenek. Dalam pikiran anak kecil, disana aku bisa bermain dengan saudara-saudaraku yang lain lagi. Namun entah mengapa Ibu selalu menemukan alasan agar aku mengurungkan niat untuk kembali bermain ke rumah nenek. Berkali-kali aku memintanya, berkali-kali juga alasan tersebut berhasil mengurungkan niat. Hingga sekarang aku baru sempat mengunjungi rumah nenek lagi.
 
Aku sengaja nggak mengubungi keluarga di rumah agar mereka nggak mencariku. Lagipula selama aku menyesuaikan kapan aku akan sampai di rumah dari perjalanan nggak akan menjadi permasalahan besar. Sejak aku lulus kuliah, kedua orang tuaku nggak lagi menanyakan detil-detil kecil yang nggak penting. Selama mereka tahu aku aman-aman saya, semuanya akan lancer.
 
Kalau dipikir-pikir, rumah nenek sangat nyaman untuk ditinggali jika kita ingin lari dari hiruk-pikuk kota. Mungkin bisa disebut rumah untuk hari tua. Rumah nenek berada di sebuah desa yang cukup jauh dari jalan raya. Mungkin sekitar sepuluh kilo meter. Hal ini yang menyebabkan suasana desa jauh dari kebisingan jalan raya.
 
Di belakang rumah nenek ada sungai yang mengalir. Airnya jernih. Biasanya digunakan oleh warga sekitar untuk mencuci atau bahkan mandi. Di seberang rumah, terdapat padang rumput yang luas, serta latar gunung yang terlihat menyejukkan mata dan pikiran di pagi hari.
 
Saat malam, seluruh listrik di desa padam, dan diganti dengan obor atau lentera sebagai alat penerangan. Sementara itu jarak antara rumah warga mungkin sekitar sepuluh meter. Itu juga hanya beberapa rumah yang berdekatan. Biasanya anak-anak bermain sore hari di surau. Mangkanya ketika matahari terbenam sangat wajar jika sudah nggak ada penduduk desa yang berkeliaran di luar rumah.
 
Meskipun terkesan monoton, tetapi hal tersebut membuat kehangatan rumah lebih terasa. Biasanya para warga akan melakukan makan malam bersama keluarga mereka masing-masing, bercengkrama, lalu tidur ketika menjelang pukul Sembilan. Kemudian bangun pukul empat. Pokoknya kehidupan yang sungguk menyejukkan suasana hati.
 
Di sepanjang perjalanan, hamparan padang rumput yang luas terbentang dari balik temaramnya langit sore. Di sisi kanan, terdapat rimbunan pohon pisang. Serta dibaliknya terdengar suara gemericik sungai.
 
Sudah nggak ada lagi warga yang melintas. Kalau pun ada, mungkin hanya warga desa yang kembali dari kota dengan motor bututnya. Sebagai ganti padamnya listrik desa, lampu-lampu penerang jalan mulai menyala. Menampakkan jalan desa yang disemen memanjang seperti permadani yang tergelar.
 
Entah mengapa suasana di desa menjelang malam terasa sangat sepi. Memang ini pertama kalinya aku kembali setelah sekian tahun, atau mungkin memang ini keadaan sehari-hari. Namun aku merasakan keadaan sepi yang berbeda. Sepi yang mengatakan seolah-olah nggak ada kehidupan di sekitar sini.
 
Aku melihat jam tangan di lengan sebelah kiri, sebentar lagi pukul enam. Mungkin sudah sekitar lima belas menit aku berjalan. Kalau sesuai perkiraan, kira-kira butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di jalan raya besar dari desa rumah nenek. Aku memacu motor lebih cepat lagi agar sampai di jalan raya besar lebih cepat. Entah kenapa perasaanku menjadi nggak enak.
 
BRAK! Baru saja aku memacu motor lebih cepat, motorku menghantam lubang yang sepertinya digunakan untuk saluran irigasi. Tiba-tiba saja motorku menjadi nggak bisa digas. Aku mencoba menekannya berkali-kali namun motorku sudah kehilangan tenaga. Perlahan tapi pasti motorku berhenti.
 
Dengan kesal aku menepikan motor di pinggir jalan, tepat di seberang rembunnya kebun pohon pisang. Sial, kenapa tiba-tiba bisa mogok. Padahal lubang yang tadi aku hantan nggak terlalu dalam. Motornya juga nggak lagi dalam keadaan cepat.
 
Aku menggerutu nggak jelas. Berkali-kali aku mondar mandir untuk memerksa bagian mana yang rusak dari motorku. Sayangnya aku sama sekali nggak mengerti masalah mekanik motor. Bingung, panic, kesal bercampur menjadi satu. Suasana sepi ditambah hari yang perlahan menjadi gelap menambah kekhawatiranku. Langit masih temaram seperti sebelumnya. Tanpa bulan, tanpa bintang. Aku baru menyadarinya sekarang.
 
Aku menjadi dilema antara menunggu hingga ada seseorang dating untuk membantu atau meninggalkan motor untuk mencari bantuan. Akhirnya aku meemutuskan untuk membawa barang-barang yang sekiranya berharga dan mencoba berjalan untuk mencari bantuan.
 
Alih-alih berjalan kea rah jalan raya besar, aku malah berjalan kembali kea rah desa. Siapa tahu aku akan bertemu dengan penduduk desa yang masih beraktifitas. Begitu pikirku.
 
Sekitar lima menit aku berjalan namun belum menemukan seorang pun. Motor yang aku tinggalkan terhilat semakin kecil di pandangan seiring aku berjalan menjauh. Sesaat aku berpikir untuk kembali ke motor. Selain takut motor yang aku tinggalkan hilang, aku semakin nggak nyaman dengan hawa di sekitar. Aku sama sekali nggak merasakan adanya angin. Hawa pekat yang membuat sesang dan dingin. Sejauh mata menandang aku nggak melihat adanya kehidupan. Bahkan cahaya-cahaya lampion dan obor dari arah desa rumah nenek dan desa sekitar sama sekali nggak terlihat.
 
Baru saja ingin berbalik arah aku melihat adak seorang bapak-bapak yang berjalan menuju ke arah desa. Aku bergegas berlari untuk mengejar bapak-bapak tersebut. Ia memakai kaos singlet dan celana pendek, serta memakai sandal dan membawa arit. Sepertinya habis membereskan lading.
 
Tiba-tiba jasa bapak-bapak tersebut berbelok masuk ke arah kebun pohon pisang. Aku terus mengejarnya. Setelah sampai di tempat bapak tersebut masuk ke dalam kebun, tanpa pikir panjang aku langsung menyusulnya. Bapak tersebut berjalan, sementara aku berlari. Pasti akan terkejar pikirku.
 
Aku terus berlari menyusuri kebun pohon pisang. Tentunya dengan sedikin memelankan langkah karena takut tersandung. Dengan bantuan sisa-sisa sinar matahari yang belum tertelan malam aku terus mencari. Memicingkan mata agar nggak ketinggalan jejak. Namun alih-alih bertemu, ketika aku sampai di aliran sungan aku kehilangan bapak tersebut.
 
Aku berhenti. Menarik nafas panjang untuk istirahat. Aku meletakkan kedua tanganku di pinggang. Kelelahan namun mataku terus mencari. Nihil pada akhirnya. Aku kehilangan bapak tersebut. Aku memutuskan untuk kembali ke motor ketika angin besar berhembus. Angin besar yang aneh, seperti ada seseorang yang nggak sengaja menyenggolku.
 
Dari seberang sungan terdapat rerimbunan pohon. Mataku mencari sesuatu yang nggak pasti. Pohon-pohon berdiri menjulan tinggi ke atas. Sampai mataku menemukan keanehan ketika susuatu berwarna putih setinggi dahan berdiri diatara pepohonan. Dari siluet bentuknya mirip tubuh manusia, terikat pada ujung atas dan bawah. Sosok tersebut bergerak lambat ke kiri dan ke kanan sepeti bandul. Dari tempatnya berdiri, aku merasa sosok tersebut melihat ke arahku.
 
Sejenak aku berdiri tertegun. Kakiku terasa berat untuk beranjak. Bulu-bulu di lengan berdiri. Mataku terus terpaku ke arah sosok putih di antara pepohonan. Terus bergoyang dan berdiri. Sekeras apa pun aku mengalihkan pandangan, leherku nggak mau berpaling. Tetap kea rah sosok putting tinggu tersebut.
 
Aku memejamkan mata semalam beberapa saat, dan saat membuka mata sosok tersebut sudah hilang dari pandanganku. Mungkin halusinasi, mungkin juga karena rasa takutku. Pandanganku sudah bisa berpaling, kakiku juga sudah nggak lagi kaku. Aku berbalik arah, meninggalkan kebun pohon pisang.
 
Hatiku berkata untuk tetap berjalan, menunjukkan rasa ketidaktakutan terhadap sosok yang menampakkan dirinya padaku, mungkin. Namun kaki ini nggak bisa untuk perlahan-lahan berlari. Bulu lengan ku masih berdiri.
 
Nafasku terengah-engah, terus berlari menghindari rimbunan pohon pisang. Dari sudut mata, aku bisa merasakan sosok tersebut berdiri di balik batang pohon pisang. Bukan hanya satu, sejauh sudut mataku memandang mereka ada banyak. Nggak berusaha mendekatiku, hanya saja terus mengikutiku.
 
Aku melompat ketika berhasil keluar dari kebun pohon pisang. Kembali ke jalanan desa. Namun aku merasakan ada perubahan. Seluruh lampu penerang jalan mati. Hanya sisa temaram mejelang malam yang belum berubah. Aneh. Padahal sebelum aku masuk ke dalam kebun seluruh lampu masih menyala.
 
Saat aku melihat kea rah desa, ada satu lampu penerang jalan yang menyala, bersamaan dengan sosok putih tinggi yang aku lihat dari balik pepohonan. Masih sama, berdiri sambal bergoyang ke kanan dan kekiri seperti bandul.
 
Aku berlari. Kembali berlari sekuat tenaga menuju motorku ditinggalkan. Aku mencoba melihat kembali ke belakang. Sebuah langkah bodoh yang seharusnya nggak aku lakukan. Lampu yang terakhir aku lihat tiba-tiba padam, lalu lampu di sebelahnya bergantian menyala. Bersamaan dengan sosok putih tinggi yang terus mengikuti. Begitu terus seolah-olah mengkuti aku berlari.
 
Aku mencoba berteriak, mencari pertolongan. Namun suara nggak kunjung keluar dari kerongkonganku. Rasanya serak, seperti ada ranting yang menyangga. Aku mencoba berhenti berlari, mencoba pasrah. Namun kaki ini nggak bisa dihentikan. Sekali lagi aku menengok ke belakang dan masih sama. Sosok tersebut masih mengikuti di bawah sinaran lampu jalan.
 
Jauh. Rasanya sangan jauh. Aku nggak kunjung tiba di sepeda motorku. Seakan-akan aku hanya berlari di tempat. Aku memejamkan mata. Seketika tersandung, dan saat membukanya aku sudah tersungkur di sebelah sepeda motor yang aku tinggalkan. Posisinya masih sama, beserta dengan semua barang yang aku tinggalkan dan lampu jalanan yang kembali menyala seluruhnya.
 
Sambil masih terngah-engah aku duduk di belakang motor menghadap rimbunan pohon pisang. Mencoba mengatur nafas untuk kembali tenang. Aku baru menyadari kalau seluruh waktu yang aku jalani sejak keluar dari rumah nenek hingga sekarang sudah lebih dari tiga puluh menit, atau mungkin satu jam, atau bahkan lebih.
 
Aku masih mencoba mencerna semua yang terjadi saat ini. Semuanya terasa nggak masuk akal. Motorku yang mati tiba-tiba, seorang bapak yang menghilang, lampu jalanan yang mati, serta sosok putih tingga seperti manusia yang terbungkus.
 
Disaat yang bersamaan angin kembali berhembus menerpaku. Angin yang sama seperti saat aku berada di dalam kebun pohon pisang. Entah dari kapan, sosok putih tersebut sudah berada di balik batang pohon yang ada di seberangku. Nggak hanya satu atau dua, melainkan banyak. Setiap batang pohon terdapat sosok putih yang menatap ke arahku.
 
Diantara banyaknya sosok putih tersebut, satu yang paling dekat denganku berdiri di seberang jalan. Secara perlahan sosok putih tersebut berjalan mendekatiku. Nggak seperti cerita-cerita dimana sosok putih tersebut berjalan dengan melompot-lompat. Sosok putih tersebut melayang perlahan mendekat.
 
Tubuhku kembali kaku, seolah aliran darah berhenti mengalir. Suaraku kembali tercekat, tertahan di kerongkongan hanya untuk sekedar berteriak. Aku memejamkan mata, melakukan satu hal yang sedari tadi aku belum sempat lakukan. Mengucap Istigfar. Meminta pertolongan kepada tuhan.
 
Secara seksama aku mengucapkan Istigfar dengan pelan dari mulut, sambal memejamkan mata dan berharap sosok di hadapanku pergi menghilang. Berkali-kali aku mengucapkan kalimat tersebut, meminta pertolongan kepada tuhan yang maha kuasa agar melindungiku. Hingga akhirnya kesunyian datang.
 
Dari kedua telingaku tersengar sebuah kalimat yang menggetarkan tubuh, membuat sekujur bulu tubuhku merinding.
 
“Percuma Istigfar, tapi ga (Sholat) maghrib.” Sahut suara yang ada di telingaku. Namun aku nggak merasakan kehadiran apa pun di hadapanku.
 
Perlahan-lahan aku membuka mata. Pandangan nanar perlahan-lahan menjadi terang dan jelas. Sebuah kain putih terpampang jelas di hadapanku. Kain putih dengan noda kotor seperti tanah di beberapa bagian. Aku terus menaikkan pandangan, sampai aku melihat seutuhnya. Sosok yang mengikutiku kini sedang berjongkok di hadapanku dengan tatapan wajah kosong yang tertutup kain setengah.
 
Aku berteriak, berteriak sangat keras. Serta merta aku melompat ke belakang, tersungkur dan terguling ke hamparan padang rumput. Sosok putih tersebut masih berjongkok disana, menatap ke arahku seolah-olah meledek.
 
Sekujur tubuhku kini berkeringan. Mulutku kembali kaku. Mataku nggak bisa mempercayai yang aku lihat sekarang, namun semuanya terasa nyata sekarang. Kakiku kaku, bergetar hebat sampai nggak mampu untuk berdiri. Aku ketakutan.
 
Aku mencoba untuk berteriak sekali lagi, berteriak untuk meminta pertolongan. Namun kalimat yang ingin aku ucapkan kembali nggak keluar. Aku meraba kantong jaketku, ada sesuatu disana. Seperti plastic untuk membungkus sesuatu. Buru-buru aku mengeluarkannya dari dalam kantong. Ada seplastik garam yang diberikan oleh nenek tepat sebelum aku pergi meninggalkan rumahnya.
 
Kontan aku merobek plastic tersebut dan melemparkan isinya ke arah sosok putih yang masih berjongkok di hadapanku. Aku sudah nggak mampu berpikir lagi, apa pun yang aku lakukan saat ini didasari oleh rasa takut. Namun seiring garam pemberian nenek yang tersebar, perlahan-lahan sosok putih tersebut menghilang. Menghilang seperti tertiup hembusan angin.
 
Dengan sekuat tenaga aku mencoba berdiri, kemudian berlari ke arah sepeda motorku. Aku sudah nggak peduli lagi, kalau pun motorku masih nggak bisa menyala aku akan mendorongnya sampai ke pinggir jalan raya besar.
 
Sosok putih tersebut masih banyak terlihat dari balik pepohonan kebun pisang, namun sebisa mungkin aku nggak melihat ke arah tersebut. Meskipun aku masih bisa merasakan sosok putih tersebut masih menatap ke arahku.
 
Aku mengambil seluruh barang bawaanku yang tergeletak di tanah, kemudian mencoba menyalakan motor. Entah apa yang terjadi, mukzizat atau keajaiban seolah datang. Motoru tiba-tiba menyala sempurna. Tanpa memikirkan banyak hal, aku langsung naik dan mengendarainya secepat mungkin. Nggak memperdulikan jalanan bebatuan dan sosok putih yang masih ters terlihat dari balik pohon pisang.
 
Saat aku tiba di jalan raya besar, hari sudah berubah gelap. Jalanan masih dipenuhi oleh kendaraan yang umumnya roda empat. Biasanya mobil-mobil yang bepergian antar kota. Hatiku merasa sedikit ketenangan ketika melihat keramaian, meskipun aku bisa merasakan jantungku yang masih terpacu ketakutan. Sekeras apa pun aku mecoba melupakan, bayang-bayang kejadian yang baru aku alami masih terlihat jelas dalam pikiran.
 
Aku menepi ke sebuah warung kopi yang berada di pinggir jalan, biasanya digunakan banyak supir untuk istiharat. Di depan konter penjual, aku memesan es teh manis untuk menenagkan diri. Sejak berhasil sampai ke jalan raya besar, tenggorokan ku terasa kering.
 
“Dari mana mas? Kok keliatannya capek banget.” Tanya seorang bapak-bapak yang duduk di sebelahku. Sepertinya aku nggak bisa menyembunyikan raut kelelahan dan ketakutanku saat ini.
 
“Abis touring pak, terus tadi lewat situ.” Aku menunjukkan tempatku melihat sosok putih sebelumnya, dan menyebutkan nama desa rumah nenek.
 
“Wah, mas berani juga ya.”
 
“Maksudnya pak?” Tanyaku kebingungan.
 
“Iya, mas berani juga lewat situ malem-malem. Warga sini biasanya lewat desa itu buat motong jalan aja kalau siang. Tapi kalau malem nggak ada yang berani lewat desa itu. Soalnya kan udah kosong mas desanya.”
 
Aku yang masih kebingungan semakin nggak mengerti dengan ucapan bapak tersebut. Ketika penjaga warung kopi memberikan pesananku, telepon genggamku bergetar. Aku mengambilnya dari saku celana. Lima panggilan nggak terjawab dan tujuh pesan yang belum terbaca. Semuanya dari ibu. Aku kembali keheranan karena begitu banyak pesan masuk.
 
Namun yang membuatku lebih terkejut adalah, jam di telepon genggamku menunjukkan pukul sepuluh malam. Itu artinya lebih dari empat jam berlalu dari saat aku meninggalkan rumah nenek. Aku meminum es teh manis seteguk kemudian permisi ke bapak-bapak-bapak yang mengajakku berbicara.
 
Aku menepi ke luar warung, mencoba melakukan panggilan ke Ibu. Tiga kali nada dering suara dan Ibu sudah mengangkat panggilan telponku.
 
“Kamu kemana aja sih, dari tadi Ibu telponin tapi nggak diangkat?” Terdengar kecemasan dari cara Ibu berbicara.
 
“Aku kesasar Bu tadi, ini lagi jalan pulang kok.” Jawabku sedikit berbohong. Nggak mungkin aku membicarakan apa yang terjadi kepada ibu saat ini juga. Lagi pula, aku mesih berusaha mencerta apa yang terjadi denganku selama empat jam sebelumnya.
 
“Kesasar? Kesasar dimana?”
 
“Iya, aku semalem abis nginep di rumah nenek. Terus pas pulangnya aku kesasar.”
 
“Kamu itu ngomong apaan sih. Nenek kamu itu sudah meninggal waktu umur kamu lima tahun.”
 
Aku kehilangan kata-kata. Nggak lama mendengat ucapan dari Ibu, aku mematikan telpon genggam. Kemudian aku kembali ke warung kopi tersebut dan membayar pesananku tanpa menghabiskannya. Aku pergi dari tempat terbut tanpa berpamitan dengan bapak-bapak yang mengajakku berbicara. Perasaanku sangat nggak enak. Saat ini nggak ada yang bisa aku percaya jika hanya melihat sekilas dari pandangan mata. Kemudian aku bergegas pulang ke rumah.


Diubah oleh gitartua24 18-09-2023 09:41
itkgid
angelkawaii
69banditos
69banditos dan 11 lainnya memberi reputasi
12
906
56
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan