Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

jeniussetyo09Avatar border
TS
jeniussetyo09
Diary Mata Indigo - Sebuah Cerita Indigo Interdimensional
Salam Sejahtera Agan & Sista

Welcome to My Thread






Thread ini dibuat untuk berbagi pengalaman dan cerita yang bisa dibilang… well, mungkin tidak bisa dikatakan biasa. Karena cerita dan pengalaman ini adalah cerita dan pengalaman yang dihasilkan dari penglihatan seorang yang bisa melihat “mereka”. Mereka yang tak kasat mata, mereka yang berada di alam sebelah. Mereka yang sering disebut dengan hantu, makhluk halus atau arwah.
Diary ini bercerita tentang apa yang dilihat, dialami dan dirasakan dari seorang Indigo. Istilah indigo adalah sebutan bagi mereka yang memiliki kemampuan indra keenam, dan dalam thread ini khusus hanya membahas tentang pengalaman Indigo Interdimensional, bukan indigo yang lain. Indigo Interdimensional adalah salah satu kemampuan Indigo dimana seseorang bisa melihat bahkan berkomunikasi dengan makhluk halus atau penghuni alam sebelah.

Isi thread ini sepenuhnya OOT karena di sini tidak bicara tentang pengertian atau pemahaman tertentu, tapi bicara tentang apa yang dilihat, dialami dan dirasakan. Bagi orang yang mungkin punya pemahaman atau pengertian yang berbeda dipersilahkan. Tapi yang jelas hal-hal itu tidak akan direspon, karena orang-orang Indigo adalah orang-orang yang berpikiran merdeka, karena sejak awal mereka memang berbeda. Mereka tidak suka dikontrol dan tidak suka diminta mengikuti pola yang sudah ada atau umum. Only God can judge me, begitu prinsip orang Indigo umumnya.

Thread ini tidak melulu akan berisi cerita yang bernuansa dark atau horror, karena di alam sebelahpun cerita yang sedih, lucu, bahkan mirispun ada. Alam “mereka” tidak sepenuhnya seperti cerita-cerita di film-film atau sinetron. Banyak pelajaran juga bisa diambil, dan semuanya akan berujung pada kebesaran Tuhan Yang Maha Esa

Penulis tidak mengharapkan komentar yang menimbulkan perpecahan apalagi yang berbau SARA, akan tetapi jika ternyata ada juga yang berkomentar demikian, maka semoga mendapatkan hidayah dan semoga orang tersebut semakin dimulikan dan dan ditinggikan derajatnya oleh Tuhan Yang Maha Esa. Terlepas nanti ada syarat dan ketentuan berlakunya atau tidak.

Selebihnya ane cuma bisa mengucapkan, selamat menikmati. Enjoy….


PS :

Untuk memudahkan dan karena Diary ini terdiri dari beberapa part ane sediakan link nya. Dengan rendah hati ane juga tidak lupa menghimbau untuk membudayakan komeng bagi Agan & Sista. Cendol bila Agan & Sista ikhlas, rate jika berkenan, bata mohon ditiadakan emoticon-Blue Guy Peace
emoticon-Blue Guy Peace emoticon-Blue Guy Peace

Part 1 : Mata Indigo - Pendahuluan


Part 2 : Mata Indigo - Penyebab

Part 3 : Mata Indigo - Percobaan dari Eyang

Part 4 : Mata Indigo - Kelahiranku

Part 5 : Mata Indigo - Dinamika Alam Sebelah Part 1

Part 6 : Mata Indigo - Dinamika Alam Sebelah Part 2

Part 7 : Mata Indigo - Pak Sam Part 1

Part 8 : Mata Indigo - Pak Sam Part 2

Part 9 : Mata Indigo - Pak Sam Part 3

Part 10 : Mata Indigo - Tirakat Part 1

Part 11 : Mata Indigo - Tirakat Part 2

Part 12 : Mata Indigo - Setelah Tirakat Part 1

Part 13 : Mata Indigo - Setelah Tirakat Part 2

Part 14 : Mata Indigo – Residual Energi Part 1

Part 15 : Mata Indigo - Residual Energi Part 2

Part 16 : Mata Indigo - Tempat Angker

Part 17 : Mata Indigo - Romansa Alam Sebelah

Part 18 : Mata Indigo - "Mereka" yang Suka Membonceng

Part 19 : Mata Indigo - Merapi dan Sebuah Pertanda

Part 20 : Mata Indigo - Eyang Uyut Part 1

Part 21 : Mata Indigo - Eyang Uyut Part 2

Part 21 : Mata Indigo - Eyang Uyut Part 3

Part 22 : Mata Indigo : Eyang Uyut Part 4

Part 23 : Mata Indigo - Epilog (Eyang Uyut Part 5) - TAMAT

LINK : Lanjut SEASON 2

Sebuah Tulisan dari Agan Kris : Fakta-Fakta Tentang Diary Mata Indigo


Quote:




Quote:



Quote:


Quote:


Quote:



Berhubung cerita Season 1 nya dah Tamat, lanjut Season 2 nya di mari :SEASON 2 : DIARY MATA INDIGO

Quote:






Mata Indigo – Pendahuluan

Seeing is believing, begitu quote yang mungkin Aku sendiri pun tidak tahu asalnya dari mana. Semua nya bersumber dari penglihatan. Mempercayai apa yang dilihat oleh mata. Tentu saja oleh mata kepala sendiri. Namun bagaimana jika yang mampu kulihat tidak seperti yang mampu orang lain lihat. Apakah hanya Aku yang harus percaya apa yang kulihat itu?

Indigo, sebutan itu pertama kali aku dapat dari sebuah buku berbahasa inggris yang kubaca. Sebenarnya itu buku milik paman ku, tapi sepertinya bisa menjawab apa yang terjadi pada diriku. Semenjak kecil aku bisa melihat sesuatu yang tidak dilihat orang biasa. Aku bisa melihat “mereka”. Sebutan mereka dalam keseharian bermacam-macam. Ada yang menyebutnya hantu, jin, setan, arwah, siluman dan lain sebagainya. Pada awalnya ini kusadari waktu aku berumur kurang lebih lima atau enam tahun. Aku bisa mengingatnya dengan persis.

Pada waktu itu hari sudah mulai gelap dan Azan Maghrib sudah setengah jam yang lalu berkumandang. Aku bersama Ibuku berjalan melewati jalanan menuju kompleks rumahku. Kami habis pulang dari tempat kerabat. Sebelum masuk ke komplek perumahan tempat kami tinggal, kami harus melewati sebuah bangunan sekolah tua yang tidak lagi terpakai. Di sebelah sekolah itu, di belakang taman bermain ada rumpun bambu yang sangat tinggi dan lebat. Sudah lama aku dengar di daerah situ, terutama di rumpun bambu itu banyak “penghuninya”. Ibu berjalan hampir seperti menyeretku. Langkahnya semakin cepat saat melewati sekolah itu, namun mataku seperti diarahkan tertuju pada taman bermain yang ada di dekat rumpun bambu. Lama kuperhatikan satu persatu alat bermain di situ. Mulai dari ayunan, perosotan, palang bermain, bak pasir,dan lain-lain. Tiba-tiba aku melihat ayunan yang ada di situ bergerak sendiri, dan kemudian tampak perlahan-lahan pada ayunan yang bergoyang itu terbentuk siluet yang semakin lama semakin jelas. Sosoknya seperti wanita menimang bayi dengan posisi agak membelakangi . Aku masih bisa melihat lengkungan tangannya seperti menggendong sesuatu. Lirih aku mendengar sosok itu bersenandung. Melantunkan nada lagu Nina Bobo. Sesaat aku melihat lehernya hampir menoleh ke arahku, namun tiba-tiba lengan Ibu menyentak ku sambil menghardik “Kamu jalan cepat sedikit”. Aku pun menurut dan mencoba menyamai kecepatan langkah ibu.

Itu pengalaman pertamaku. Aku sampai sekarang tidak pernah lupa pengalam itu. Aku mencoba menceritakan pengalaman itu pada Ibu beberapa hari kemudian. Namun Ibu hanya menjawab “ itu tidak ada”, “Kamu salah lihat”, “Itu cuma bayangan mu” dan semacamnya. Aku berusaha menerima hal itu walaupun pikiranku malah mengatakan sebaliknya. Penglihatan mata ku tidak salah.

Indigo interdimensional, mungkin itu sebutan bagi jenis Indigo milik ku. Aku bisa melihat mereka, merasakan kehadiran mereka. Bahkan jika aku mau, aku bisa berkomunikasi dengan mereka. Setelah pengalaman melihat sosok di bekas gedung sekolah itu, semakin sering aku melihat mereka. Aku bisa melihat di dapur rumahku ada sesosok wanita bergaun merah panjang dengan muka yang menyeramkan sering hilir mudik. Kadang sosok itu membuat suara-suara dan keributan di dapur, sampai-sampai Ayahku sering mengira Ibu ku ada di dapur padahal Ibu ku sedang tidak ada disitu.

Kondisi ini membuatku frustasi. Ayah dan Ibu seperti tidak menganggap apa yang selalu kuceritakan. Mereka malah menganggap Aku bocah penakut, bahkan menduga aku punya masalah kejiwaan. Kadang pun aku merasa mereka juga takut. Hidupku sendiri mulai tidak tenang. Saat tidur aku berusaha keras memejamkan mata, walaupun sebelumnya dari jendela aku melihat sosok tinggi besar, berbulu hitam dengan mata merah menyala dan bergigi taring menatapku dari bawah pohon mangga di dekat jendela kamarku. Hampir tiap malam yang kualami adalah suasana horor. Aku tidak berani sendiri. Bahkan untuk kencing atau ke kamar kecil sekalipun aku minta ditemani. Aku tidak berani melihat ke arah-arah tertentu. Karena Aku tahu di arah itu penampakan mereka akan kujumpai. Kadang ada yang muncul dengan kepala terjuntai dari atas lemari. Kepalanya panjang menjulur ke arahku. Kadang ada yang menindihku berupa sosok nenek-nenek saat aku tidur. Membuat napasku sesak setengah mati dan badanku kadang kejang-kejang. Persis sakit ayan. Ayah Ibu ku membawaku ke dokter. Tentu saja dokter tidak menemukan penyakit ayan di tubuhku.

Lama-kelamaan aku tidak hanya bisa melihat mereka, tetapi juga mendengar jelas suara mereka. Suara seperti geraman, desahan berat, cekikik tawa, dengusan napas, atau benda-benda yang mereka gerakkan bisa kudengar dengan jelas. Sampai pada titik itu aku merasa hidupku adalah mimpi buruk. Mimpi buruk yang panjang dan melelahkan. Aku mencoba lebih dekat dengan Tuhan. Sayangnya hal itu tidak berpengaruh banyak. Mereka memang seperti sedikit memberi batas padaku. Tetapi mata ini tetap bisa melihat mereka. Suara mereka juga masih bisa terdengar. Bagi ku mimpi buruk itu tidak terhenti. Sampai pada satu titik aku merasa Tuhan seperti tidak ada. Bahkan dalam tidur, saat aku bermimpi aku pun bertanya “ Tuhan Engkau dimana?”
Diubah oleh jeniussetyo09 13-06-2018 03:13
efti108
kikianto
boxy30
boxy30 dan 34 lainnya memberi reputasi
33
1.2M
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
jeniussetyo09Avatar border
TS
jeniussetyo09
#472
[B]MATA INDIGO – MERAPI DAN SEBUAH PERTANDA[/B]


Akhirnya hari pengumuman kelulusan pun tiba. Penderitaan karena menunggu hasil pengumuman pun terjawab. Aku termasuk salah satu siswa yang lulus. Lega rasa nya. Sebagai tanda syukur Aku bersama dengan teman-teman ku yang lulus mengungkapkan nya dengan berjalan kaki dari sekolah menuju tugu Y*gya. Sampai di tugu kami semua mengumandangkan lagu mars sekolah sekeras-kerasnya. Dengan tangan terkepal di dada. Sangat memorable.

Pada saat malam wisuda, Pak Sam guru pertama yang ingin kusalami. Saat bertemu dengan nya tubuhku malah seperti bergerak sendiri untuk memeluknya. Aku mengucapkan terima kasih karena sudah membantuku melewati masa-masa sulit karena kemampuanku ini. Pak Sam membalasnya sambil menepuk-nepuk punggungku. Dia berpesan, setiap saat Aku membutuhkan nya untuk bertanya atau menghadapi hal sulit, Aku tinggal datang saja ke rumahnya. Tidak lupa dia berpesan agar Aku tetap berusaha menemukan kedamaian dengan kemampuan yang Aku miliki. Sempat dia bertanya setelah lulus ingin kemana. Aku menjawab, belum memutuskan. Aku hanya mengungkapkan kalau Aku punya nazar. Jika lulus Aku ingin mendaki Gunung Merapi.

Ya, Aku pribadi sebenarnya punya nazar. Jika lulus akan mendaki Gunung Merapi. Oleh karena itu Aku harus menuntaskan nazarku. Sayang nya teman-teman sekolahku yang tergabung dalam Padebri ternyata tidak ada yang bisa menemaniku. Aku lalu mencoba menghubungi salah satu teman ku di Mapala UG* untuk menanyakan apakah kira-kira ada yang bisa menemaniku naik ke Merapi. Ternyata kebetulan ada salah satu orang juga yang juga ingin mendaki Gunung Merapi. Akhirnya rombongan kecil yang terdiri dari 3 orang berangkat menuju Gunung Merapi. Aku, temanku yang bernama Mas Bernard, dan seorang lagi bernama Mas Jajang. Karena kurang pengalaman dan bukan pendaki profesional kami memilih jalur yang relatif mudah, yaitu lewat Jalur Selo – B*yolal*.

Perjalanan mendaki Gunung Merapi pun dimulai. Semenjak awal perjalanan Aku sengaja membuka mata ketiga ku lebar-lebar, sehingga alam sebelah sepanjang jalur pendakian pun tampak olehku. Layaknya daerah yang secara umum jarang di jamah oleh manusia, “mereka” yang menghuni lebih banyak berjenis siluman, atau dalam bahasa jawa disebut lelembut. Sejauh yang mata ketigaku bisa lacak beberapa Siluman memiliki energi sangat kuat. Kuat bagi ku adalah jika “mereka” sampai bisa mempengaruhi keadaan alam baik dimensi manusia maupun dimensi “mereka” sendiri. Kalau keadaan alam saja bisa mereka pengaruhi, bagaimana dengan pikiran manusia seperti kami.

Pertanyaannya dari mana energi sekuat itu mereka bisa dapatkan? Entahlah Aku sendiri pun kurang bisa menjelaskan. Aku hanya bisa menebak-nebak dengan melihat pola energinya. Beberapa dari mereka dulu nya pernah nyata (pernah menjadi manusia juga). Tetapi apa mungkin manusia bisa mendapatkan dan menampung energi sebesar itu? Laku prihatin atau cara apa yang mereka lakukan sampai bisa menjadi seperti (sesakti) itu? Apa memang orang jaman dulu sakti-sakti? Banyak pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab oleh ku. Beberapa gambaran yang kudapatkan memang cukup unik saat melacak “mereka” ini. Ada yang memang mereka dulunya adalah orang yang sudah mencapai taraf kekuatan (kesaktian) jauh sampai batas puncak, dan sampai pada titik ini tubuh mereka sudah tidak mampu lagi menampungnya. Tubuh mereka terurai sampai tingkat sel bahkan molekul. Secara fisik mereka hilang, namun secara energi dan kesadaran mereka tetap ada. Hanya seperti berpindah dimensi saja, dan mereka malah melekat dengan lingkungan sekitar mereka (alam). Istilah yang biasa digunakan adalah moksa. Moksa bagiku tidak hanya sebuah proses terangkat menuju ke alam divinitas (keilahian). Istilahku terangkat ke atas. Kadang proses yang terjadi adalah mereka malah terangkat ke samping, atau bisa dikatakan juga malah menyatu dengan alam. Seperti berpindah dimensi dan nyangkut di sana. Kenapa bisa seperti itu? Aku sendiri cuma berkesimpulan karena tidak semua orang yang kesaktiannya mencapai batas puncak itu sifatnya baik, yang jahat atau setengah baik juga ada. Nobody’s perfect.

“Mereka” yang berkekuatan tinggi ini kadang dianggap menjadi penguasa atau istilah jawanya disebut Dhanyang atau Pepunden. Dhanyang atau Pepunden kadang juga tidak hanya dianggap penunggu suatu tempat namun juga menjadi leluhur atau “sesuatu” yang di tuakan dan wajib untuk sering diajak berkomunikasi. Diberi sesaji, tumpeng atau kembang. Semua sudah tahu lah itu.

Apuranen sun angetang, lelembut sanungsa Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dedemit, agung sawabe ugi, yen apal sadayanipun, apan dadya tetulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa

Belum sampai di Pos Watugajah Aku sudah merasa kepayahan. Begitu juga dengan Mas Jajang. Hanya Mas Bernard yang sepertinya tidak ada masalah. Treknya semakin ekstrim. Jalannya semakin menanjak. Jalurnya banyak kerikil dan berpasir. Vegetasi dan tumbuhan semakin sedikit. Udara juga semakin tipis. Rasanya dingin dan menggigit. Tanganku sampai gemetaran sangking dingin nya. Kabut mulai turun mengelilingi kami. Sampai di pos Watugajah kami beristirahat sebentar. Kami memilih untuk tidak memasang tenda dan beristirahat di alam terbuka. Sempat Aku merasa ada yang ganjil. Seharusnya sampai di Pos Watugajah ini kami sudah bertemu dengan beberapa orang dan rombongan yang tadi juga ikut naik bersama kami dari basecamp bawah. Kenyataannya nya saat ini Aku tidak melihat seorang pun. Bekas serakan dan beberapa sampah gunung yang Aku lihat segera menepis pikiran aneh itu. Siapa tahu mereka sudah berjalan ke atas duluan dan saat ini sudah sampai di Pos Pasar Bubrah

Di luar dugaan Mas Bernard malah memilih untuk menggelar alas tidur. Tidak lama kemudian dirinya tidur mengorok tanpa rasa berdosa. Aku dan Mas Jajang lebih memilih untuk saling memijit kaki sambil mengobrol. Sedang asyik bercengkrama tiba-tiba dari arah atas muncul seorang laki-laki tinggi kurus bertelanjang dada dan berkulit sawo matang dengan menggunakan ikat kepala berjalan cepat sambil membawa sebongkah gelondongan kayu besar panjang. Kayu itu dibawa dengan cara menggendong di pundak. Langkahnya yang cepat dan ringan menuruni jalan seperti tidak menyiratkan adanya beban berat yang sedang dibawa di pundaknya. Aku sempat berpikir bahwa itu adalah sosok “mereka”, namun ternyata Mas Jajang pun juga melihatnya. Berarti bukan "mereka".

“Nuwun Sewu Mas……. (Permisi Mas….)”, kata sosok itu sambil berjalan melewati kami.

Entah apa yang ada dalam pikiranku, atau memang saat itu Aku sedang lemot atau terlanjur takjub dengan kemampuan orang itu membawa gelondongan kayu besar Aku seketika pun merespon, “Monggo Mas…. Sakecaaken….(Silahkan Mas, diperbolehkan….)”.
Padahal orang itu sudah berjalan melewati kami dan saat itu dalam posisi membelakangi kami.

Tiba-tiba langkah orang itu terhenti. Dengan sedikit menengok dan melirik tajam kearah kami orang itu berkata, “Mangke tekan Pasar ati-ati Mas, ra sah mengo mburi. Ndak ra iso bali”.
Setelah mengucapkan kata-kata itu orang itu kembali melanjutkan langkahnya sampai akhirnya tubuhnya tidak tampak lagi dari pandangan kami. Hilang ditelan jalan setapak. Aku mengerti arti kata-kata yang diucapkan nya : “Nanti sampai pasar hati-hati Mas. Tidak usah menengok ke belakang. Nanti malah tidak bisa pulang”. Namun Aku dan Mas Jajang yang mendengarnya malah heran, kenapa sampai pasar tidak boleh menengok ke belakang? Mungkin banyak yang belum tahu jika yang namanya Pasar Bubrah hanya sebutan untuk sebuah pos atau pemberhentian setelah pos Watugajah ini. Tidak ada bangunan atau pasar dalam arti sebenarnya. Tidak ada orang berjualan atau mendirikan lapak di sana. Hanya ada hamparan batu dan pasir yang luas tanpa vegetasi. Konon katanya dulu entah pada jaman apa dan kapan di tempat itu memang pernah ada pasar yang cukup ramai. Namun pasar itu kemudian terkubur karena tersapu letusan Gunung Merapi. Cerita yang Aku dengar di tempat itu sering terjadi kejadian aneh, seperti sering terdengarnya suara ringkikan kuda, dan suara-suara seperti orang berbicara namun tanpa wujud, atau suara gamelan seperti ada tanggap wayang. Saat ini orang-orang menyebutnya dengan Pasar Bubrah, bahkan ada yang menyebutnya dengan Pasar Setan.

Awan gelap dan hitam di langit seakan mengingatkanku. Bisa gawat kalau sampai di atas gunung kami malah kehujanan atau terjebak badai petir. Sekejap Aku dan Mas Jajang lupa denga kata-kata orang tadi. Aku lalu membangunkan Mas Bernard sementara Mas Jajang mulai berberes dan membersihkan sampah. Perjalanan sampai ke puncak masih memakan waktu 1,5 sampai 2 jam lagi. Perjuangan masih panjang.

Pada hari itu ternyata Aku mendapat sebuah pelajaran lagi tentang eksistensi “mereka”. Sebuah buku psikologi yang pernah Aku baca menyebutkan bahwa pengalaman berinteraksi atau melihat “mereka” biasanya adalah sebuah pengalaman personal. Hampir tidak pernah 2 orang atau lebih bisa melihat “mereka” atau mengalami interaksi dengan mereka secara bersama-sama pada tempat dan waktu yang sama. Ternyata itu semua salah dan terpatahkan. Tidak perduli apakah punya Mata Indigo atau tidak “mereka” bisa memperlihatkan diri pada lebih dari 1 orang di tempat dan saat yang sama.

Setelah hampir 45 menit kami berjalan, kami tidak berjumpa, berpapasan, atau menemui satu orang pun pendaki yang naik bersama dengan kami. Kabut turun semakin tebal dan pekat. Jarak pandang kami seketika terbatas. Ini aneh, dan hampir tidak mungkin. Saat ini kami seharusnya sudah sampai di Pos Pasar Bubrah dan setidaknya sudah bertemu dengan salah satu pendaki yang naik. Kegelisahan itu ternyata tidak kurasakan sendiri. Mas Bernard dan Mas Jajang juga merasa ada yang tidak beres. Kekalutan tampak jelas di wajah mereka. Beberapa kali mereka memastikan medan dengan melihat sekeliling. Suasana semakin terasa aneh dan mencekam. Keadaan sekitar kami seperti diselimuti oleh rasa sunyi yang aneh.

“Tak betul ini…. Ini tak betul….”, Mas Jajang mulai berguman sendiri. Sedangkan Aku melihat Mas Bernard entah kenapa seperti terengah-engah. Sepertinya dia mulai kesulitan bernapas. Aku lalu mencoba memfokuskan pandangan ku. Sia-sia, sejauh mata ku memandang hanya terlihat kabut. Sekeliling kami seperti diliputi tabir dari asap. Kami seperti terperangkap di dimensi lain.

Pada saat hampir putus asa tiba-tiba Mas Bernard seperti terpekik, “ Hei ada orang…..”.
Seharusnya kami merasa lega mendengar kabar itu. Kenyataannya keadaan yang kami hadapi malah jauh lebih ngeri lagi. Apa yang kulihat tidak hanya kusaksikan sendiri. Mas Bernard dan Mas Jajang pun ternyata juga melihatnya. Dari arah kabut di depan kami mulai bermunculan seperti sosok-sosok manusia dalam jumlah banyak. Awalnya kami mengira itu adalah para pendaki yang sudah berjalan mendahului kami, tapi setelah kami perhatikan ternyata bukan. Penampilan mereka bukan seperti pendaki. Mereka malah seperti penduduk kampung dengan pakaian jaman dulu yang lusuh. Wajah mereka tampak pucat, kaku dan dingin. Tanpa ekspresi.

Langkah Mas Bernard dan Mas Jajang mulai melambat, mereka seperti sudah siap untuk menghentikan langkah mereka kapan saja. Hati kecil dan pikiranku seperti mengisyaratkan kami tidak boleh berhenti. Apapun yang terjadi kaki kami ini harus tetap melangkah dan berjalan. Sebisa mungkin aku menarik Mas Jajang dan Mas Bernard supaya tetap melangkah. Sekeliling kami lamat-lamat mulai berubah, kami seperti memasuki sebuah lorong dengan banyak lapak dan orang berjualan di kanan kirinya. Mereka berjualan. Aku melihat mereka menukar barang dan menerima uang namun tanpa berkata-kata dan tanpa ekspresi. Suasana pasar ini tidak lazim. Tampak seperti pasar tetapi suuuuunyiiiiiiiii……. sekali. Banyak orang melakukan aktifitas tetapi hening. Bahkan bunyi hembusan napas mereka saja sampai tidak terdengar. Benar-benar tidak lazim. Sama sekali tidak wajar.

Beberapa dari “mereka” mulai memperhatikan kami. Kami bisa merasakan mata mereka menatap kami dengan tatapan kosong yang tak wajar. Rasanya seperti ditatap oleh orang mati. Aku mulai merasa beberapa juga mulai mengikuti kami dari belakang. Rasanya ingin menoleh ke belakang untuk memastikan apakah mereka mengikuti kami.

“Sssstttt…. Jalan terus, jangan menoleh…..”, Aku mengingatkan ketika melihat pergerakan leher Mas Bernard sepertinya ingin menoleh ke belakang. Sementara Mas Jajang berusaha mengeratkan tubuhnya denganku. Sepertinya dia benar-benar sudah ketakutan setengah mati. Keringatnya mengucur sejagung-jagung. Tubuhnya juga kurasakan bergetar tak karuan. Sudut mata ku melihat beberapa dari mereka mulai menunjuk ke arah kami. Mas Bernard pun sepertinya melihat dan menyadari hal itu. Gerakan tangannya memberi kode untuk terus berjalan dan mempercepat langkah. Telingaku mulai menangkap bibirnya mulai membaca doa-doa. Semakin masuk ke dalam pasar rasanya semakin tidak berani untuk memperhatikan sekeliling. Dada kami bertiga seperti mau pecah dengan rasa takut. Rasanya seperti merasa berada di tempat yang salah dan bukan semestinya. Ini alam mereka, bukan alam kita. Kita tidak seharusnya di sini. Pikiran-pikiran itu terus menghantui. Kami sekuat tenaga terus melanjutkan langkah, tidak berani sedikitpun berhenti.

Entah sudah berapa lama kami berjalan, perlahan-lahan kabut mulai turun dan menghilang. Sekeliling kami pun perlahan-lahan berubah. Bayangan pasar dengan lapak dan orang-orang itu akhirnya menghilang dan tidak tampak lagi. Sinar matahari sepertinya baru saja berhasil menembus dan menyinari kami. Suasana jadi seperti lebih terang dari sebelumnya. Kami merasa keadaan kami perlahan-lahan sudah aman. Jalanan di hadapan kami mulai melandai, treknya semakin curam. Tapi kami justru lega karena kami menemui beberapa orang pendaki yang juga sedang mendaki bersama kami. Lama-lama jumlah pendaki yang kami temui makin banyak. Bahkan kami bertemu dengan segerombolan pendaki yang sedang beristirahat. Tidak terasa kami ternyata sudah hampir sampai di puncak Merapi. Perasaan kami jadi semakin lega dan gembira karena ternyata kami bisa menyelesaikan jalur pendakian dan sampai di puncak Merapi. Mas Jajang sampai terduduk dan tertawa-tawa sendiri sangking lega nya. Mas Bernard tidak henti-hentinya tersenyum. Sementara Aku rasanya seperti hampir menangis. Pertama kali nya Aku mendaki Merapi, dan Aku bisa mencapai puncaknya hari itu demi nazarku. Kami bertiga lalu berfoto bersama sebagai kenang-kenangan.

Pada saat turun dari Gunung Merapi ternyata Aku jatuh pingsan. Mungkin sebenarnya Aku kurang fit, atau terlalu menguras tenaga saat naik. Saat pingsan itu Aku seperti bermimpi, seakan di jamu oleh seorang tua berpakaian putih. Orang itu memperkenalkan diri bernama Eyang Karta. Eyang Karta mengatakan padaku bahwa hubungan antara penguasa Utara dan Penguasa Selatan selalu tidak akur. Eyang Karta berpesan, jika Aku melihat bayangan awan bebentuk naga selama 7 hari berturut-turut mengarah ke pantai Selatan maka itu artinya keadaan dalam kondisi aman dan baik-baik saja. Tetapi jika sampai kurang dari 7 hari awan itu ternyata menghilang maka Eyang Karta lalu memintaku untuk secepatnya memperhatikan lereng Merapi dari arah Desa Srumbung. Dirinya mengatakan kalau Aku melihat barisan lampor menyerbu ke arah Merapi maka akan terjadi sesuatu. Mimpi itu terputus hanya sampai di situ. Tahu-tahu Aku sudah dalam perjalanan menuju sebuah puskesma di B*yolal*. Mimpi itu begitu berkesan, sampai tidak pernah bisa kulupakan.

Beberapa tahun kemudian Aku melihat seperti ada bayangan ular naga di langit di antara gugusan awan. Bayangan naga berwarna ungu itu seakan mengarahkan kepalanya kea rah selatan. Apakah ini yang dimaksud oleh orang yang berwarna Eyang Karta ini di mimpiku. Aku lalu mencoba mencari desa bernama Srumbung di internet. Ternyata memang ada desa bernama Srumbung di daerah Muntil*n Mag*la*g. Dari desa itu lereng Merapi memang bisa terlihat jelas.

Hari ke 4 bayangan naga itu lama-kelamaan menghilang. Perasaanku mengatakan memang sepertinya akan terjadi sesuatu. Aku coba mengikuti petunjuk yang diberikan dan pergi ke desa Srumbung. Mulai siang sampai malam Aku tidak melihat adanya penampakan apa pun. Saat waktu menunjukkan pukul 21:00 Aku melihat seperti ada bayangan garis kuning kemerahan di arah lereng Merapi. Tadinya Aku berpikir itu adalah penampakan lava pijar. Anehnya kenapa lava pijar itu malah seperti berjalan ke atas dan bukan mengalir turun. Apakah itu yang disebut barisan Lampor? Lalu apa yang akan terjadi? Apakah Merapi akan meletus? Begitu banyak pertanyaan yang menggelayut dalam pikiranku dan tidak terjelaskan. Aku pun pulang dengan membawa pertanyaan itu.

2 Hari kemudian pukul 3:55 WIB subuh, sebuah guncangan besar yang hebat meluluh lantakkan kota dan membuat seluruh Indonesia bahkan dunia berduka. 27 Mei 2006 Peristiwa Gempa Y*gya terjadi
Diubah oleh jeniussetyo09 22-10-2016 01:33
rassof
axxis2sixx
mmuji1575
mmuji1575 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup