Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ceuhettyAvatar border
TS
ceuhetty
Janda Bodong



Arya mengeluarkan dompet. Diambilnya lembaran uang sepuluh ribu, lalu disodorkan ke arah seorang balita berparas lucu.

“Buat jajan,” tawarnya sambil tersenyum, bersikap seramah mungkin.

Gadis kecil itu bergeming. Ia tetap asyik memperhatikan teman sepermainannya yang sedang bermain di halaman.

“Alika ... beli permen, yuk! Sama Om.”

Alika menggeleng.

“Atau, mau bakso, ya? Noh, di sana ada Abang tukang bakso.” Lelaki itu berusaha membujuk putri kecilku.

“Mamang bakso!” Tiba-tiba mulut mungilnya bergumam. Alika suka sekali dengan bakso.

“Iya, Lika suka banget bakso, kan? Yuk, beli.”

Alika melongokkan kepalanya ke dalam rumah. Sepertinya dia sedang mencariku. Hendak minta izin mungkin. Aku yang sedari tadi mengintip di balik pintu menjadi resah.

“Enggak, ah.”

“Lho, kenapa? Alika, kan suka bakso. Om bayarin lho!”

Gadis kecilku kembali menggeleng, kemudian beranjak masuk meninggalkan Arya di teras rumah. Di tengah pintu, ia menghentikan langkah.

“Om! Lika tutup pintunya, ya?” Katanya sambil menutup pintu tanpa menunggu persetujuan Arya.

“Tapi, Lika---“ Suara lelaki itu disahuti suara bedebum dari pintu yang ditutup sekerasnya.

Aku menghela nafas lega. Alika tampak terkejut mendapatiku dipojok ruangan.

“Mama sedang apa? Tadi dicariin Om Arya---”

“Ssssssttttt ...!” Aku menyilangkan telunjuk di atas bibir. Memberi isyarat pada Lika agar diam. Khawatir suara kami kedengaran dari luar. Walaupun Alika sudah mengecilkan volumenya.

“Ssssshhhhh ...!” Alika berucap sambil mengikuti sikapku. Tak urung tingkahnya membuatku tersenyum.

Aku, wanita muda berusia dua puluh tujuh tahun. Memiliki putri semata wayang yang baru berumur lima tahun, Alika namanya.

Bidadari kecilku, sang pelipur lara. Dialah satu-satunya harta peninggalan suamiku. Apakah suamiku meninggal? Mungkin. Tidak pernah kudapati lagi kabarnya semenjak empat tahun terakhir. Sebuah pencapaian yang mengalahkan bang Toyib, bukan?

Terakhir, suamiku pamit hendak mencari sebongkah berlian di negeri seberang. Janjinya untuk menyenangkan anak istri. Namun, hingga kini, janji tinggallah janji. Tidak tau apa yang terjadi, yang pasti dia telah menelantarkan kami.

Sebagai mantan kembang desa yang termashur sampai ke pelosok negeri. Kasak-kusuk tentang biduk rumah tanggaku secepat kilat menyebar luas. Bahkan menjadi trending topik di setiap harinya di kawasan biang gosip. Gelarku berubah seketika, dari Kembang desa menjadi janda bukan, gadis juga bukan. Alias janda bodong.

Memang tidak mudah mengurus anak sendirian, berperan ganda menjadi ayah sekaligus ibu. Selain harus pontang panting membanting tulang mencari nafkah. Aku juga harus tahan banting mendengar gunjingan orang-orang. Beruntung, ada ibu yang selalu menguatkan. Beliau juga yang membantu menjaga Alika ketika aku bekerja.

Masalahnya tak hanya di situ, ada ujian yang lebih berat dari mengangkat barbel satu kuintal. Yaitu, menjadi incaran para lelaki hidung belang yang berani dengan terang-terangan unjuk gigi maupun yang sembunyi-sembunyi.

Berat, karena ujung-ujungnya yang disalahkan tetap si wanita. Kenapa harus menjadi janda? Andai bukan janda sudah pasti tidak akan digoda. Begitu argumen emak-emak komplek yang kadar ke-maha-benarannya setara dengan netizen.

“Katanya, muslimah shalihah, kok bisa jadi janda?”

“Ya, aneh memang. Katanya, ukhty, kok, bisa ditinggal pergi?”

“Percuma juga jadi kembang desa, ujung-ujungnya jadi janda.”

“Makanya, cari suami itu jangan suka pilih-pilih, kalo nasibnya jadi janda, ya, janda aja!”

Macam-macam gunjingan yang ditujukan padaku. Dimulai dari yang pedesnya level satu sampai level sambal cabe setan.

Terlebih jika aku melintasi kerumunan para bigos tanpa mau bergabung. Ya, aku memang lebih milih melipir menghindari perkumpulan ghibah. Walaupun akhirnya menjadi bahan lalapan ghibah bagi mereka.

Sebagai penyambung hidup aku membuka jasa vermak pakaian. Meski tidak selalu ada yang membutuhkan, namun, itulah satu-satunya keahlian yang tidak memerlukan modal besar. Kebetulan, sedari gadis aku menyukai dunia jahit menjahit. Sehingga almarhum bapak membelikanku mesin jahit.

Kumbang sekalipun tidak diundang akan tetap datang bila membaui aroma kembang.

“Tikah ... kita nikah yuk! Abang kasian liat kamu capek sendirian ngurusin Alika,” kata Arya suatu ketika.

“Maaf, Bang. Tikah masih mau nunggu suami Tikah.”

“Sudah empat tahun dia pergi. Apa belum cukup bikin kamu yakin buat ninggalin dia?”

“Tikah belum siap, Bang. Kasihan Alika.”

“Alika butuh sosok seorang ayah, Tikah!”

“Mungkin bukan sekarang, Bang.”

Penolakan secara halus kadang tidak membuat mereka jera. Nyaris setiap saat ada saja yang menggodaku. Baik itu yang mengajak berhubungan secara resmi ataupun hanya sekadar hepi-hepi.

Beruntung jika yang menggoda seorang pria lajang semisal Arya. Yang merepotkan adalah mengatasi para suami orang, yang kadar kegenitan dan kenekatannya melebihi kapasitas. Kadang tidak habis pikir dengan tingkah para lelaki buaya. Padahal istrinya sudah secantik bintang model masih saja melirik wanita lain di luaran.

Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Aku menutup diri. Membatasi diri dalam pergaulan. Kamar dan rumah menjadi benteng perlindungan yang mumpuni bagiku.

Namun, ternyata itu tidak cukup membuat para bigos berhenti untuk meng-ghibahiku .

“Si Tikah sok ngartis banget ya, sekarang. Gak suka gaul ama kita-kita.”

“Kasian Mak-nya Atikah, ya? Punya anak gak jelas banget nasibnya.”

Percakapan mereka dengan jelas bisa kudengar meski aku di dalam rumah.

“Iya, kenapa gak nikah sama si Arya aja sih. Kan, dia demen banget ama anaknya.”

Alika, gadis kecilku memang sering kali didekati para lelaki itu. Sebagai upaya menarik simpatiku. Banyak cara yang mereka lakukan, dimulai dari diiming-imingi jajanan hingga lembaran rupiah. Bersyukur sekali, Alika anak cerdas. Dia tidak suka sembarangan menerima pemberian orang. Mesti mengantongi izin dari aku dulu.

Adalah Pandu seorang pengusaha sukses yang gencar mengajakku untuk berpoligami. Istrinya yang cantik jelita tidak mampu membuatnya berhenti untuk menjadi buaya. Ia terus-terusan menerorku agar bersedia memenuhi permintaannya.

“Atikah, hidupmu akan terjamin jika menikah denganku. Lagi pula, apa kurangnya aku? Tampan, mapan, dan sudah pasti bisa buat kamu nyaman.”

“Aku punya suami, Pandu---"

“Suami macam apa itu, ninggalin empat tahun tanpa kabar berita? Jangan-Jangan dia sudah kimpoi lagi atau tenggelam dibawa tsunami.”

Aku terdiam mendengar penuturannya. Bukan hal mustahil memang itu terjadi, mengingat daerah tujuan terakhir suamiku, akhir-akhir ini sering kali diberitakan mengalami bencana alam.

“Kau tau, Tikah? Tuhan menyuruh suamimu pergi agar kita bisa bersatu ... untuk menyelesaikan cinta kita yang belum usai.”

Pandu adalah pacar pertamaku. Tidak dipungkiri, sisa-sisa rasa itu masih ada. Namun, segera kutepis, mengingat ia telah beristri. Pantang bagiku merebut lelaki orang.

“Kenapa gak nikah sama Arya aja, Nak?" Ibu bertanya suatu ketika dengan mimik sedih. Ia begitu khawatir padaku, mengingat Pandu yang tak kunjung menyerah.

“Lalu, bagaimana dengan ayahnya, Lika, Bu? Tikah takut---"

“Seorang suami sudah dianggap jatuh talak-nya apabila ia tidak memenuhi kewajibannya selama tiga bulan berturut-turut. Sementara kau sudah menderita selama empat tahun. Sudah, cukup, Tikah!”

“Tapi, Bu!”

“Ibu sudah bertanya pada pemuka agama dan pemangku adat setempat. Dan mereka bersedia bertanggungjawab atas pernikahanmu, Tikah. Kau halal untuk dinikahi, Nak!”

“ Bukan itu! Tikah takut seperti yang sudah-sudah.”

Aku menunduk sambil memainkan jari. Ada perasaan takut untuk membuka hati. Memulai sebuah hubungan baru memerlukan persiapan hati yang matang. Sepertinya aku trauma.

Diubah oleh ceuhetty 21-01-2020 21:43
bukhorigan
zafranramon
erman123
erman123 dan 29 lainnya memberi reputasi
30
14.7K
109
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ceuhettyAvatar border
TS
ceuhetty
#33
ARJUNA



Gue Arjuna. Cowok yang level kegantengannya bahkan melampaui pesona Arjuna Sasrabahu sang pangeran dari kerajaan Hastinapura. Apalagi kalau dibandingin sama Chef yang garang itu. Jauh banget. Aneh memang, gue terlahir ganteng sendirian. Bisa jadi, waktu ngidam nyokap mimpi ketemu Shaheer sheikh, Si Arjuna dari India.

Gue ganteng, terlahir dari keluarga terpandang, dan udah mapan. Makanya, gue lagi serius nyari istri. Kok dicari? Maksud gue, nyari cewek yang pantes buat dijadiin istri. Kalo cewek abal-abal mah banyak, bertebaran. Yang sayangnya, malah bikin gue gak nafsu alias enegh.

Lastri misalnya, dia sekretaris gue. Enak sih, sebenarnya klo mau jadiin dia istri. Selain cantik, sexy, dia juga udah paham dengan kebiasaan gue. Terutama soal pekerjaan. Tapi, sikapnya yang over ganjen, bikin gue jadi ilfeel.

“Bos, kopinya udah siap!”

Lastri nyodorin secangkir Robusta yang masih terlihat mengepulkan asap. Tanpa banyak omong langsung gue seruput. Nikmatnya sesuai banget sama selera gue. Doi sih emang dah ngerti gue banget luar dalam. Udah cocok dijadiin calon bini orang.

“Kok, kopinya ada bau melati-melati gitu, Las? Lu campurin sesajen, ya?”

“Iiih, Bos gitu deh! Itu mah wangi parfum Lastri. Makanya klo minum kopi jangan sambil mikirin Lastri, fokus dong!”

Gue ampe kesedek dengernya. Lumayan malu lah karena ketauan gue galfok liat dia. Kancing kemejanya itu lho, yang bikin salfok, rendah banget. Mata gue jadi penasaran pengen ngayap terus makin bawah.

Lastri kayaknya sadar sama lirikan gue. Doi malah senyum-senyum sambil nyodorin tisu. Nunduk pula. Aahh, bikin tambah galfok.

“ Biar Lastri bersihin bibirnya.” Doi ngedeket bawa tisu, mo ngelap bibir gue yang belepotan.

“Udah, biar gue aja, Las!” Gue segera nangkep tangannya sebelum nyentuh bibir. Takut gue makin nganu.

Lastri manyun, “Iih ... Bos mah suka gitu. Diperhatiin kok gak mau," sungutnya.

“Las, pacarnya gak marah ngeliat lu pake baju kek gitu.”

“Marah kenapa? Ini, kan demi totalitas kerja. Si bos, kan, ganteng and keren abis. Lastri sebagai orang yang mendampingi siang or malam harus tampil cantik dan wangi juga dongs!”

Halah, ngomongnya malah kemana-mana. Alasan ae, lu mah Las.

“Lagian, ya, Bos. Klo ada cowok yang sedari pacaran udah suka ngatur. Mending jangan dijadiin suami. Berabe!”

“Gitu, ya?”

“Iya, Bos! Cewek juga. Kek Mbak Laras misalnya.”

“Laras kenapa?” Gue pura-pura mengernyitkan dahi.

“Mbak Laras tuh suka ngancem Lastri. ‘Awas, lo. Jangan suka keganjenan kalo deket Arjuna.’ Gitu katanya Bos. Nyebelin banget pokonya. Masa iya Lastri gak boleh deket sama bos sendiri. Kan, Lastri sekretaris pribadinya.”

Gue tersenyum. Ngeliat tingkahnya yang kadang kek anak kecil. Ngegemesin, jadi pen bawa pulang.

“ Iya ... Mungkin maksudnya pake baju yang bener. Jangan melorot kek gitu.”

Lastri pura-pura terkejut, lalu mukul gue pake sayang. Iya, gue taulah, soalnya mukulnya gak bikin sakit.

“Iih! Bos mah suka gitu. Ini tuh model kekinian, Bos. Masa dibilang melorot.” Doi merengut.

“Emangnya Mbak Laras beneran calon istri Si Bos, ya?” Nanya lagi dengan muka masih ditekuk.

“Tauk. Iya, kali.”

“Ish, Mak Lampir gitu mau dijadiin istri. Mendingan Lastri kemana-mana.” Dia ngedumel sambil ngeloyor menuju meja kerjanya.

“Ngomong yang jelas, Las! Gue gak denger!”

“Bodo!”

Lah, dia ngambek. Gue nyengir ngebayangin bibirnya yang amsoy, eh, maksudnya yang manyun.

🌸🌸🌸

Hari ini gue pulang lebih awal dari biasanya. Kepala rada keleyengan soalnya, mungkin efek begadang semalaman ngelarin kerjaan kantor. Atau mungkin juga efek Sulastri. Halah, punya sekretaris seksi malah kadang nambah pikiran gak tenang. Ambyar.

Sebenernya nyokap udah sering banget protes sama penampilan Lastri. "Emang gak ada lagi orang yang bisa dijadiin sekretaris? Gitu amat selera kamu."

“Elaaah, Mami. Jangan diliat dari penampilannya dong! Yang penting kerjanya begini.” Gue ngacungin dua jempol tapi Nyokap malah melengos.

“Tapi kamu gak kepikiran macem-macem, kan kalo lagi sama dia? Wong bajunya itu kayak belum beres.”

Gue tersenyum kecut. Insting nyokap hebat juga. Gue emang kadang dibuat salah tingkah sih. Tapi, mau gimana lagi, udah terlanjur sayang ama Lastri. Eh, maksudnya udah terlanjur cocok dengan cara kerjanya dia, yang emang jempolan. Bisa diandelin pas situasi kejepit. Ya, walopun dandanannya itu tadi, kadang bikin panas dingin.

“Juna! Diajak ngomong malah ngelamun. Mami cuma takut aja kalo nanti kamu khilaf.”

Elaaah, Mami. Anaknya udah gede juga.

“Bilangin pake baju yang bener napa, Jun. Sekali-kali belajar tegas gitu lho, sama karyawan sendiri.”

Si Mami masih aja ngebahas Lastri. Gak tega kali ya? Anaknya yang ganteng paripurna sehari-hari harus barengan ama manekin. Kok manekin sih? Abis Sulastri emang putmul. Lah, ternyata gue merhatiin sampe kesitu. Gawat nih!

“Katanya, itu model kekinian, Mams! Udah ah, jangan bahas dia mulu. Nambah pening nih, kepala!”

“Tuh, kan--?” Nyokap natap gue curiga. Halah, ini mulut juga pake keceplosan segala.

“Maksud Juna pengen istirahat Mams. Biar besok agak mendingan.”

“ Ngusir, nih, ceritanya?”

“Ah, Mami. Sensi kaya si Lastri!” Gue langsung pura-pura merem sambil bekep mulut. Biar gak keceplosan lagi.

“Mami mau telepon Laras. Biar dia yang ngingetin Sulastri.”

“Jangan, dong Mams! Ngapain anak orang dibawa-bawa ke kerjaannya Juna?”

“Dia itu calon istri kamu, Juna. Harus belajar bantu-bantu kamu dari sekarang."

“Bantu-bantu kerjaan? Kan udah ada Lastri yang lebih jempolan. Lagian, Mami kok ngebet banget pengen jadiin dia mantu. Juna belum tertarik Mams!”

“Kamu, mau sampe kapan jadi bujangan lapuk kek gitu?”

“Ya, sampe datang jodohnya lah, Mams!” Etdah, gue dikatain bujang lapuk ama nyokap sendiri. Pengen guling-guling rasanya.

“Jodoh tuh, harus dijemput bukan ditunggu. Kamu, kan, cowok. Mami gak sabar pengen nimang cucu dari kamu.”

Lah, tibang pengen nimang doang dia pake acara maksa nikah. Padahal boneka si Icha juga ada, lebih gede lagi.

“Icha aja yang disuruh nikah duluan, Mams. Kan--"

“Gak boleh ngelangkahin abangnya, pamali. Ntar abangnya makin gak laku-laku.”

Nyut! Mungkin ini yang dinamain sakit tapi tak berdarah. Kadang mulut nyokap gue pedesnya bisa ngalahin cabe setan.

🌸🌸🌸

Entah sejak kapan si Laras datang ke kantor. Yang jelas pas gue ngantor dia udah stand by.

“Udah lama?” Gue basa-basi sambil ngelirik Sulastri yang mulutnya udah berubah kek ikan gurame. Entah kesel karena gue datengnya siang banget, entah karena diomelin si Laras.

“Mas udah mendingan? Kata Tante kamu gak enak badan. Makanya aku kesini gantiin ngemandorin karyawan. Biar kerjanya bener dikit lah, bukan cuma godain bos doang, bisanya.”

Gak enak banget sama Sulastri, si Laras pas bilang karyawan nya rada ditekan terus dikencengin dikit sambil dagunya diarahin Lastri. Sengaja banget keknya. Ini yang gak gue suka dari dia. Belom juga jadi bini, kadang tingkahnya udah kelewatan.

“Thanks. Tapi Sulastri gak perlu dimandorin deh, keknya. Dia udah faham banget sama kerjaan, soalnya.”

“Tapi ....”

“Mungkin niat lo baik, Ras. Tapi kayaknya gue belum perlu bantuan lo. Jadi, jangan suka ngurusin kerjaan orang lain lagi, ya.”

Laras diem. Gue pikir sih, pasti dia tersinggung dibilang orang lain. Terbukti, matanya mulai berkaca-kaca.

“Mas sebentar lagi, kan kita mau nikah. Jadi, seharusnya gak masalah dong, aku bantu-bantu."

“Nikah? Maaf Laras gue gak tertarik.”

“Maksudnya?”
Cewek cantik itu malah nanya sambil ngebelalakin mata.

Gue bingung mesti jawab apa. Sementara dipojokkan si Lastri yang lagi diem-diem nguping membekap mulutnya. Gue garuk-garuk kepala sambil mikir cepet buat nyari jawaban.

“Gue ... Gue ... Homo.”

“Whattt?”

“Haahhh?” Disusul suara gedubrak. Ternyata si Lastri pingsan.

Si Laras ngebanting asbak yang ngejogrok di atas meja. Terus lari sambil ngebekep mulut, sementara matanya ngeluarin air mata. Entah sedih, entah kecewa, yang pasti gak mungkin terharu.

"Bangun, Lastri! Pake pura-pura pingsan segala.”

“Bikin napas buatan, Bos.”

“Ogah! Gue pan homo.”

“Bos, Lastri pingsan lagi aja deh.”

“Cepetan kerja! Mau dipecat apa?”

“Iyyyaa, udah deh, daripada dipecat. Lumayan homo juga ganteng. Nyegerin--buat cuci mata."

Etdah! Punya karyawan songong amat.

Jam makan siang.

“Las! Gue mau ke kantin. Bareng gak?”

“Enggak, deh, Bos. Lastri mau nyari yang normal aja.”

Si Lastri mulai ilfeel kayaknya. Akhirnya gue ngantin sendiri.

Udah gak aneh, setiap gue lewat. Cewek-cewek suka pada bisik-bisik sambil ngelirik, mungkin lagi pada ngerumpiin gue. Bedanya, kalo biasanya tatapan mereka penuh kagum, bibir dipaksa-paksain senyum ampe ilernya netes-netes. Nah, klo sekarang mata mereka agak juling, bibirnya ampe menyon, tauk ngomongin apaan.

“Kasian, pasti azab jadi play boy. Dulu gonta-ganti cewek mulu. Sekarang malah jadi jeruk makan jeruk.”

Akhirnya ada juga yang berani ngomong agak kenceng. Pas gue tengok ternyata Emak-emak rumpi, pasti korban sinetron televisi ikan terbang.

“Gak nyangka ya? Ganteng-ganteng kok, doyan main pedang-pedangan?”

Makin lama kok, kuping makin panas, ya? Akhirnya gue cabut ke ruangan. Penasaran mau interogasi Lastri. Heran, giliran gosip aja cepet banget nyebarnya. Mungkin ini yang dibilang kekuatan digital zaman now.

“Las!”

“Huuummz!”

“Lu tau siapa yang nyebarin gosip? Perasaan kemarin gak ada orang di mari.”

“Lastri orang kali, bos!”

“Ooh ... jadi kamu?”

Nunduk, gemeteran, mukanya merah sambil mainin jari. Gaya biasa klo dia ngerasa bersalah.

“Ehmz!” Gue pura-pura dehem kenceng sambil terus merhatiin Lastri yang makin salah tingkah.

“Emang yang lu tau. Berapa mantan gue? Jawab jujur tapi!"

“Si bos mau reunian mantan pacar? Buat apa? Si bos, kan--"

“Bilang aja!”

“Eum ... maaf bos. Setau Lastri sih, ada Mitha, Jelita, Erika, Sophia, sama Laras--"

“Wah ... gak bener ini.”

“Jangan potong gaji, Bos!” Lastri pasang muka melas.

“Semua yang lu sebutin itu, bukan mantan pacar. Tapi, cewek yang gue tolak. Gayanya aja yang udah kelewatan. Jadi, orang ngiranya udah pacaran. Padahal mah ngaku-ngaku doang.”

“Yang bener bos? Oh, iya si bos, kan--"

“Homo?”

Laras menggendikkan bahu. Sementara gue cuma ngakak.

“Waktu SMA gue pernah punya gebetan. Dan gue masih cinta sampe sekarang. Walaupun dia gak pernah cinta gue dan sekarang udah punya suami juga anak.”

Mata bulat si Lastri melotot kek mau lompat.

“Jadi, gegara itu si Bos gak suka main cewek lagi? Kesian bener—coba dari dulu ketemu Lastri. Udah pasti gak bakal patah hati. Ngeri juga ternyata patah hati bisa bikin cowok macho jadi homo.”

Gue terkikik geli.

“Jadi, lu percaya klo gue homo?”

“Iya, percaya ... kan si Bos yang bilang. Lagian, emang bener sih, Lastri gak pernah liat si Bos ngenalin pacar. Disamperin cewek mah sering.”

“Gue tuh, cuma lagi setia aja, Lastri.”

“Sama?”

“Sama bini orang--" gue senyum getir. Tenggorokan tetiba berasa kering.

“Omaygot! So sweet banget, sih Bos! Jadikan aku yang kedua, plisss. Eh!”

Gue nyengir sambil ngelirik si Lastri yang lagi koprol.

“Jangan pingsan Lastri! Gueee lagi nunggu dia jadi janda.”

Gubrak.

_Tamat_

#Day14
#NarasiLiterasiNegeri
#IndonesiaMenulis
#TantanganMenulis45Hari
#Artsamawa
Diubah oleh ceuhetty 17-07-2021 23:35
Ndaru4u
pulaukapok
pulaukapok dan Ndaru4u memberi reputasi
2
Tutup