Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ceuhettyAvatar border
TS
ceuhetty
Janda Bodong



Arya mengeluarkan dompet. Diambilnya lembaran uang sepuluh ribu, lalu disodorkan ke arah seorang balita berparas lucu.

“Buat jajan,” tawarnya sambil tersenyum, bersikap seramah mungkin.

Gadis kecil itu bergeming. Ia tetap asyik memperhatikan teman sepermainannya yang sedang bermain di halaman.

“Alika ... beli permen, yuk! Sama Om.”

Alika menggeleng.

“Atau, mau bakso, ya? Noh, di sana ada Abang tukang bakso.” Lelaki itu berusaha membujuk putri kecilku.

“Mamang bakso!” Tiba-tiba mulut mungilnya bergumam. Alika suka sekali dengan bakso.

“Iya, Lika suka banget bakso, kan? Yuk, beli.”

Alika melongokkan kepalanya ke dalam rumah. Sepertinya dia sedang mencariku. Hendak minta izin mungkin. Aku yang sedari tadi mengintip di balik pintu menjadi resah.

“Enggak, ah.”

“Lho, kenapa? Alika, kan suka bakso. Om bayarin lho!”

Gadis kecilku kembali menggeleng, kemudian beranjak masuk meninggalkan Arya di teras rumah. Di tengah pintu, ia menghentikan langkah.

“Om! Lika tutup pintunya, ya?” Katanya sambil menutup pintu tanpa menunggu persetujuan Arya.

“Tapi, Lika---“ Suara lelaki itu disahuti suara bedebum dari pintu yang ditutup sekerasnya.

Aku menghela nafas lega. Alika tampak terkejut mendapatiku dipojok ruangan.

“Mama sedang apa? Tadi dicariin Om Arya---”

“Ssssssttttt ...!” Aku menyilangkan telunjuk di atas bibir. Memberi isyarat pada Lika agar diam. Khawatir suara kami kedengaran dari luar. Walaupun Alika sudah mengecilkan volumenya.

“Ssssshhhhh ...!” Alika berucap sambil mengikuti sikapku. Tak urung tingkahnya membuatku tersenyum.

Aku, wanita muda berusia dua puluh tujuh tahun. Memiliki putri semata wayang yang baru berumur lima tahun, Alika namanya.

Bidadari kecilku, sang pelipur lara. Dialah satu-satunya harta peninggalan suamiku. Apakah suamiku meninggal? Mungkin. Tidak pernah kudapati lagi kabarnya semenjak empat tahun terakhir. Sebuah pencapaian yang mengalahkan bang Toyib, bukan?

Terakhir, suamiku pamit hendak mencari sebongkah berlian di negeri seberang. Janjinya untuk menyenangkan anak istri. Namun, hingga kini, janji tinggallah janji. Tidak tau apa yang terjadi, yang pasti dia telah menelantarkan kami.

Sebagai mantan kembang desa yang termashur sampai ke pelosok negeri. Kasak-kusuk tentang biduk rumah tanggaku secepat kilat menyebar luas. Bahkan menjadi trending topik di setiap harinya di kawasan biang gosip. Gelarku berubah seketika, dari Kembang desa menjadi janda bukan, gadis juga bukan. Alias janda bodong.

Memang tidak mudah mengurus anak sendirian, berperan ganda menjadi ayah sekaligus ibu. Selain harus pontang panting membanting tulang mencari nafkah. Aku juga harus tahan banting mendengar gunjingan orang-orang. Beruntung, ada ibu yang selalu menguatkan. Beliau juga yang membantu menjaga Alika ketika aku bekerja.

Masalahnya tak hanya di situ, ada ujian yang lebih berat dari mengangkat barbel satu kuintal. Yaitu, menjadi incaran para lelaki hidung belang yang berani dengan terang-terangan unjuk gigi maupun yang sembunyi-sembunyi.

Berat, karena ujung-ujungnya yang disalahkan tetap si wanita. Kenapa harus menjadi janda? Andai bukan janda sudah pasti tidak akan digoda. Begitu argumen emak-emak komplek yang kadar ke-maha-benarannya setara dengan netizen.

“Katanya, muslimah shalihah, kok bisa jadi janda?”

“Ya, aneh memang. Katanya, ukhty, kok, bisa ditinggal pergi?”

“Percuma juga jadi kembang desa, ujung-ujungnya jadi janda.”

“Makanya, cari suami itu jangan suka pilih-pilih, kalo nasibnya jadi janda, ya, janda aja!”

Macam-macam gunjingan yang ditujukan padaku. Dimulai dari yang pedesnya level satu sampai level sambal cabe setan.

Terlebih jika aku melintasi kerumunan para bigos tanpa mau bergabung. Ya, aku memang lebih milih melipir menghindari perkumpulan ghibah. Walaupun akhirnya menjadi bahan lalapan ghibah bagi mereka.

Sebagai penyambung hidup aku membuka jasa vermak pakaian. Meski tidak selalu ada yang membutuhkan, namun, itulah satu-satunya keahlian yang tidak memerlukan modal besar. Kebetulan, sedari gadis aku menyukai dunia jahit menjahit. Sehingga almarhum bapak membelikanku mesin jahit.

Kumbang sekalipun tidak diundang akan tetap datang bila membaui aroma kembang.

“Tikah ... kita nikah yuk! Abang kasian liat kamu capek sendirian ngurusin Alika,” kata Arya suatu ketika.

“Maaf, Bang. Tikah masih mau nunggu suami Tikah.”

“Sudah empat tahun dia pergi. Apa belum cukup bikin kamu yakin buat ninggalin dia?”

“Tikah belum siap, Bang. Kasihan Alika.”

“Alika butuh sosok seorang ayah, Tikah!”

“Mungkin bukan sekarang, Bang.”

Penolakan secara halus kadang tidak membuat mereka jera. Nyaris setiap saat ada saja yang menggodaku. Baik itu yang mengajak berhubungan secara resmi ataupun hanya sekadar hepi-hepi.

Beruntung jika yang menggoda seorang pria lajang semisal Arya. Yang merepotkan adalah mengatasi para suami orang, yang kadar kegenitan dan kenekatannya melebihi kapasitas. Kadang tidak habis pikir dengan tingkah para lelaki buaya. Padahal istrinya sudah secantik bintang model masih saja melirik wanita lain di luaran.

Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Aku menutup diri. Membatasi diri dalam pergaulan. Kamar dan rumah menjadi benteng perlindungan yang mumpuni bagiku.

Namun, ternyata itu tidak cukup membuat para bigos berhenti untuk meng-ghibahiku .

“Si Tikah sok ngartis banget ya, sekarang. Gak suka gaul ama kita-kita.”

“Kasian Mak-nya Atikah, ya? Punya anak gak jelas banget nasibnya.”

Percakapan mereka dengan jelas bisa kudengar meski aku di dalam rumah.

“Iya, kenapa gak nikah sama si Arya aja sih. Kan, dia demen banget ama anaknya.”

Alika, gadis kecilku memang sering kali didekati para lelaki itu. Sebagai upaya menarik simpatiku. Banyak cara yang mereka lakukan, dimulai dari diiming-imingi jajanan hingga lembaran rupiah. Bersyukur sekali, Alika anak cerdas. Dia tidak suka sembarangan menerima pemberian orang. Mesti mengantongi izin dari aku dulu.

Adalah Pandu seorang pengusaha sukses yang gencar mengajakku untuk berpoligami. Istrinya yang cantik jelita tidak mampu membuatnya berhenti untuk menjadi buaya. Ia terus-terusan menerorku agar bersedia memenuhi permintaannya.

“Atikah, hidupmu akan terjamin jika menikah denganku. Lagi pula, apa kurangnya aku? Tampan, mapan, dan sudah pasti bisa buat kamu nyaman.”

“Aku punya suami, Pandu---"

“Suami macam apa itu, ninggalin empat tahun tanpa kabar berita? Jangan-Jangan dia sudah kimpoi lagi atau tenggelam dibawa tsunami.”

Aku terdiam mendengar penuturannya. Bukan hal mustahil memang itu terjadi, mengingat daerah tujuan terakhir suamiku, akhir-akhir ini sering kali diberitakan mengalami bencana alam.

“Kau tau, Tikah? Tuhan menyuruh suamimu pergi agar kita bisa bersatu ... untuk menyelesaikan cinta kita yang belum usai.”

Pandu adalah pacar pertamaku. Tidak dipungkiri, sisa-sisa rasa itu masih ada. Namun, segera kutepis, mengingat ia telah beristri. Pantang bagiku merebut lelaki orang.

“Kenapa gak nikah sama Arya aja, Nak?" Ibu bertanya suatu ketika dengan mimik sedih. Ia begitu khawatir padaku, mengingat Pandu yang tak kunjung menyerah.

“Lalu, bagaimana dengan ayahnya, Lika, Bu? Tikah takut---"

“Seorang suami sudah dianggap jatuh talak-nya apabila ia tidak memenuhi kewajibannya selama tiga bulan berturut-turut. Sementara kau sudah menderita selama empat tahun. Sudah, cukup, Tikah!”

“Tapi, Bu!”

“Ibu sudah bertanya pada pemuka agama dan pemangku adat setempat. Dan mereka bersedia bertanggungjawab atas pernikahanmu, Tikah. Kau halal untuk dinikahi, Nak!”

“ Bukan itu! Tikah takut seperti yang sudah-sudah.”

Aku menunduk sambil memainkan jari. Ada perasaan takut untuk membuka hati. Memulai sebuah hubungan baru memerlukan persiapan hati yang matang. Sepertinya aku trauma.

Diubah oleh ceuhetty 21-01-2020 21:43
bukhorigan
zafranramon
erman123
erman123 dan 29 lainnya memberi reputasi
30
14.7K
109
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ceuhettyAvatar border
TS
ceuhetty
#44
DIBURU MASA LALU
Hanya karena aku berhutang budi, bukan berarti kau boleh membuatku seperti seorang pengemis. Biar kulunasi semua hutang dengan caraku, tanpa menggadaikan harga diri. Tanpa harus diperlakukanmu seperti sampah.

🌹🌹🌹

“Kau hanya untukku, Andien! Tidak akan pernah ada seorang pun yang bisa menyentuhmu!” Reno berteriak dengan mata merah. Berjalan sempoyongan sementara dari mulutnya menguar bau alkohol yang menyengat.

“Kumohon lupakan semua tentang kita. Biarkan aku melanjutkan hidup, cerita kita tak lebih dari serpihan kenangan di masa lalu. Kau bukan siapa-siapaku lagi, Reno!”

“Tapi, bagiku, kau adalah segalanya. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Ndien!”

Ingin muntah rasanya, bisa-bisanya ia berkata seperti itu. Setelah pengkhianatan yang dia lakukan. Pengkhianatan yang maha sempurna dengan menikahi sahabatku sendiri.

Luka ini memang telah mengering, tetapi sampai kapan pun tak mungkin terlupakan. Setelah setengah mati aku belajar ikhlas untuk merelakan segalanya. Maka, tidak akan kubiarkan semuanya menjadi sia-sia.

“Berikan aku kesempatan ke dua, Andien! Tolong maafkan kesalahanku di masa lalu. Aku tau, aku khilaf ....”

“Aku sudah memaafkan kalian--"

“Menikahlah denganku Ndien! Tidak ada lelaki yang lebih memahamimu daripada aku.”

“Aku tidak mau ngebahas lagi apa pun tentang kita. Urus saja anak dan istrimu.”

“Aku tidak mencintainya, Andien! Aku hanya mencintaimu ....”

Tuhan! Terbuat dari apa hati lelaki ini? Sampai hati dia berkata seperti itu setelah bertahun-tahun mengarungi biduk rumah tangga. Bahkan istrinya--sahabatku—telah mempertaruhkan nyawa demi memberinya keturunan.

“Maafkan aku, Andien! Maafkan kami. Tolong lepaskan Mas Reno! Kau bisa mencari lelaki sepuluh kali lebih baik dari dia. Kumohon jangan ganggu kehidupan kami. Tolong, lupakan dia! Aku tidak mau Annida harus kehilangan kasih sayang papanya.” Ucap Widya—sahabatku, suatu ketika.

“Wid, aku sudah melupakan mas Reno sejak pernikahan kalian. Jangan khawatir, aku tidak mungkin merebut suami sahabatku sendiri.”

Widya menunduk sembari menggigit bibir. “Maafkan aku, Ndien! Aku tidak bermaksud mengkhianati persahabatan kita--"

“Kau tenang saja. Aku percaya, semua ini sudah diatur Tuhan, Wid! Aku tidak menyalahkan kalian.”

Widya merangkulku sambil berurai air mata. “Aku menyesal Ndien! Maafkan aku ... Aku merindukan persahabatan kita yang dulu.”

“Maafkan aku juga, Wid. Karena waktu itu aku tidak bisa datang ke pesta pernikahan kalian. Budhe sudah menungguku di Malang—selamat untuk pernikahan kalian—semoga samawa until Jannah.”

Widya melepas pelukannya, mengusap air mata yang membanjiri pipi mulusnya.

“Terima kasih, Ndien! Aku do'akan semoga kamu segera menyusul.”

Aku tersenyum hambar, menganggukkan kepala samar. Tidak yakin dengan apa yang baru saja kudengar. Karena sadar, perih ini masih membungkus nalar.

Lima tahun lalu, tepat di hari pernikahan mereka aku memutuskan untuk meninggalkan kota tercinta. Kota Malang kupilih sebagai tempat pelarian hingga akhirnya benar-benar bisa menyembuhkan luka. Dan sekarang, aku kembali ke kampung halaman. Menengok masa silam dengan berjuta kenangan, tanpa perasaan. Karena aku telah terlahir menjadi orang yang baru.

🌹🌹🌹

“Ndien, mas Reno mau menceraikanku. Dia bilang mau menikahimu.” Widya datang ke rumah dengan bercucuran air mata.

Aku menghela nafas berat. “Itu tidak akan pernah terjadi, Wid. Sudah kubilang aku tidak akan mengkhianati persahabatan kita. Percaya itu ... lagi pula, aku sudah tidak memiliki perasaan apa-apa pada suamimu.”

Selain perasaan benci tentu saja, sambungku dalam hati.

“Tapi, mas Reno sangat yakin jika kamu masih mencintainya. Itu sebabnya, sampai saat ini kamu belum menikah, kan?”

“Bukan seperti itu. Jodoh itu Tuhan yang atur, Wid.”

“Tapi, mas Reno tidak percaya itu. Dia akan terus memburu selama kamu masih sendirian.”

“Jadi, aku harus apa?”

“Menikahlah, Ndien! Dengan begitu, mas Reno akan berhenti mengejarmu.”

Tak hanya Widya. Keluargaku juga sepakat dengan hal itu. Apa mereka pikir, menikah itu semudah membalikkan telapak tangan?

Menikah adalah langkah untuk menyempurnakan iman, bukan sebuah permainan. Lalu, bolehkah menikah untuk melarikan diri dari masalah?

Aku mulai berpikir untuk kembali membuang diri. Meski, kadang merasa tak habis pikir dan merasa tidak mendapatkan keadilan. Bagaimana tidak, aku yang menjadi korban, mengapa pula menjadi terdakwa? Kadang hidup memang seaneh itu.

“Ibu sudah tua, Ndien! Demi ibu, tetaplah di sini.”

“Tapi, rasanya Andien gak kuat lama-lama. Andien kasian sama Widya, Bu!”

“Menikahlah, Nduk! Maka, semuanya akan baik-baik saja.”

Aku menghela napas. Menghirup udara , mengisi rongga dada yang tiba-tiba terasa sesak.

“Bu ... boleh Andien menikah dengan lelaki pilihan sendiri?”

“Tentu saja--"

“Sayangnya, sampai saat ini, Andien belum menemukan lelaki itu.”

“Ibu paham kalau kamu masih trauma gara-gara ditinggal nikah sama Reno. Tetapi, hidup harus terus berlanjut, Ndien. Te--"

“Andien sudah ikhlasin semuanya, Bu. Demi Allah! Andien sudah tidak ada rasa apa-apa. Hanya saja, jodoh Andien masih dirahasiakan Allah.”

Kali ini ibu yang menghela napas berat. Seberat hidup yang dilaluinya.

🌹🌹🌹

Selepas isya, mata terasa berat. Kantuk menyerang tanpa ampun, hingga aku terlelap di atas hamparan sejadah, masih lengkap beserta telekungnya. Hal itu ku sadari, ketika samar-samar indra pendengaran menangkap suara gaduh di luar rumah. Ketika kesadaran terkumpul penuh, suara gedebak gedebuk kini semakin jelas.

Braaakkk!

Aku terlonjak dari tidur. Berlari ke ruang tengah dan mendapati ibu yang juga baru tiba dengan perasaan penuh tanya.

“Ada apa? Suara apa?”

“Sepertinya suara pagar bambu yang roboh.”

“Astagfhirullah!”

Kami bergegas ke ruang depan, membuka pintu utama, dan mendapati pemandangan mencengangkan. Dua orang pemuda yang tengah bergelut, bergulingan di atas tanah.
Salah satunya dari mereka bangkit, setengah diseret, kerah lawannya diangkat hingga tubuhnya tegak, bogem mentah hampir saja melayang mengenai sasaran.

“Hentikan!”

Pemuda yang bersiap meninju, menoleh ke arahku.

“Andien!”

“Apa lagi yang kau lakukan, Reno? Apa masih belum cukup membuat hidupku kacau balau?”

“Andien! Aku menyelamatkanmu, aku mendapati laki-laki ini tengah mengintip rumah. Dia pantas mendapat hukuman.”

“Itu tidak benar! Ndien, aku kesini mau mengantarkan surat undangan buat Emak,” potong pemuda berbaju biru.

“Kau tidak pernah berubah rupanya, selalu menyelesaikan masalah dengan kekerasan.” Aku beranjak kembali ke kamar.

“Ada apa ini?--Nak, Andien! Bisa duduk di sini sebentar, kita harus menyelesaikan masalah ini.” Terdengar suara pak Rt memanggil, namun, aku tidak berniat menghentikan langkah.

“Biar saya saja Pak Rt.” Ibu menengahi.

Aku sudah tidak bernafsu meladeni segala tingkah Reno yang semakin lebay. Ini bukan kali pertama, beberapa waktu lalu ia pun pernah memukul orang dengan alasan cemburu. Tukang Post yang nahas salah menanyakan alamat rumahku padanya.

Jika sudah begitu maka, aku yang akan menjadi bahan gunjingan tetangga. Namun, aku lebih mengkhawatirkan perasaan Widya.

Widya? Lebih baik aku menelepon dia sekarang. Menjelaskan yang sebenarnya, sebelum ia mendengar dari orang lain dengan cerita yang ditambah-tambah.

Kuraih benda pipih yang tergeletak di tepi ranjang. Menekan gagang telepon berwarna hijau setelah menemukan nama Widya. Berkali-kali kuhubungi tetapi, tidak juga tersambung. Mungkin Widya sudah tidur. Atau dia masih ngambek dengan kelakuan Reno yang sebelumnya. Aku jadi merasa serba salah, haruskah merasa bersalah atas sesuatu yang bukan kesalahanku?

“Ndien! Boleh ibu masuk?”

“Masuk aja, Bu!”

Wanita yang melahirkanku masuk dengan wajah kuyu, aku tau dia sudah lelah menghadapi semua ini.

“Apa kata pak Rt, Bu?”

“Andien ... Ibu tidak bermaksud memaksa tetapi, satu-satunya cara menghindari Reno itu dengan menikah. Jika, kamu bersedia, sepupu pak Rt hendak melamar--"

“Tolong, beri Andien waktu, ya, Bu.”

“Baiklah, semakin cepat akan semakin bagus.”

Ibu meninggalkan kamar dengan gontai setelah mengusap kepalaku. Aku mengatupkan kelopak mata, memijit pelipis yang berdenyut. Tetapi, ada yang lebih perih di dalam sini. Sepotong hati yang mendamba bahagia.

Otak berputar, mencari jalan keluar. Aku yakin setiap masalah pasti ada solusinya. Tapi, apa?

Waktu hampir menginjak pagi tetapi, mataku belum sempat terpejam. Ketika, handphone-ku berdering.

“Hai, Ndien! Apa kabar? Lama bener gak telpon, mentang-mentang sudah di kampung sendiri.” Bagus sahabat dekatku waktu tinggal di Malang.

“Hei, Gus! Maklumlah gue sibuk--"

“Sibuk ngurusin suami orang?” ia terkekeh.

“Sial! Lo sendiri songong gak nelpon gue duluan.”

“Ampun Ndoro! Gue cuman gak mau ganggu aja sih,”

“Dih, sok imut lo!”

Ia malah tergelak. “Sebenarnya ... gue nelpon tuh mau ngabarin lo. Bahwa, sahabat lo yang ganteng ini, besok ada urusan di Bandung. Daerahnya deketan rumah lo gitu deh--"

“Mampir! Wajib pokoknya, ntar gue jemput ya, Gus!”

“Sip. Ntar gue sharelock, ya, Ndien!”

“Oke, Cah bagus.” Aku menutup telepon dengan senyuman mengembang. Entah, mengapa ada perasaan hangat yang menjalar.

“Gus, gue ... bisa minta tolong gak?”

“Bukannya lo udah biasa gue tolong ya?”

“Kali ini serius parah. Gue butuh bukan pertolongan biasa. Tapi ... sebelumnya gue mau nanya, lo tuh punya pacar gak sih?”

“Emang harus dijawab, ya?”

“Gue nanya, artinya harus dijawab lah, gimana sih!”

“Uuummm ... Gini nona Andien, demi lo—apapun bisa gue adain—begitu juga--yang ada bisa gue ilangin, sih.”

Aku memukul bahu Bagus yang malah nyengir, seneng karena kejailannya berhasil.

“Beneran, ya? Gak nyesel, kan lo?”

Bagus hanya menjawab dengan mengacungkan dua jari. Aku tersenyum lega, sementara rencana mulai berputar di kepala.

“Udah, ah, gue pulang ke-kost-an, lama-lama di sini ntar bisa dikimpoiin ama lo lagi.”

“Iya tapi, lo wajib datang setiap hari ke sini Gus. Inget! Setiap hari.”

“Ebusyet ... tiap hari? Ntar lama-lama lo jatuh cinta lagi ma gue ....”

“Nurut aja, kenapa? Ini tuh langkah pertolongan pertama tau!” Aku pura-pura cemberut.

“Iya, iya, siap Ndoro putri.” Bagus menegakkan bahunya kemudian meletakkan tangan di kening. Persis orang yang tengah menghormat bendera. Aku tergelak di buatnya.

“Udah pulang sono!” Aku mendorong-dorong bahunya, berpura-pura mengusir.

“Iya gue balik deh! Jangan kangen ya ...!”
Bagus nyengir membalas cibiran bibirku, sementara hati terasa mulai ketar-ketir meningkahi desiran halus.

Baru saja punggung Bagus menghilang, tiba-tiba aku dikejutkan sebuah suara.

“Andien! Siapa laki-laki itu?” Reno dengan mata memerah saga. Entah sejak kapan dia berdiri di samping rumah.

“Hai, Reno! Ada perlu apa?” Aku bertanya dengan nada riang. Sebelumnya tidak pernah kurasakan hal seperti ini saat berhadapan dengan Reno.

“Jawab saja, siapa dia?” Ia bertanya seolah seorang suami yang memergoki istrinya tengah berselingkuh.

“Dia—Bagus--calon suami aku. Harusnya kau bertanya sedari tadi, biar kalian kenalan.”
Reno tidak menjawab, dia memutar tubuhnya lalu bergegas pergi dengan wajah ditekuk. Diiringi senyumku yang mengembang.

🌹🌹🌹

“Assalamualaikum, Ndien!”

“Wa’alaikumsalam, masuk nak, Bagus. Sok silakan duduk dulu. Biar ibu panggil Andien dulu.”

“Ndien ...! Si Kasep minantu ibu datang. Hayu, buruan kesini, panggihan!”

Aku tersenyum sendiri mendengar perkataan ibu. Tetapi, lekas memudar ketika melihat raut Bagus yang melongo.

“Eh, Bagus. Udah lama?” aku berbasa-basi.

“Ba—rusan.”

“Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumsalam, Eh, nak Reno! Ada apa, ya?”

“Gapapa, Bu! Cuma mau kenalan sama calon mantu ibu.” Tanpa ba bi bu Reno duduk di kursi tepat di samping Bagus. Sementara Reno menatapku dengan wajah bingung.

“Eum ... Reno, kenalin, ini Bagus—calon suami aku. Bagus, ini Reno!” Aku mengenalkan mereka dengan perasaan kikuk. Ekor mataku menangkap tatapan Bagus yang menuntut. Aku menunduk, berpura-pura tidak menangkap sinyal yang dia berikan.

“Jadi, kapan kalian mau nikah. Ibu udah gak sabar pengen nimang cucu.”

Bagus yang tengah menyeruput kopi buatan ibu tiba-tiba tersedak.

“Euleuh ... si kasep kabesekan. Lalaunan atuh ngopina. Minum air putih geura sok kasep.”
Ibu sibuk membersihkan semburan kopi yang mengenai kaos milik Bagus. Lalu, ia menyodorkan segelas air putih. Reno melihat pemandangan itu dengan pandangan berkilat.

“Jadi, kalian serius mau nikah?” Reno bertanya dengan wajah tegang. Setelah keadaan kembali tenang.

Bagus memainkan matanya, memberi isyarat padaku. Tetapi, aku pura-pura tidak melihat.

“Iya, tentu saja. Sebentar lagi keluarga Bagus datang melamar, ya, kan Gus?” aku balik menatap Bagus, mengedipkan sebelah mata sambil melemparkan senyuman. Sementara Bagus hanya melongo.

“Alhamdulillah!” Ibu berseru sambil menadahkan tangan lalu mengusap wajahnya.

“Baiklah, saya permisi. Tetapi, kau harus ingat ini Bagus. Sekali saja, kau membuat Andien patah hati. Maka, aku akan mematahkan lehermu.” Reno menepuk bahu Bagus beberapa kali sembari menatapnya dengan penuh ancaman. Lalu, bergegas meninggalkan kami dalam keheningan.

“Ya, udah! Kalo gitu, ibu juga permisi masuk. Kalian sok wae terusin ngobrolnya.”

“Apa maksud dari semua ini Andien?”

Aku melongok ke dalam, memastikan ibu tidak mendengarkan pembicaraan kami.

“Gus, kemaren gue minta tolong sama lo, kan? Dan inilah bentuk pertolongan lo!”

“Pura-pura menjadi calon suami lo?”

“Iyy--"

“Gue gak mau!”

“Gus, gue minta maaf. Gue tau ini salah. Ngajakin lo boong sama juga ngajakin lo berbuat dosa. Percayalah ... Gue terpaksa ngelakuin ini. Tolong maafin gue, Gus.”

“Andien—maksud gue—gue gak mau pura-pura. Gue maunya, kita beneran jadian.”

“Whattt?” Aku ternganga. Sementara Bagus tersenyum simpul.

“Gue balik, ya! Harus nyiapin keperluan buat besok pulkam.” Kemudian ngeloyor begitu saja, tanpa menunggu jawaban.

#Day44
#NarasiLiterasiNegeri
#IndonesiaMenulis
#TantanganMenulis45Hari
#Artsamawa
oceu
pulaukapok
pulaukapok dan oceu memberi reputasi
2
Tutup