- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
283K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#378
#37 - Our Last Starry Night
Spoiler for #37 - Our Last Starry Night:
Menjelang akhir-akhir masa SMA, kami disibukkan dengan berbagai try-out sebagai persiapan Ujian Akhir. Dari mulai try-out mandiri yang diselenggarakan pihak sekolah, hingga try-out yang memang merupakan program pemerintah.
Selain program try-out, pihak sekolah juga mewajibkan para siswa tingkat akhir untuk ikut mata pelajaran tambahan seusai sekolah. Namun, Jeje nggak pernah sekalipun hadir di mata pelajaran tambahan tersebut. Ia hanya sempat ikut sekali, lalu nggak pernah hadir lagi.
“Ah mendingan ngupas batok kelapa tua, dapet duit…”Jawabnya saat gua tanya kenapa ia enggan ikut pelajaran tambahan.
Nyatanya Jeje nggak benar-benar menghabiskan waktunya untuk sekedar ‘ngupas’ batok kelapa tua di pasar. Ia kerap menghabiskan waktunya untuk membaca buku di waktu senggang ‘bekerja’ di pasar. Hal itu gua ketahui saat menyadari ada sesuatu yang menonjol dibalik baju bagian belakang saat kami bertemu.
“Apaan nih?” Tanya gua seraya mencoba memeriksa sesuatu yang menonjol dibalik kaosnya.
Jeje berusaha menghindar, namun terlambat. Tangan gua lebih cepat dari gerakannya. Gua mendapati sebuah buku bank soal panduan masuk perguruan tinggi, buku yang terlihat usang, kotor dan dalam kondisi terlipat. Jeje yang gua kenal, jarang menghabiskan waktunya untuk belajar. Dan saat tau kalau ia sampai bela-belain belajar disela-sela kesibukannya, gua yakin kalau niatnya berkuliah nggak kaleng-kaleng.
—
“Udah dapet?” Tanya gua ke Jeje yang kini duduk di sebelah gua, di ayunan halaman rumah. Merujuk ke program beasiswa yang sudah ia ajukan melalui guru wali kelas di sekolah.
“Apanya?” Ia balik bertanya.
“Program beasiswa”
“Oh, udah beberapa. Udah gua submit…” Jawabnya.
“Mau ngajuin kemana?” Tanya gua.
“Nggak tau Pak Imam, mau ngajuin kemana..” Jeje menjawab, menyebut nama Wali kelas; Pak Imam, yang memang sudah sejak lama membantunya mengurus beasiswa.
“...”
“Kalo lo gimana?” Jeje balik bertanya.
“Hmm, gue sih mau nyoba UMPTN dulu, siapa tau dapet negeri. Kalo nggak dapet ya dimana aja lah..”
“Elo kan pinter, kayaknya gampang buat lolos UMPTN dan masuk negeri” Ucap Jeje.
“Haha.. Pinteran juga elo kali..”
“...”
“.. Eh Je, Terus uang tabungan lo udah kekumpul?”
“Udah…”
“Kira-kira cukup nggak buat kuliah?” Tanya gua.
“Nggak tau deh, mudah-mudahan cukup kalo beasiswanya tembus”
“Nanti pake tabungan gue aja kalo kurang”
“Nggak usah, yang nabung elo masa yang pake gue…”
“Ya ntar kalo lo udah sukses, ganti..”
“Kalo gua nggak sukses gimana?”
“Pasti sukses, gue terus berdoa supaya lo nanti sukses…” Ucap gua seraya menepuk-nepuk kepalanya, mencoba memberikan semangat.
Begitu Jeje pulang, gua langsung masuk ke dalam kamar. Menyempatkan diri membaca materi untuk ujian besok.
Ujian berlangsung selama beberapa hari. Buat gua pribadi, hampir nggak ada kendala sama sekali, ya terkecuali nama lengkap gua yang cukup panjang, jadi menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk melingkari bulatan berisi nama. Selebihnya, semua mata pelajaran bisa gua kerjakan dan cukup yakin dengan hasilnya.
Saat gua tanya tentang ujian, Jeje hanya menjawab datar; “Lumayan…”
“Lumayan apa nih?, lumayan susah apa lumayan gampang?”
“Ya yang namanya lumayan kan ada di tengah ce…”
Selepas ujian, gua dan kebanyakan siswa lain ikut bimbingan belajar untuk tes UMPTN yang diadakan pihak sekolah. Jeje? ya tentu saja nggak ikut.
Hampir sebulan setelahnya, hasil ujian nasional keluar. Sekolah terlihat ramai oleh nggak hanya siswa, tapi beberapa orang tua murid juga ikut datang ke sekolah untuk mengetahui hasil ujian anak-anaknya. Beberapa saat, kami hanya terpaku pada hasil kelulusan dan bersorak saat mendapatkan hasil ‘LULUS’. Namun, tak jarang yang lulus dengan nilai yang nggak memadai, alias pas-pasan. Beruntung, gua berhasil lulus dengan nilai jauh diatas rata-rata. Nggak hanya itu, nama gua juga masuk ke dalam daftar siswa peringkat terbaik satu angkatan; urutan ke 5.
Sementara Jeje?
Bapak dan Mamak yang kala itu juga turut datang ke sekolah, memeluk gua begitu tau gua lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Gua lantas mengajak mereka untuk mengecek daftar peringkat siswa yang tertempel pada papan mading di lobby sekolah.
“Wah hebat kau ce, peringkat 5 rupanya…” Ucap Bapak penuh kebanggaan saat melihat nama anaknya berada di urutan kelima daftar siswa terbaik satu angkatan.
“Jeje cemana? peringkat keberapa dia?” Tanya Mamak.
Gua lantas menunjuk nama teratas dalam daftar; ‘Julian Jonathan’
“Nah, ini baru betulan hebat…” Gumam Bapak nggak kalah bangga.
“Kalau ini daftar apa nak?” Tanya Mamak sambil menunjuk ke deretan nama siswa yang ditempel sedikit lebih jauh dari daftar yang tengah kami lihat. Jujur, gua juga baru menyadari kalau ada daftar lagi selain daftar siswa terbaik satu angkatan.
Gua membaca judul besar pada daftar tersebut; “Siswa peringkat terbaik se kota madya” dan terlihat nama ‘Julian Jonathan’ bertengger di urutan pertama dengan semua nilai mata pelajaran 100.
‘Gila!’ Batin gua dalam hati.
Gua belajar siang malam, ikut pelajaran tambahan, harus kalah sama cowok yang cuma belajar di waktu senggangnya sambil mecahin batok kelapa tua di pasar. Ada sedikit perasaan iri begitu melihat daftar tersebut, namun rasa iri tersebut tergerus habis dengan kebanggaan luar biasa terhadap dirinya.
Di hari pengumuman, gua bahkan nggak melihat Jeje di sekolah.
Saat pulang, gua meminta diturunkan di pasar oleh Bapak. Dan bergegas mencari Jeje dan mendapatinya tengah duduk dibawah pohon sambil minum es teh dari plastik bening. Kaos yang ia kenakan kotor, penuh dengan sisa tepung terigu, sementara dahinya basah karena keringat. Ia langsung tersenyum begitu melihat gua.
“Darimana?” Tanyanya.
“Bisa-bisanya lo disini..”
“Lah, kan sekolah udah libur” Jawabnya santai.
“Iya tapi kan sekarang pengumuman kelulusan..”
“Lah emang sekarang?”
“Iya, gimana sih lo..”
“Lo lulus kan?”
“Iya Lulus”
“Alhamdulillah…”
“Lo nggak penasaran?”
“Penasaran sama apa?”
“Penasaran lo lulus apa nggak?”
“Ya gua pasti lulus lah, kalo gua nggak lulus, lo pasti udah bilang dari tadi..”
“Terus lo nggak penasaran sama nilai lo?”
“Nggak. Lo peringkat keberapa?” Jeje balik bertanya.
“Gue peringkat kelima..”
“Nah berarti peringkat gua lebih baik dari elo. Soalnya kalo peringkat lo yang lebih baik dari gua. Dari tadi pasti lo udah pamer ke gua…”
Gua tertawa lalu mulai memukul bahunya. “Ih elo mah…”
Hampir seminggu setelah pengumuman kelulusan kami hampir sama sekali nggak bertemu. Gua sibuk belajar untuk UMPTN sementara Jeje menghabiskan waktu bekerja di pasar, mencoba bekerja sekeras mungkin untuk menabung sambil terus berkonsultasi perihal beasiswa dengan Pak Imam. Kami berdua terbiasa bertemu di sekolah, dan giliran libur, nggak sekolah, kami sama sekali nggak ada kesempatan untuk bersua tanpa alasan.
Rasa rindu di dada seakan ingin meledak. Gua melempar buku ke atas ranjang dan bersiap untuk berkunjung ke rumahnya. Begitu keluar dari rumah tiba-tiba Jeje sudah terlihat duduk di ayunan besi di halaman rumah. Gua berjalan cepat ke arahnya, lalu memukul bahunya dari belakang; “Kok nggak manggil?”
Jeje menoleh dan tersenyum; “Tadi udah, mungkin lo nggak denger”
“Bohong..?”
Ia lalu menghentikan ayunan yang masih bergoyang pelan, memberikan gua kesempatan untuk duduk di sebelahnya.
Mata gua lalu tertuju pada sebuah amplop putih besar yang ada di pangkuannya. Amplop putih berukuran besar dengan sebuah logo burung elang dalam shield outline keemasan.
“Apaan tuh?” Tanya gua dan langsung meraih amplop berwarna putih dari tangannya. Lalu membuka amplop dan mengeluarkan isinya.
Gua membaca dengan cepat isi dari lembaran-lembaran kertas dari dalam amplop. Dan seketika tertegun saat mengetahui isi dari lembaran kertas tersebut. Jeje diterima di sebuah universitas di Kanada dengan full beasiswa.
Jeje lalu meraih lembaran kertas tersebut dari tangan gua, memasukkannya kembali ke dalam amplop.
“Kapan berangkatnya?” Tanya gua pelan, sambil menatap kosong ke depan.
“Dua minggu lagi…” Jeje menjawab pelan.
“Kok buru-buru banget?”
“Nggak tau, tiba-tiba Pak Iman udah ngurusin semuanya. Terus nanti disana gua kayaknya masih harus ngurus dokumen lainnya..”
“Terus gue gimana?” Gua mempertanyakan kelanjutan nasib gua saat nanti ditinggal Jeje pergi.
“...”
“... Reni gimana?”
“Reni ikut sama gua…” Jawab Jeje.
“Terus gue gimana?” Gua kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama dengan sebelumnya.
“...” Jeje terdiam, nggak menjawab.
“Terus kita gimana?” Tanya gua lagi, kini mengganti kata ‘Gue’ dengan ‘Kita’, berharap Jeje bisa memberi jawaban.
Gua masih menunggu jawaban, kini sambil menyandarkan kepala di bahunya.
“Gue nggak mau kita LDR-an. Tapi, gue juga nggak mau terlalu egois dengan nahan lo mengejar mimpi…” Ucap gua pelan.
“Lo mau nggak nunggu gua?” Jeje gantian bertanya.
“Mau. Tapi nggak tau gue bakal kuat nggak nunggu selama itu…”
“Cuma empat tahun, kalo lancar…”
“Empat tahun? Empat tahun lo bilang ‘cuma’?” Tanya gua sambil memberi penekanan pada kata ‘Cuma’.
“Ya mudah-mudahan bisa lebih cepet..” Jawabnya.
Gua menghela nafas panjang dan mulai kehabisan kata-kata, lalu memeluk lengan kirinya. Jeje meraih tangan, mengisi sela-sela jemari gua dengan jari-jarinya dan menggenggamnya erat. Kami lalu terdiam, lama, cukup lama hingga membuat kaki gua yang menggantung pada kursi ayunan terasa kesemutan. Tapi, gua mencoba bertahan, enggan momen ini cepat berlalu.
Langit senja mulai memerah dan perlahan mulai gelap. Lampu-lampu jalan dan teras tetangga sebelah mulai menyala bergantian. Jeje mengendurkan genggamannya, lalu berdiri, bersiap untuk pulang. Gua nggak bersedia melepas genggaman tangannya.
“Mau kemana?” Tanya gua pelan.
“Pulang…”
“Gue ikut.. Tunggu..” Gua menjawab, kemudian masuk ke dalam meminta izin ke Mamak.
Dan bergegas kembali keluar menyusul Jeje yang sudah berdiri di depan pagar.
Malam itu, kami menghabiskan waktu berdua di rumahnya. Tanpa banyak bicara, tanpa banyak mengajukan pertanyaan, hanya terdiam sambil sesekali menyatukan tangan dan saling memandang.
“Udah malem, yuk gua anterin pulang…” Ucap Jeje seraya berdiri dan meraih tangan gua.
Gua bergeming lalu berpaling menghadap ke arah berlawanan dengannya. Jeje kembali duduk di kursi ruang tamu di sebelah gua, lalu dengan perlahan ia mulai membelai dan memainkan rambut gua dengan ujung jarinya.
“Pulang yuk…” Bujuknya pelan.
Gua menggeleng, masih tanpa menatapnya.
Hampir setengah jam berikutnya Jeje menghabiskan waktu mencoba membujuk gua untuk pulang. Tapi gua tetap bergeming tak menggubrisnya. Menyerah, ia lalu berdiri dan berjalan menuju ke arah kamarnya. Menyadari hal tersebut, gua buru-buru berdiri dan mengikuti Jeje dari belakang hingga masuk ke dalam kamarnya.
Jeje berpaling, menatap ke arah gua.
“Gue mau tidur disini…” Ucap gua pelan sambil memilin ujung kaos yang ia kenakan dengan kepala masih menunduk, mencoba menghindari tatapannya.
“Nggak boleh Ce…” Jawab Jeje seraya mencoba mendorong tubuh gua keluar dari kamar. Gua bergeming, mencoba bertahan dengan membentangkan tangan menutupi pintu, mencoba menghalangi jalannya.
“...” Gua berbalik dan langsung memeluk tubuhnya.
Awalnya Jeje nggak merespon pelukan gua dan hanya terdiam. Beberapa waktu kemudian, kedua tangannya dilingkarkan di punggung gua sambil memberi tepukan; tepukan penghiburan.
Gua memberi dorongan sedikit demi sedikit hingga tubuh kami berdua terus bergeser hingga ke tepian ranjang. Dengan sedikit dorongan lagi, kami berdua lalu terjatuh diatas ranjang. Gua menahan tubuh Jeje yang berusaha menghindar dan ingin bangkit dengan terus memeluknya.
Jeje akhirnya menyerah, sementara gua mulai terbius dengan aroma tubuhnya, cologne murahan yang ia gunakan hingga suara nafasnya yang terdengar seperti irama. Perlahan gua semakin tenggelam dalam rasa nyaman luar biasa dan mulai terlelap.
—
Besoknya, pagi-pagi sekali, Jeje mengantar gua pulang. Di depan teras, Bapak dan Mamak terlihat duduk sambil menatap tajam ke arah kami berdua.
Baru saja gua melangkahkan kaki masuk ke halaman, Bapak langsung berdiri, tangannya menunjuk ke arah Jeje sementara matanya ia arahkan ke gua; “Menginap kau di rumahnya?”
Gua nggak menjawab, masih terus melangkah mendekat ke arah keduanya. Jeje mengikuti gua dari belakang.
“Menginap kau di rumahnya?” Bapak kembali bertanya dengan nada suara yang menggema. Ibu berusaha menenangkan Bapak dengan menarik ujung kemejanya.
Sambil menundukkan kepala, gua menjawab pelan; “Iya”
“Tidur kau dengannya? Hah?” Tanya Bapak lagi, kini suaranya ia rendahkan, mungkin takut terdengar oleh tetangga.
“Iya, tapi..” Belum selesai gua bicara, Bapak mulai mengangkat tangannya ke udara, hendak melayangkan pukulan, gua meringis, bersiap menerima pukulan. Namun, Jeje dengan cepat melangkah maju ke depan.
‘Plak!’
Tangan Bapak mendarat tepat di pipi kiri Jeje.
“Minggir kau, sedang bicaranya aku dengan si bodat ini…” Ucap Bapak sambil menggeser tubuh Jeje dan menunjuk ke arah gua.
“Kita nggak ngapa-ngapain pak..” Jawab gua pelan.
“Kau pikir percaya aku?” Tanya Bapak dan kembali mengangkat tangannya ke udara. Jeje melangkah kembali ke depan gua, berusaha menjadi tameng, menerima pukulan Bapak.
Ia menurunkan tangannya begitu melihat Jeje kembali ke hadapannya.
“Sudah ku kasih klean kebebasan, begini gaya klean pacaran? Pala’ kali aku lihat tingkah klean” Ujar Bapak.
Kini Jeje yang menjawab. Sama dengan gua, ia juga menundukkan kepalanya; “Maaf Om..”
Bapak lalu menghela nafas panjang, lalu duduk di kursi depan teras; “Heh, bodat masuk kau. Mau bicara aku sama Jeje…” Ucap Bapak ke gua sambil menunjuk ke arah dalam rumah.
Gua menatap ke arah Jeje, enggan meninggalkannya. Namun, Mamak mulai menarik gua dan mengajak gua masuk. Samar lalu terdengar suara pukulan beberapa kali, gua menoleh sebentar dan berniat kembali keluar, namun Mamak mencegah dan tetap menarik gua masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, Mamak duduk di sebelah gua di tepi ranjang. Ia lalu bertanya, dengan pertanyaan yang sama dengan Bapak tadi, namun dengan gaya yang jauh lebih lembut; “Tidur kau dengan Jeje, nak?”
“Iya Ma, tapi kita nggak ngapa-ngapain kok.. sumpah” Gua menjawab sambil menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
Mamak lalu memeluk gua.
“Ma, suru Bapak berenti Ma.. Jeje kan nggak salah apa-apa..” Gua menambahkan dan mulai menangis.
Karena nggak ada respon dari Mamak, gua berdiri, keluar dari kamar dan langsung menuju ke teras rumah. Terlihat Jeje tengah berlutut di depan Bapak, dengan darah mengucur dari hidung dan sudut bibirnya. Gua mendekat dan memeluk Jeje yang masih dalam kondisi berlutut dan terdiam.
“Ngapain Bapak mukulin Jeje, yang salah aku…” Teriak gua ke Bapak.
Bapak menunjuk ke arah dalam; “Masuk kau, belum selesai urusan ku…” Ucap Bapak.
Terlihat ikat pinggang bapak melingkar di kepalan tangan, dengan posisi kepala ikat pinggang menghadap keluar, di sisi kepala ikat pinggang terlihat bekas darah.
Gua kembali berpaling ke Jeje yang masih terdiam, menatap kosong ke arah lantai. Dengan kedua tangan gua berusaha membuatnya bangkit, berdiri. Namun, Jeje bergeming. Ia tetap berlutut.
Bapak menarik lengan gua, membuat gua sedikit menjauh. Lalu dengan cepat melayangkan pukulan ke arah wajah Jeje, yang kemudian tersungkur ke belakang. Perlahan ia mencoba bangun dan kembali berlutut, seakan bersiap menerima pukulan selanjutnya.
Gua kembali memeluknya. Bapak lalu masuk ke dalam rumah, mungkin sudah puas memukuli Jeje.
Dengan ujung lengan kaos yang gua kenakan, gua menyeka darah di wajahnya. Jeje menatap gua lalu tersenyum. “Lo kenapa nangis? yang dipukulin kan gua?”
Mendengar ucapannya barusan, gua langsung memukul bahunya; “Ih elo mah, masih becanda aja..”
“Udah sana lo pulang dulu, nanti gue nyusul bawa obat…” Ucap gua seraya membantu Jeje berdiri.
“Hah, nyusul gua. Mau diusir lo sama Bokap lo..” Jawab Jeje sambil tersenyum, kemudian berbalik dan pergi.
Sementara, gua kembali masuk ke dalam kamar. Menurunkan koper dari atas lemari dan mulai mengemasi pakaian, buku tabungan, map berisi dokumen sekolah dan celengan ke dalam koper. Gua keluar dari kamar sambil menyeret koper.
Mamak yang melihat gua langsung berlari mencoba mencegah gua untuk pergi. Sementara Bapak berteriak dari arah ruang keluarga; “Mau kemana kau? Tak suka aku punya anak kabur-kaburan, nggak ada otak kau…”
Gua menoleh ke arah Bapak dan menatapnya tajam. “Kau pikir suka aku punya bapak kasar kayak kau, kimak…” Balas gua kemudian pergi. Mamak yang sebelumnya berusaha mencegah gua pergi langsung tertegun begitu mendengar anak perempuannya ini mulai berani mengumpat ke arah Bapak.
Sambil menyeka air mata, gua kepayahan menarik koper menuju ke rumah Jeje.
Begitu tiba di rumahnya, Jeje malah langsung meraih koper dan menarik tangan gua.
“Nggak, gue nggak mau pulang” Ucap gua pelan.
“Ngapain lo kabur, jelas-jelas yang salah kita. Semua orangtua pasti marah kalau anak perempuannya nginep berduaan di rumah cowok..” Balas Jeje.
“Tapi, gue nggak suka cara bapak yang sampe mukulin lo…”
“Masih untung gua cuma dipukul. Kalau gua di posisi bokap lo mungkin cowok yang ngajak nginep anak perempuan gua udah gua matiin…” Tambahnya.
“Tapi Je, ntar gimana? Gimana kalo ntar lo dipukulin lagi sama bapak?”
“Alah, satu, dua, tiga pukulan lagi dari bokap lo nggak bakal bikin gua mati. Udah ayo…” Ucapnya seraya menggandeng tangan gua.
Entah kenapa, ucapannya barusan mulai meluluhkan perasaan gua. Sambil tersenyum gua mulai mengikuti langkahnya.
Kami kembali ke rumah gua. Kini Jeje langsung bicara dengan Bapak, sementara sepertinya bapak sudah bisa mengendalikan emosinya dan merasa Jeje cukup bertanggung jawab dengan berusaha ‘mengembalikan’ gua.
Berempat kami lalu bicara, saling meminta maaf yang diakhiri dengan pelukan Bapak dan mamak ke Jeje. Drama pagi hari pun selesai, Jeje kembali pulang, sementara gua masih duduk di ruang tamu dengan Bapak dan Mamak.
Survivor - Eye Of The Tiger
Rising up, back on the street
Did my time, took my chances
Went the distance, now I'm back on my feet
Just a man and his will to survive
So many times it happens too fast
You trade your passion for glory
Don't lose your grip on the dreams of the past
You must fight just to keep them alive
It's the eye of the tiger
It's the thrill of the fight
Rising up to the challenge of our rival
And the last known survivor
Stalks his prey in the night
And he's watching us all with the eye of the tiger
Face to face, out in the heat
Hanging tough, staying hungry
They stack the odds still we take to the street
For the kill with the skill to survive
It's the eye of the tiger
It's the thrill of the fight
Rising up to the challenge of our rival
And the last known survivor
Stalks his prey in the night
And he's watching us all with the eye of the tiger
Rising up, straight to the top
Had the guts, got the glory
Went the distance, now I'm not gonna stop
Just a man and his will to survive
jiyanq dan 61 lainnya memberi reputasi
62
Kutip
Balas
Tutup