- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
283K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#389
#38 - To Every End, There’s a New Beginning
Spoiler for #38 - To Every End, There’s a New Beginning:
Gua bersandar di sofa panjang ruang keluarga dengan Mamak duduk tepat di sebelah. Sambil memainkan ujung jari dan menundukkan kepala, gua bicara pelan ke bapak; “Pak.. Boleh aku kuliah di Kanada?”Tanya gua.
“Hah? kau suru jual apa aku? mau kuliah ke Kanada?” Bapak balik bertanya.
“Bapak kan udah ada asuransi pendidikan aku. Cairkanlah itu…” Jawab gua, masih sambil menunduk. Tak berani menatap ke arahnya.
Mamak lalu angkat bicara; “Kau jualah gelang dan kalung-kalung ku ini pak, buat tambah-tambah biaya…” Ucap Mamak ke Bapak sambil menunjuk ke arah kamar. Mungkin bermaksud menunjukkan koleksi gelang dan kalung emas miliknya yang tersimpan rapi di dalam laci lemari pakaian mereka.
“Kau pikir pergi ke Kanada kayak ke Mandailing sana? tak cukup lah kalau hanya asuransi dan semua perhiasan kau..” jawab Bapak.
“Kau kan masih punya tanah di kampung, Jual lah. Ini bukan buat siapa-siapa lho.. buat anak sendiri..” Mamak kembali berargumen.
“Heh, tanah di kampung itu peninggalan Mamaku.. Mau kutinggali kalau pensiun nanti. Tak mau aku tua, sakit dan mati di Jakarta…” Sanggah Bapak.
Sementara, mereka terlibat adu argumen yang semakin sengit. Gua berjingkat, melipir dan masuk ke dalam kamar.
Tiba-tiba, suara Bapak terdengar memanggil gua; “Ce… Pergi rupanya kau..”
Gua terdiam, menghentikan gerakan.
“Sudah kau lagak aku dengan mamakmu, terus kabur kau…”
Gua berbalik, dan pasang senyum “Ya udah, kalo emang nggak ada uangnya, nggak usah…” Ucap gua pelan, lalu masuk ke dalam kamar.
Setelahnya, dari dalam kamar masih terdengar adu argumen antara Bapak dan Mamak yang tak kunjung selesai. Buat orang luar, mungkin adu argumen Bapak dan Mamak bakal terdengar seperti pertengkaran, karena keduanya sama-sama bersuara lantang. Tapi, percayalah, kalau mereka sebenarnya hanya diskusi yang terdengar seperti perdebatan.
Tak terasa dua minggu berlalu dan hari ini merupakan hari keberangkatan Jeje. Gua sengaja mengurung diri di kamar, berbaring di atas ranjang dengan selimut menutupi seluruh tubuh, menangis.
Suara ketukan terdengar, disusul panggilan Mamak; “Ce, ada Jeje…”
Gua bergeming, tetap ‘bersembunyi’ dibalik selimut. Dalam hati, perasaan gua campur aduk, seperti tengah menanti episode terakhir sebuah drama picisan; tak ingin buru-buru mengakhirinya, tapi juga tak punya kuasa untuk menundanya. Tak ingin bertemu dengannya karena tau akan berpisah.
Suara ketukan pintu kamar kembali terdengar. “Ce, Jeje nungguin tuh…”
Dan gua tetap bergeming.
Nggak lama, ketukan pintu kembali terdengar lalu disusul suara Jeje; “Ce.. ini gua, Jeje..”
“...”
“.. Ce, gua masuk ya…” Jeje menambahkan.
Pintu berderit, terbuka, disusul suara langkah kaki berjalan mendekat. Terasa ada tekanan di tepi ranjang, sepertinya Jeje duduk di sebelah gua. Tak ada sentuhan, tak ada ucapan, yang terdengar hanya deru nafasnya.
“Gua berangkat ya” Ucap Jeje pelan.
Tangis gua semakin menjadi begitu mendengar ucapannya barusan. Tekanan di sisi ranjang tak lagi terasa. Jeje sepertinya berdiri, tak ingin ia pergi tanpa sempat melihatnya, gua buru-buru menyingkap selimut yang menutupi seluruh tubuh dan langsung berdiri di atas ranjang.
Jeje berdiri menghadap ke arah gua, sementara Mamak dan Reni terlihat berdiri di ambang pintu kamar. Gua berjalan, mendekat ke arah pintu dan menutupnya, lalu kembali ke arah Jeje, menerjang, memeluk tubuhnya.
Gua membenamkan kepala di dadanya, tak punya keberanian untuk menatap wajahnya. Jeje meraih dagu, membuat gua kini mendongak menatapnya dengan mata gua yang basah dan sembap. Entah bagaimana wajah gua terlihat di matanya, sejak pagi belum mandi, mata yang merah, sembab dan ingusan karena nggak berhenti menangis. Buru-buru gua menyeka wajah dengan ujung kaosnya.
Jeje tersenyum, menyeka sisa air mata di pipi, di dagu dan di ujung mata gua.
“Gua berangkat ya” Ucapnya lagi, pelan dan lirih.
Gua nggak menjawab, hanya memukul dadanya berkali-kali hingga tangan ini terasa lelah.
Ia mendekatkan wajahnya, lalu memberikan kecupan hangat di kening dan mempererat pelukannya. “It’s not goodbye Ce.. Just, see you later…” Bisiknya pelan.
“Then kiss me like you've never kissed me before…” Balas gua.
Jeje menoleh ke arah pintu kamar yang kini dalam kondisi tertutup, mungkin memastikan tak ada orang yang melihat keintiman kami berdua. Ia lalu meraih dagu dan mulai mencium bibir gua. Dengan kedua tangan melingkar di bahunya, gua membalas kecupannya. Sementara, air mata kembali menggenang dan mengalir membasahi kedua pipi.
Ia melepas kecupannya dan kembali menyeka air mata di kedua pipi; “Jangan nangis terus dong ce.. gua kan cuma ke Kanada, kita bahkan masih bisa menatap bulan dan matahari yang sama kok…”
“Gimana caranya? Jakarta kan 11 jam lebih cepat daripada di Kanada. Gue lagi ngeliat bulan, lo lagi ngeliat matahari..” Keluh gua sambil kembali memukul dadanya.
“Tapi kan masih Bulan dan Matahari yang sama…”
“Ih, elo mah…”
Kami lalu terdiam, hanya saling berpelukan. Hingga kembali terdengar suara ketukan pada pintu kamar gua; “Ce… Nanti Jeje terlambat lho..”
“Iya…” Teriak gua ke arah pintu kamar.
Gua lalu mendongak ke arah Jeje; “Je.. nanti disana jangan lupa makan ya”
“Iya..”
“Jangan lupa ngasih kabar ke gue”
“Iya..”
“Terus jangan genit..”
“Iya..” Jawabnya sambil tersenyum, sementara gua menatapnya dengan ekspresi kesal, karena merasa ia bakal jadi incaran cewek-cewek bule yang kayaknya memang punya selera unik.
Perlahan, ia mulai melepas dekapan gua dari tubuhnya. Sementara, gua bergeming masih enggan berpisah dengannya.
Menit berikutnya, Jeje melangkah keluar dari kamar. Gua ke ranjang, duduk meringkuk sambil menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Sementara, dari luar terdengar suara mesin mobil milik Bapak mulai menderu, disusul suara pintu yang berdegup tertutup.
Gua bergeser, menyibak tirai jendela dan menatap kepergian Bapak yang mengantar Jeje dan Reni ke bandara. Lalu kembali membenamkan diri di balik selimut; Menangis lagi.
Hari berganti.
Berbagai cara dicoba oleh Bapak dan Mamak untuk menghibur gua. Dari mulai mengajak jalan-jalan ke Mall, makan di restoran favorit, hingga menonton film aksi di bioskop. Semua hanya menyenangkan dan melupakan kepergian Jeje. Namun, semuanya hanya kesenangan sesaat, Gua kembali bersedih kala sendiri di dalam kamar dan teringat akan dirinya; menangis.
Nggak hanya menghibur gua dengan mengajak jalan-jalan, Bapak bahkan mulai memasang sambungan internet agar gua bisa berhubungan dengan Jeje melalui aplikasi pesan atau email. Tapi, setelah gua mendapat kabar dari Jeje melalui email, bukannya senang, gua malah semakin sedih; dilanda Rindu.
Melalui email, Jeje memberi kabar kalau dia dan Reni sudah sampai dengan selamat. Kini ia tinggal sementara di dormitory, semacam asrama milik universitas. Sambil mencoba mencari tempat tinggal yang nggak jauh dari kampus dan murah.
Beberapa hari berselang. Terdengar suara ketukan, lalu pintu kamar terbuka, Bapak melongok sebentar kemudian masuk ke dalam. Gua yang sebelumnya tengah berbaring di ranjang sambil membaca, lalu bangun dan duduk di tepi ranjang.
Tanpa banyak bicara, Bapak meletakkan sebuah amplop di atas ranjang.
“Apa?” Tanya gua, lalu bergegas membuka amplop tersebut. Sebuah cek dengan nominal yang terbilang besar, saking besarnya gua sampai mengulang beberapa kali saat menghitung angka nol yang tertulis di atas cek tersebut.
“Apa ini pak?” Tanya gua.
“Nah, kau urus lah dokumen-dokumen mu itu…” Ucap Bapak.
“Hah?”
“Cemana? Katanya mau kuliah ke kanada?” Tanya Bapak sambil tersenyum. Sementara, Mamak terlihat tengah berdiri, bersandar pada pintu kamar dengan kedua tangannya terlipat di dada.
Gua langsung berdiri dan memeluknya. “Makasih ya Pak” Lalu berpaling, menghampiri Mamak dan juga memberinya pelukan; “Makasih ya Mak”
“Iya…” Jawabnya singkat.
—
Butuh waktu kurang lebih dua bulan untuk gua mengurus semua dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk berangkat ke Kanada. Mungkin karena bukan jalur beasiswa, jadi Visa yang gua ajukan membutuhkan waktu lama untuk di approve. Berbeda dengan Jeje, yang dapet beasiswa undangan dari kampus, visa miliknya terbit sangat cepat dan nggak butuh birokrasi yang njelimet.
Selama menunggu visa, gua mulai mendaftar universitas yang sama dengan Jeje, dengan mengisi formulir pendaftaran yang dikirim melalui email. Dan gua sengaja nggak memberi kabar ke Jeje kalau gua akan segera menyusulnya ke Kanada. Ingin memberinya kejutan.
—
Waktu yang gua tunggu akhirnya tiba. Sehari sebelum keberangkatan, gua menelpon Suci, ingin mengajaknya bertemu, hangout terakhir sebelum berangkat.
“Ih gila lo, kok baru ngasih tau…” Seru Suci sambil menepuk bahu gua.
“Hehe…”
Masih sama seperti sebelumnya, tak ada yang mengetahui hubungan gua dengan Jeje; termasuk Suci. Dan tak ada satupun yang tahu tentang Jeje yang sekarang berkuliah di Kanada, kecuali Gua sekeluarga dan pihak sekolah, terutama guru wali kelas; Pak Iman yang banyak membantu memuluskan jalannya mendapatkan beasiswa.
“Sendirian dong nanti lo disono? udah siap belum kesepian?” Tanya Suci seraya menyeruput jus buah miliknya.
“Kata siapa gue sendirian?” Gua balik bertanya. Lalu mulai menguak tabir hubungan gua dengan Jeje kepadanya, termasuk beasiswa yang diraih Jeje.
“What the He*l!! Serius lo? Heh, Din, jangan bercanda..” Tanya Suci lagi, ia terlihat sulit percaya.
“Serius. Ngapain bercanda…” Gua menjawab santai sambil tersenyum.
“Terus sejak kapan kalian pacaran?”
“Mmm.. Sejak awal kelas dua deh seinget gue..”
“What? dan lo nggak pernah cerita ke gue…”
“Lo nggak pernah nanya”
“Terus ntar lo di Kanada mau tinggal sama dia, berdua? Kumpul Kebo?”
“Nggak lah, gila kali lo… Dia kan sama Adiknya; Reni. Ya jadi kita tinggalnya nanti bertiga.. Hahahaha…”
“Dasar…”
Besoknya, Bapak dan Mamak mengantar ke bandara. Sepanjang perjalanan menuju ke bandara tak henti-hentinya gua senyum-senyum sendiri menatap langit dari jendela mobil. Membayangkan akan kembali bersama dengan Jeje di Kanada. Bapak dan Mamak yang menyadari hal tersebut lalu tertawa; “Sudah gila rupanya kau, dari tadi senyum-senyum sendiri?” Ucap Bapak sambil tertawa.
“Biarin, Wlee..” Balas gua seraya menjulurkan lidah.
—
Kepala mendadak pusing, perut terasa mual begitu gua turun dari pesawat. Ditambah, udara dingin yang langsung menerpa tubuh. Kegirangan di awal perjalanan hingga membuat gua lupa mempersiapkan jaket tebal yang malah gua simpan di dalam koper bagian dalam. Seraya membekap tubuh dengan kedua tangan, hanya dengan selembar jaket dan celana jeans gua berjalan menyusuri bandara untuk mengambil koper.
Selesai menunggu bagasi, gua keluar dari bandara.
Gua langsung terkejut saat melihat Jeje berdiri dan bersandar pada salah satu pilar besar tepat di pintu akses keluar bandara. Gua mengernyitkan dahi, menatap ke arahnya. Sementara Jeje hanya terdiam dan menatap gua dengan ekspresi wajahnya yang datar. Beberapa bulan tak bertemu, ia terlihat sedikit lebih kurus, mungkin akibat makan yang nggak teratur. Ia lalu mulai melangkah, mendekat, membentangkan kedua tangannya dan memberikan pelukan. Sementara gua masih tertegun; kaget dengan kehadirannya.
“Lo kok bisa tau sih?” Tanya gua.
“Gimana bisa nggak tau, bokap lo setiap hari ngirim email ke gua…” Ucapnya pelan. Ia lalu melepas jaket kulit yang dikenakan dan memakaikannya ke gua, melapisi jaket tipis yang gua pakai.
“...”
“... Nggak bawa jaket?” Tanyanya.
“Bawa, tapi di koper..” Jawab gua.
Jeje lalu meraih koper yang gua bawa, menggenggam tangan dan membawa gua pergi dari bandara.
Kami masuk ke dalam taksi, menyusuri jalan yang terlihat sepi, membelah kawasan permukiman dengan deretan rumah-rumah ala pedesaan. Lalu lintas mulai ramai saat kami mulai masuk jalan padat dengan gedung-gedung perkantoran di kedua sisinya. Gua menatap bangunan-bangunan di sisi jalan melalui kaca jendela sambil mencoba memijat bagian kening yang pusing; Jetlag. Sementara sejak tadi Jeje hanya terdiam sambil sesekali menatap ke arah gua dan tersenyum.
“Pusing?” tanyanya.
“Iya” Gua menjawab lirih.
“...”
“... tapi Happy…” Gua menambahkan.
Beberapa menit berselang, taksi berhenti tepat di sebuah bangunan dua lantai berbentuk kotak dengan pagar besi hitam pendek mengelilingi halamannya. Sebuah jembatan kecil menjadi akses masuk ke arah bangunan, sementara di bawahnya terdapat area parkir mobil yang menyerupai basement terbuka.
Jeje menuntun gua menyusuri jembatan kecil tersebut, masuk ke dalam bangunan, naik ke lantai dua melalui tangga besi berkelok dan menyusuri balkon koridor hingga ke ujung bangunan. Ia membuka pintu sedikit, dan bicara ke arah dalam ruangan.
“Tebak siapa yang dateng?” Tanyanya. Lalu membuka pintu lebar-lebar. Di dalam ruangan terlihat Reni tengah duduk di meja makan dan menatap gua dengan ekspresi terkejut.
“Kak Dina!” Serunya, kemudian berlari dan memeluk gua.
Reni menarik tangan gua, masuk ke dalam ruangan. Ruangan yang merupakan apartemen sewaan dimana Jeje dan Reni tinggal. Ukurannya hanya sedikit lebih besar dari kamar gua yang ada di rumah; Kira-kira 4 x 5 meter. Di sebelah pintu masuk, terdapat meja dapur; kompor dan sink berada diatasnya. Lalu sebuah meja makan kecil dengan sebuah kursi kayu di setiap sisinya yang menutupi akses lewat jika setiap kursi ditarik keluar. Sebuah sekat tanpa pintu membatasi ruang dapur sekaligus ruang makan dengan sebuah ruangan yang digunakan sebagai kamar tidur merangkap ruang menonton dan ruang serba guna lainnya. Di ujung ruangan terdapat jendela super besar yang dapat dibuka dengan cara digeser, akses menuju ke balkon yang menghadap ke arah jalan Herring cove road; Jalan yang baru saja kami lalui.
Gua menatap sekeliling ruangan, lalu duduk di kursi ruang makan. Sementara Jeje begitu selesai memasukkan koper milik gua, mulai mengisi air dalam ketel besi, meletakkan di atas kompor dan mulai menyalakannya.
“Mau makan apa? Mie instan ya” Tanya Jeje sambil duduk di hadapan gua.
“Yah Jeje, dateng jauh-jauh kesini. Masa langsung makan mie instan..” Keluh gua, seraya memegangi kepala.
Ia lalu berdiri, memposisikan dirinya tepat di belakang dan mulai memijat lembut kepala gua yang terasa pusing sejak turun dari pesawat.
“Kalo pusing dan cuaca dingin, emang menurut lo apa yang lebih enak dari mie instan kuah rasa soto?” Bisik Jeje tepat di telinga gua.
“Iya sih.. yaudah mau deh..”
“Ren, mie instan ren…” Ucap Jeje ke Reni yang lalu bergegas berdiri, membuka laci dapur, mengeluarkan tiga bungkus mie instan rasa soto dan mulai memasaknya. Reni kini berubah menjadi sosok anak yang mandiri. Ia bahkan bisa menyalakan kompor sendiri, padahal kini ia baru kelas 4 SD.
“Kamu udah daftar sekolah ren?” Tanyan gua ke Reni. Sambil menikmati mendapat pijatan kepala dari Jeje.
“Udah kak..”
“Sekolah dimana Je?” Kini gua menoleh, mengajukan pertanyaan ke Jeje.
“Deket dari sini…” Jawabnya. Ia lalu mulai menjelaskan tentang sekolah baru Reni.
Sekolah hasil kerjasama yayasan swasta Indonesia dengan pemerintah Kanada. Mayoritas murid yang bersekolah disana merupakan anak-anak Indonesia yang mungkin kebetulan orangtuanya bekerja di Kanada. Walaupun diisi dengan mayoritas anak Indonesia, bahasa pengantar yang digunakan tetaplah Bahasa Inggris, begitu juga kurikulumnya; kurikulum pendidikan Kanada. Karena pemerintah nggak mengizinkan lembaga pendidikan menyadur atau menggunakan kurikulum dari negara lain.
“Terus bisa catch up nggak sama pelajarannya Ren?” Tanya gua lagi.
“Bisa kak, malah enak, lebih gampang” Jawab Reni, sementara tangannya sibuk membuka kemasan mie instan.
“Masa sih?”
“Iya, Pas baru masuk banyak temen-temen yang baru bisa hitung-hitungan dasar. Padahal di Indonesia aku udah diajarin dari kelas dua…”
“Lah, terus mereka dari kelas satu belajar apaan?”
“Disini baru pas kelas dua, anak-anak baru diajari baca tulis. Kelas empat, pas Reni baru masuk yang dipelajari malah rambu-rambu lalu lintas. Tuh besok dia mau tes ujian basic berlalu lintas…” Kini Jeje yang membantu menjawab.
“Wah, kok seru kayaknya…”
“Iya terus disini tuh asik tau kak, nggak ada ranking-rankingan…” Reni menambahkan.
“Wah, abangmu kalau dulu sekolah disini nggak dapet apa-apa berarti” Gua memberi respon sambil tersenyum dan menoleh ke arahnya.
—
Franz Ferdinand - Take Me Out
So if you're lonely, you know I'm here waiting for you
I'm just a cross-hair, I'm just a shot away from you
And if you leave here, you leave me broken, shattered I lie
I'm just a cross-hair, I'm just a shot, then we can die
Oh, oh, oh
I know I won't be leaving here with you
I say, don't you know?
You say you don't know
I say: take me out
I say you don't show
Don't move, time is slow
I say: take me out
Well, I say you don't know
You say you don't know
I say: take me out
If I move, this could die
If eyes move, this could die
I want you to take me out
I know I won't be leaving here (With you)
I know I won't be leaving here
I know I won't be leaving here (With you)
I know I won't be leaving here with you
I say, don't you know?
You say you don't know
I say: take me out
If I wane, this could die
If I wait, this could die
I want you to take me out
If I move, this could die
Eyes move, this can die
Come on, take me out
I know I won't be leaving here (With you)
I know I won't be leaving here
I know I won't be leaving here (With you)
I know I won't be leaving here with you
jiyanq dan 67 lainnya memberi reputasi
68
Kutip
Balas
Tutup