- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
283K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#418
#41 - A Drifted Home
Spoiler for #41 - A Drifted Home:
Jeje menghentikan langkahnya saat kami bertiga berada di depan sebuah rumah berpanel kayu berwarna coklat, dengan papan kecil putih bertuliskan nomor 42 yang berada diantara pintu kayu putih dan sepasang jendela bernada sama.
Di depan rumah terdapat tangga berselusur yang tidak mengarah lurus ke depan, melainkan ke arah kanan jika dilihat dari tempat kami berdiri sekarang. Sementara, sebuah halaman rumput yang cukup luas membentang tepat di muka rumah. Di sisi sebelah kanan, tepat di akses masuk menuju tangga, terdapat area beraspal selebar satu buah mobil yang berakhir di bagian belakang rumah, dimana sebuah bangunan bernuansa sama dengan rumah utama berdiri; garasi, dengan pintu besar berwarna putih.
Seorang pria terlihat tengah berdiri, bersandar pada selasar tangga di depan pintu rumah. Ia melambai ke arah Jeje dan berjalan mendekat, menghampiri kami bertiga. Pria tersebut memperkenalkan namanya sebagai Tommy Douglas; seorang agen real estate.
Gua mengernyitkan dahi begitu ia memperkenalkan diri.
“This is.. Ms?”
“Aldina”Gua menjabat tangannya seraya menyebutkan nama.
Mr. Douglas lalu beralih ke Reni; “and, this is must be Ms. Jonathan..”
“Oh hai, Reni Jonathan” Ucap Reni seraya menjabat tangan Mr. Douglas.
“And let’s go inside.. your stuff just this or any else that should be picked up?” Tanya Mr. Douglas ke Jeje seraya menunjuk ke arah koper milik gua yang dibawa Jeje.
“Yeah, there are all we got..” Jawab Jeje santai.
Dengan dipandu oleh Mr. Douglas, kami bertiga mengikutinya masuk ke dalam rumah tersebut. Di dalam rumah sudah lengkap dengan furnitur-furnitur standar seperti set sofa tamu beserta mejanya, kitchen set lengkap dengan peralatan masak, kulkas besar yang terlihat tua dan di masing-masing kamar sudah terdapat kasur besar lengkap dengan kloset menyimpan pakaian.
“This is the master bedroom, for you both of you I guess” Ucap Mr. Douglas seraya membuka pintu kamar utama yang bersebelahan dengan ruang tamu. Gua mencubit pinggang Jeje dan berbisik; “Utang penjelasan lo sama gue”
Kami lalu berpindah ke kamar satunya, yang berada di seberang kamar utama. Area makan yang jadi satu dengan dapur bersih menjadi pemisah antara dua kamar.
“This is supposed to be the kids room..” Ucap Mr. Douglas sambil membuka pintu dan memperlihatkan kondisi kamar. Kamar ini memiliki view melalui jendela ke halaman belakang. Ia lalu mengajak kami menyusuri dapur kotor lantas membuka pintu belakang, akses menuju ke halaman belakang yang terlihat lebih luas daripada halaman depan. Sebuah pagar besi tinggi menjadi pembatas dengan halaman belakang milik tetangga di ujung area.
Sementara di sudut halaman terdapat sebuah tong besar yang sepertinya bekas digunakan untuk membuat api unggun. Terlihat dari sisa hangus pada bibir tong dan kayu-kayu bekas terbakar mencuat dari dalamnya.
“This fridge kindly looks old, just tell me if you want to replace it with the new one. I’ll take it off this old one..”
“Mmm I don't know, should we?” Tanya Jeje sambil berpaling ke gua dan Reni. Kompak, gua dan Reni mengangkat bahu; ‘terserah’.
“Haha, alright then take your time”
Setelah selesai memberi penjelasan, Mr. Douglas menyerahkan dua set anak kunci beserta sebuah amplop coklat besar kepada Jeje yang sepertinya surat kontrak. Ia lalu berpamitan dan langsung pergi dengan mobilnya. Sementara, gua dan Reni duduk di meja makan sambil memandangi interior rumah dan masih kebingungan dengan apa yang terjadi.
Begitu Jeje kembali dari depan setelah mengantar Mr. Douglas, gua lantas menarik tangannya dan menyuruhnya duduk.
“Jelasin!” Ucap gua dengan nada ketus.
Jeje tersenyum sebentar, sambil memainkan anak kunci, ia mulai bicara; “Iya, jadi gini. Rumah ini gua sewa. Karena gua takut nanti lo ada apa-apa dan gua nggak ada. So, kayaknya better kita pindah ke tempat yang lebih gede dan bisa tinggal sama-sama…”
“Buat apa sih Je? lagian kita kan juga udah mau lulus. Lo sewa berapa tahun?” Tanya gua, kesal.
Jeje terdiam, nggak langsung memberi jawaban. Sementara, Reni langsung menyunggingkan senyum dan angkat bicara; “Yess! bang, ini kamar Reni yah..” Ucapnya seraya berdiri, meraih koper miliknya dan memasukkannya ke dalam kamar.
“...”
“Terus kan ini kamarnya cuma dua, abang tidur dimana?” Tanya Reni.
“Di kamar depan” Ucap Jeje sambil menunjuk ke arah kamar utama.
Mendengar jawaban Jeje barusan, gua langsung melupakan pertanyaan sebelumnya perihal masa sewa rumah ini. ‘Duh, kita harus tidur berdua banget nih’ Batin gua dalam hati. Karena merasa kamar utama di depan bakal kami tempati, berdua.
“Sama Kak Dince?” Tanya Reni lagi.
“Sendiri, Dince sama elo..” Jawab Jeje singkat.
“Dih… Ya elo sama gue lah” Gua mengajukan protes.
Jeje bergeming, perdebatan berakhir. Kami menyerah, gua menyeret koper ke dalam kamar Reni. “Kak, aku tidur duluan ya. Mau nyobain kasur baru..” Ucap Reni, lalu meloncat di atas ranjang dengan posisi tengkurap.
Setelah menyimpan koper tanpa mengeluarkan isinya, gua kembali ke ruang makan. Duduk di kursi sebelah Jeje dan berencana melanjutkan diskusi kami perihal masa sewa rumah ini.
“Je, lo sewa rumah ini berapa lama? kita kan udah mau lulus?” Tanya gua, kini dengan nada serendah mungkin.
“Nanti gua jelasin” Ucapnya.
“Kapan?”
“Nanti…”
“Terus, kenapa lo nggak mau tidur sama gue?” Kali ini gua bertanya dengan topik yang berbeda.
“Ya nggak boleh lah Ce…”
“Nggak Je, gue nggak bakal khilaf” Ucap gua.
“Yang gua takutin bukan elo yang khilaf. Justru takut nanti gua yang khilaf…” Jawabnya tanpa berani menatap ke arah gua.
“Gimana kalo kita coba dulu satu malam. Kalo nggak terjadi apa-apa, gue tidur sama elo seterusnya…”
“Otak lo kemana sih ce. Kalo nggak terjadi apa-apa? nah kalo terjadi apa-apa gimana?”
“Ah, udah itu kita pikirin ntar aja…” Ucap gua santai, lalu berdiri, mengambil kembali koper dari kamar Reni dan memindahkannya ke kamar tidur utama. Gua kembali keluar, meraih kunci dari tangan Jeje dan mengunci pintu depan, mengecek pintu belakang dan jendela-jendela.
Lalu meraih tangan Jeje, dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Gua mendorong Jeje ke atas ranjang. Ia gelagapan, lalu kembali berdiri. “Eh gue lupa ngecek airnya. Nyala nggak ya..” Ucap Jeje mencari alasan.
“Ah, udah gue cek tadi. Nyala…” Jawab gua, lalu kembali mendorong tubuhnya ke atas ranjang. Mematikan lampu kamar, lalu menjatuhkan diri tepat di atas tubuhnya. Kini ia sama sekali nggak memprotes tindakan gua. Ia hanya terdiam dan menatap wajah gua dalam kegelapan.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Cahaya lampu dari luar kamar masuk, menyilaukan mata. Reni berdiri di depan pintu seraya mengucek matanya dan bicara; “Bang, laper..” Begitu ia membuka mata, dan mendapati posisi ‘aneh’ antara kami berdua, ia langsung memejamkan mata, sementara tangannya berusaha menggapai handle pintu, namun gagal.
Gua dari ranjang dan membetulkan rambut, Jeje menyusul gua bangun dari ranjang; “Yuk ke Timmies” Ucapnya pelan. Lalu berdiri dan keluar dari dalam kamar.
Suasana canggung tak terhindarkan saat kami berjalan bersama menuju ke Timmies. Apalagi gua dan Reni, duh malunya nggak ketolongan. Gua lantas berinisiatif merangkulnya dan berbisik; “Malem-malem makan, ntar gendut loh”
Reni melirik ke arah gua lalu bergidik, menunjukkan ekspresi jijik. Sesaat kemudian barulah ia mulai mengembangkan senyum dan tertawa. Sambil menatap, masih dengan ekspresi Jijik, ia membalas bisikan gua; “Besok-besok, kamarnya dikunci ya. Mohon pengertiannya masih ada anak dibawah umur yang tinggal dengan kalian” Ucapnya sambil tertawa.
Mendengar tawa kami pecah, Jeje yang berjalan di depan langsung berpaling dan bertanya; “Ngetawain apaan?”
“Ih mau tau aja urusan perempuan” Gua menjawab.
—
Setelah selesai makan di Timmies, kami bertiga keluar dari pintu restoran. Reni berjalan di depan kami, meloncati tiga anak tangga sekaligus. Ia lalu berjalan mundur, sembari menunggu gua dan Jeje menyusul.
“Bang, mana kunci rumahnya, Reni duluan…” Ucapnya sambil menjulurkan tangannya ke arah abangnya. Jeje meraih anak kunci dari saku kemeja dan menyerahkannya ke Reni, yang segera menyambar anak kunci tersebut dan berlari menyebrangi jalan, pulang.
Gua menatap Jeje yang tersenyum melihat kebahagiaan adik satu-satunya itu. Sementara, gua mulai meraih lengan dan memeluknya.
“Nggak terasa ya tau-tau Reni udah gede aja…” Ucap gua.
“Iya..”
“Lo tau nggak kalo dia tuh udah menstruasi?” Tanya gua lagi.
“Hah serius lo?”
“Iya..”
“Anak sekarang cepet ya menstruasinya”
“Kata siapa? gue juga dulu pertama menstruasi pas kelas 1 SMP, sama kayak Reni sekarang”
“Masa? By the way, thank you ya ce…”
“Thank you untuk apa?”
“Thank you udah mau nemenin Reni selama ini. Nggak tau deh gimana kalo gua cuma berdua sama Reni. Siapa yang mau ngasih penjelasan masalah perempuan ke dia kayak gini…” Ucap Jeje.
“Iya sama-sama. Reni kan udah kayak adik gue sendiri…”
Sementara, Reni terlihat semakin menjauh lalu hilang ditelan bayangan. Gua merapatkan tubuh ke arah Jeje, mengencangkan pelukan di lengan kirinya.
“Gua sebenernya mau ngomong sesuatu ke elo..” Ucap Jeje.
“Yaudah ngomong aja..”
“Ada dua hal, Mmm.. sebenernya ada tiga sih, tapi urusan rumah kan udah lo udah tau. Jadi masih tersisa dua hal yang pengen gua omongin ke elo..”
“Apa?”
“Lo mau denger hal yang mana duluan? ada dua barang yang berkaitan dengan hal yang mau gua omongin. Satu di kantong belakang celana, satu lagi di kantong depan. Lo mau bahas yang mana dulu?” Tanya Jeje, sok misterius.
Gua lalu menjawab asal; “Kantong belakang”
Ia lalu mengeluarkan sebuah kertas terlipat dari saku belakang celana jeansnya. Membuka lipatannya dan menyerahkannya ke gua.
“Tempo hari gua baru diangkat jadi karyawan tetap di kantor, bayarannya juga bagus. That’s why gua berani nyewa rumah itu..”
Gua mencoba membaca surat pengangkatan Jeje sambil memicingkan mata, sesekali mengangkat kertas ke atas agar lebih mudah dibaca karena kondisi yang gelap.
“Serius? cool…” Ucap gua, sambil masih berusaha membaca.
“Terus, berkaitan dengan itu juga. Gua kayaknya ada rencana buat lanjut S2 deh..” Tambahnya.
Gua lantas menghentikan langkah, membuat Jeje juga berhenti berjalan karena tangannya berada di pelukan gua. Baru gua sadari alasan kenapa Jeje akhirnya menyewa sebuah rumah; ia ingin tinggal lebih lama disini untuk melanjutkan pendidikannya.
“Kenapa? Kenapa harus lanjut S2, lo nggak mau pulang? terus gue gimana?” Gua mengajukan pertanyaan.
Jeje tersenyum sebentar, lalu menarik lengannya agar kami berdua melanjutkan langkah.
“Justru itu yang mau omongin. Yang mau gua tanyain ke elo..”
“...”
“... Lo mau nggak Ce, nemenin gua disini, paling nggak 4 sampe 5 tahun lagi, sampe gua kelar S2?” Tanyanya.
“...” Gua nggak langsung menjawab, hanya menatap ke atas, ke arah langit yang penuh dengan bintang. Hati ini lalu berselimut keraguan. Empat tahun hidup bersamanya saja sudah cukup banyak memberikan tambahan beban ke Jeje. Apalagi sekarang gua harus menemaninya, 4 sampai 5 tahun lagi. Berapa banyak beban yang harus Jeje tanggung ke depannya?
“... Jawaban lo nanti bakal berpengaruh ke hal yang mau gua bahas selanjutnya..” Jeje menambahkan.
“…” Gua masih terdiam, nggak memberikan jawaban.
“Kalo masih belum bisa ngasih jawaban sekarang, gapapa… take your time” Ucapnya.
Gua berpaling dan menatap wajahnya, sambil menyentuh pipinya dengan telapak tangan gua mulai bicara; “Je… gue sebenernya mau banget nemenin lo disini. Tapi, disisi lain, gue nggak mau terus jadi beban tambahan buat elo. Hati gue sakit saat tau lo harus bekerja ekstra keras buat bayar biaya hidup dan biaya rumah sakit gue…”
“Ce… Lo tuh salah satu alasan kenapa gua masih mencoba bertahan sampai sekarang. Lo juga alasan kenapa gua bisa sampai di titik ini… So, jangankan cuma uang, kalo lo mau, hidup gua, gua kasih ke elo…”
Mendengar ucapannya barusan, hati ini langsung terenyuh. Bagaimana mungkin gua mampu menolak dengan caranya yang seperti ini?
“Iya Je, gue mau.. Gue mau nemenin sampai lo selesai dengan apa yang mau lo capai disini”
Jeje lalu tersenyum.
“Terus selanjutnya apa?” Tanya gua penasaran.
Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari saku depan celananya. Terlihat sebuah gulungan tisu, yang dibukanya dengan hati-hati. Jeje meraih tangan kiri gua, kemudian memasangkan sebuah cincin pada jari manis gua, cincin yang sebelumnya berada dalam gulungan tisu; “Kalo nggak cuma 4 atau 5 tahun, Lo mau nggak nemenin gua, seumur hidup?” Tanyanya pelan, sambil menatap gua dengan matanya yang sendu.
Sontak, gua menarik kedua lengan, menghentikan langkah dan mulai berjongkok. Tak kuasa menahan lutut yang mulai lemas begitu mendengar ucapannya barusan. Masih sambil berjongkok, gua menatap cincin di jari manis, lalu mendongak dan mulai menatapnya.
Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, gua bicara; “Mau Je.. Mau banget”
Jeje tersenyum, meraih kedua tangan gua, mencoba membantu berdiri. Gua mengabaikan dirinya, lalu mulai berlari ke arah rumah yang mulai terlihat.
Dengan cepat gua masuk ke dalam, membuka pintu kamar Reni dan mengangkat tangan, menunjukkan jari-jari tangan kiri gua ke arahnya. Reni terlihat cukup terkejut, ekspresinya bingung begitu melihat sikap gua yang mungkin terasa aneh baginya.
“Apaan sih kak?” Tanyanya.
Gua nggak langsung menjawab, hanya tersenyum sambil memainkan jari-jari gua, berharap Reni menyadari keberadaan cincin di jari manis gua.
Butuh waktu cukup lama bagi Reni untuk menyadari hal tersebut, hingga akhirnya dia terkesima, matanya membelalak, kedua tangannya mencoba menutup mulutnya yang menganga.
“Seriously? Did he propose to you?” Tanyanya.
Gua lantas mengangguk dan tersenyum. Reni lalu meloncat dari atas ranjang dan mulai memeluk gua. Kami saling berpegangan tangan, dan mulai meloncat-loncat sambil menari.
Jeje berdiri di ambang pintu, bersandar pada kusen dan bertanya; “Ngapain?”
Kami berdua nggak menggubrisnya.
“Abang bilangnya gimana kak?” Tanya Reni. Gua lantas, mengulang ucapan Jeje tadi saat ia ‘melamar’ gua. Tiba-tiba Reni menanggalkan senyumnya.
“Kenapa?”
“Gapapa, kok aku geli sendiri ya bayangin abang ngomong gitu… Hiii…” Ucapnya sambil bergidik lalu melepas genggaman tangan dan menjatuhkan diri di atas ranjang.
Sementara, Jeje terlihat menyunggingkan senyum; “Udah pada tidur, udah malem..” Ia menambahkan lalu, kembali menuju ke kamar.
Gua mendekat ke Reni dan berbisik; “Ren, pokoknya apapun yang terjadi, mau ada gempa kek, banjir kek, kiamat kek, lo jangan ngetok atau masuk ke kamar abang. Ya?” Ucap gua ke Reni lalu bergegas menyusul Jeje ke kamar.
Begitu masuk ke dalam kamar, Jeje menatap gua heran; “Sana tidur sama Reni”
Gua nggak merespon kata-katanya, hanya berdiri sambil tersenyum, menutup pintu, mematikan lampu dan mulai mendekat ke arahnya. Gua melingkarkan kedua tangan di bahunya dan duduk di pangkuannya.
“Ngawur deh lo Ce.. Ntar Reni masuk” Tambahnya.
“Nggak, nggak bakal” Gua menjawab dengan suara lirih. Lalu mulai mendekatkan kepala ke wajahnya.
“Stop Ce…” Ucapnya. Terdengar penolakan dari nada bicaranya, namun tubuhnya mengatakan sebaliknya. Ia meraih pinggang gua dan mulai memeluknya erat. Dengan sedikit dorongan, kami berdua langsung terbaring di atas ranjang. Jeje berbalik, memutar posisinya, lalu menarik selimut menutupi kami berdua.
—
Sons Of Apollo - Coming Home
In your circle of splendor
A room of pretenders
This is the new make believe
In your complex decisions
This tiny incision
Cut to commence misery, yeah
There's a voice screaming outta my head
There's a truth that I don't wanna know
Cross the line that you're gonna regret
Is it me, is it you?
So get out of my way
Goin' out on my own
Now remember my name
'Cause I'm coming home (I'm coming home)
Now I'm not so suspicious
You're downright malicious
Can't make a fool outta me
Your scheme's complicated
Your pride is inflated
Seized by a social disease, hey
There's a voice screaming outta my head
There's a truth that I don't wanna know
Cross the line that you're gonna regret
Is it me, is it you?
So get out of my way
Goin' out on my own
Now remember my name
'Cause I'm coming home (I'm coming home)
Yeah
Well I'm coming home
Ooh, ah
(I'm coming home, I'm coming home)
Ooh
I've got to get out, out, out
So get out of my way
Goin' out on my own
Now remember my name
'Cause I'm coming home (I'm coming home)
Yeah, yeah
Yeah, yeah
'Cause I'm coming home (I'm coming home)
jiyanq dan 61 lainnya memberi reputasi
62
Kutip
Balas
Tutup