- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
283K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#436
#43 - Life is as inexorable as the sea
Spoiler for #43 - Life is as inexorable as the sea:
Disekitar area parkir terlihat batu-batu berwarna terang mengelilinginya. Sebuah mercusuar dengan atap runcing berwarna merah menarik perhatian gua.
“Je, Je… Lighthouse…”Ucap gua seraya menunjuk ke arah mercusuar.
Jeje keluar dari mobil dan memicingkan mata mencoba menatap ke arah tangan gua menunjuk.
“Lo ngasih gue kacamata tapi lo sendiri nggak pake” Ucap gua seraya melepas kacamata yang gua kenakan dan memberikan kepadanya.
Jeje nggak merespon ucapan gua dengan kata-kata. Ia mengambil kacamata hitam dari kantong depan sweater hitam, dan mulai memakainya. Gua melihatnya sekilas, kacamata dengan model, tipe dan warna yang sama dengan yang gua kenakan. Dan, ia terlihat rupawan saat memakainya.
Ia meraih tangan gua dan berjalan mendekat ke arah mercusuar yang kini ramai dipadati pengunjung. Enggan terlalu dekat dengan mercusuar yang ramai, Jeje membawa gua sedikit menjauh, menuju ke lokasi yang nggak terlalu ramai, lalu duduk di salah satu kursi batu yang menghadap ke laut.
“Ini untuk pertama kalinya gue ngeliat laut secara langsung” Gumam gua pelan.
“Cantik..”
“Iya cantik..” Ucap gua, mengulang kalimatnya, sambil menatap ke arah birunya lautan.
“Bukan, bukan lautnya. Tapi lo..”
Gua terdiam, lalu menoleh ke arahnya yang tengah menatap gua, sementara kacamata hitamnya ia naikkan ke ujung dahi.
“Baru kali ini lo bilang gue cantik lho”
“Masa?”
“Iya…” Jawab gua sambil terus menatap ke arah matanya.
“...”
“... May I Kiss you?” Ucap gua pelan.
“Now? right here?” Tanyanya seraya matanya berkeliling.
“Yes..” Gua menjawab sambil memegang kedua pipinya yang terasa dingin akibat hembusan angin. Tiba-tiba ia mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir gua dengan cepat.
“Dah tuh..” Ucapnya, lalu menyeka bibirnya.
Gua mengernyitkan dahi dan memukul dadanya; “Kenapa di lap?” Seru gua begitu menyadari ia baru saja menyeka bibirnya setelah memberi kecupan. Gua lantas mencium tepat di bibir yang baru saja ia seka. Seakan nggak cukup, gua mulai mencium setiap bagian wajahnya; bibirnya, kedua pipinya dan dahinya.
“Rasain tuh, cuci muka sana sekalian pake aer laut” Seru gua sambil manyun.
Jeje meraih bahu dan mulai memeluk gua. Kini kami duduk berdua, mengabaikan ramainya orang yang lalu lalang dan berfoto, menatap ke arah lautan yang terlihat tenang. Gua menyandarkan kepala di bahunya, sambil memainkan tali hoodie sweater yang ia kenakan.
“Cuma satu yang kurang, dan belum pernah lo bilang ke gue” Ucap gua pelan.
“Apa?”
“Lo nggak pernah bilang ‘sayang’ ke gue. Setiap kali gue minta lo bilang ‘sayang’ lo pasti jawab; ‘apa perlu? setelah semua yang kita lalui’” Jawab gua sambil mengikuti gaya bicaranya.
Jeje nggak langsung menjawab, ia mempererat pelukannya lalu berbisik: “I Love you more than words can say..”
Mendengar bisikannya barusan, hati ini langsung terasa berbunga-bunga, membayangkan sosok dan karakternya yang kaku, lalu tiba-tiba bisa mengucap kata romantis yang selama ini hampir tak pernah terdengar dari bibirnya.
“Lo mau foto nggak?” Tiba-tiba Jeje bertanya.
“Emang lo bawa kamera?” Gua balik bertanya.
“Ada di mobil, kameranya Claire..” Jawab Jeje.
“Mau...” Seru gua.
“Gua ambil dulu, lo tunggu disini ya”
“Iya..”
Jeje lalu berdiri, melompati bangku beton dan berlari menuju kembali ke mobil di area parkir untuk mengambil kamera. Sementara, gua duduk sambil senyum-senyum sendiri memandang laut.
Nggak jauh dari lokasi gua duduk, terlihat sekelompok keluarga turis yang sepertinya tengah berdebat. Dari samar suaranya sepertinya mereka berasal dari Indonesia. Setelah terlibat perdebatan, seorang perempuan muda yang kira-kira seumuran dengan Reni berjalan menjauh dari kelompok dengan kamera di tangannya.
Perempuan dengan guratan kesedihan pada ekspresi wajahnya, guratan kesedihan yang sama sekali nggak mengurangi kecantikannya.
‘Ah, pasti lagi berdebat siapa yang harus mengambil foto. Nggak ada yang mau mengalah’ Gua memberi tebakan dalam hati.
Adat ketimuran gua pun bergejolak. Gua berdiri, lalu mendekat. Berniat untuk membantunya mengambil foto, agar mereka semua bisa berada di satu frame yang sama.
Tatapan kami bertemu.
“Hey, do you want me to take a picture for you?” Ucap gua, memberi penawaran sambil pasang senyum. Mencoba terlihat ramah.
Perempuan muda itu nggak langsung merespon. Ia hanya terdiam sambil terpaku menatap gua. Melihat responnya, gua kembali bertanya seraya menaikkan kedua alis; “May I...”.
Ia lantas tersenyum, menyerahkan kamera digitalnya ke gua. “Thank you” Gumamnya pelan, lalu berlari kembali bergabung dengan kelompok yang terlihat seperti keluarganya.
Beberapa kali gua mengambil gambar, sambil sesekali mengecek hasilnya lada layar kecil di bagian belakang kamera digital. Setelah dirasa cukup, gua mengangkat ibu jari ke atas, memberi kode ke perempuan tadi.
Ia kembali berlari ke arah gua. “Thank you again…” Ucapnya, seraya meraih kamera digital miliknya yang gua sodorkan.
“Orang indonesia ya?” Tanya gua.
“Eh iya.. Kakak juga?” Ia balik bertanya.
“Iya. Liburan?”
“Iya nih.. kakak lagi liburan juga?”
“Nggak, aku kuliah disini kok…”
“Wow, enak banget..”
“Haha, biasa aja.. Yaudah have fun ya..”
“Terima kasih ya Kak..”
“Sama-sama” Gua menjawab lalu bergegas kembali ke kursi beton tempat gua duduk sebelumnya dan mendapati Jeje sudah berada disana dengan kamera digital di tangannya.
“Siapa?” Tanya Jeje.
“Nggak tau, orang minta tolong fotoin..” Jawab gua.
“Oh.. Yuk foto..”
“Yah tau gitu tadi minta gantian fotoin” Ucap gua.
“Nggak usah, ini juga ada timernya..”
Jeje lalu menyetel penghitung waktu pada kamera, dan meletakkannya di atas kursi beton menghadap ke arah kami dengan latar mercusuar dan lautan lepas. Kami berdua berdiri, saling memeluk dan berpose.
Beberapa kali kami mengambil foto berdua.
“Fotoin gue Je..” Ucap gua sambil menyerahkan kamera ke Jeje. Sigap, ia meraih mengubah mode kamera dan bersiap mengambil gambar gua yang sudah berpose.
“Sini gantian…” Gua meraih kamera dari tangannya.
“Nggak ah, nggak usah…” Ia menolak. Namun, gua terus memaksa.
“Udah buruan…” Seru gua seraya mendorongnya ke posisi gua sebelumnya.
‘Ckrek!’ Baru sekali gua mengambil gambarnya, Jeje lalu kembali mendekat.
“Ih, ulang-ulang Je.. Bocor” Seru gua, seraya menunjukkan hasil jepretan gua barusan. Yang dimaksud 'bocor' disini terntu saja bukan ungkapan seperti 'atap yang bocor', melainkan istilah untuk menunjukkan adanya 'objek' lain yang ikut terfoto.
Di layar kamera digital terlihat Jeje tengah berpose kaku, sementara pada bagian latar, ada sosok perempuan yang juga tengah berpose menghadap ke arah lain. Pose mereka bahkan terlihat sama. Sama-sama kaku, sama-sama mengangkat dua jarinya keatas. Dan sosok Perempuan itu adalah perempuan muda yang tadi sempat gua bantu mengambil foto.
Jeje menaikkan kacamata hitam, melihat hasil jepretan gua melalui layar kamera digital yang kecil. “Ah udah gapapa” Ucapnya.
—
Sebelum pulang, kami berencana untuk makan di restoran yang menyediakan area parkir dekat mercusuar. Namun, saat tengah berjalan rasa sakit luar biasa terasa di bagian pinggang kiri belakang. Gua berjongkok seraya meringis dan memegangi bagian yang sakit.
Jeje langsung ikut membungkuk; “Kenapa?” Tanyanya.
“Sakit banget” Ucap gua lirih, sementara tangan mulai menepuk pelan bagian tubuh yang terasa nyeri.
“Arrggh…” Gua menjerit. Berharap rasa sakit yang luar biasa ini hilang melalui teriakan. Sontak, beberapa mata langsung berpaling dan menatap ke arah kami. Tanpa pikir panjang Jeje lalu meraih tubuh dan mulai membopong gua ke arah mobil yang terparkir. Ia membuka pintu penumpang bagian belakang lalu dengan hati-hati merebahkan gua.
Nggak sampai 5 menit berikutnya kami sudah kembali berada di jalan utama. Jeje terus menambah kecepatan sambil sesekali melirik ke belakang, ke arah gua tanpa bicara.
Keringat mulai membasahi seluruh tubuh, terutama bagian wajah. Sementara rasa sakit di pinggang belakang gua tak kunjung mereda, malah semakin terasa nyeri yang luar biasa. Gua meringkuk sambil mengaduh.
“Sabar ce, tahan sebentar…” Ucap Jeje.
Hampir setengah jam berikutnya, kami tiba di pelataran Victoria General Hospital yang berada di pusat kota Halifax. Jarak yang normalnya harus ditempuh dengan waktu satu jam, sementara Jeje hanya butuh waktu setengah jam untuk membawa gua kesini.
Ia menghentikan mobil tepat di depan gedung Emergency, keluar dari mobil, meraih dan membopong gua masuk ke dalam. Seorang petugas keamanan dengan sigap mengambil kursi roda, mendekat dan memberi instruksi agar gua diturunkan dan di dorong menggunakan kursi roda tersebut.
Beberapa perawat juga langsung menghampiri kami, salah satunya mulai bertanya ke Jeje tentang apa yang tengah menimpa gua dan riwayat penyakit serta jenis alergi yang gua miliki. Jeje lalu memberi penjelasan tentang pinggang gua yang sakit dan riwayat ginjal yang gua derita.
Masuk ke ruang gawat darurat, seorang dokter terlihat membaca cepat dari kertas berisi laporan singkat tentang kondisi gua, lalu mulai memberi suntikan pereda nyeri. Seketika, rasa sakit di pinggang belakang gua mulai mereda. Sementara si dokter lalu mulai melakukan pemeriksaan lanjutan.
Satu jam berikutnya, gua sudah berada di kursi roda menunggu di depan sebuah ruangan tanpa jendela. Hanya sebuah pintu berukuran besar bertuliskan ‘restricted area’ di depan gua. Sementara Jeje tengah berdiri, bersandar pada dinding rumah sakit di belakang gua, matanya menatap ke layar ponsel.
“Mau nelpon siapa? jangan telpon Bapak sama Mamak lho” Ucap gua pelan seraya melirik ke arahnya.
“Nggak, Ngasih tau Reni kalo kita disini, takut dia nyariin. Pintunya kan lo kunci..” Jawabnya.
“Reni bawa kunci kok…” Balas gua.
“Oh.. Yaudah”
Pintu besar terbuka, seorang perawat dengan papan jalan keluar dan terlihat kesulitan begitu memanggil nama gua. Jeje memasukkan ponsel kedalam saku celana, dan mulai mendorong gua masuk ke dalam ruangan.
Perawat tadi mengambil alih kursi roda dari tangan Jeje. Dan memintanya menunggu gua di luar. Penuh keengganan Jeje melepas tangannya dari genggaman dorongan kursi roda, seakan berat melepas gua hanya ingin menjalani tes lab.
Gua mulai menjalani serangkaian tes. Dari mulai pengecekan sistoskopi atau ureteroskopi, yang jujur gua sendiri nggak mengerti apa artinya, hingga biopsi untuk mengetahui kondisi ginjal.
Selesai menjalani serangkaian tes, dokter sama sekali nggak memberikan gua resep. Ia hanya memberi informasi kalau kondisi ginjal gua saat ini nggak begitu baik. Mungkin fungsinya hanya sekitar 70%. Fungsi 70% nggak terdengar begitu buruk saat pasien memiliki sepasang ginjal. Namun, karena ginjal gua yang hanya satu, angka 70% mungkin sama artinya dengan 35%.
Kemudian si Dokter menyarankan gua untuk beristirahat, jangan terlalu banyak berkegiatan dan gua diwajibkan untuk kembali menjalani tes di minggu berikutnya. Opininya tadi, tentang fungsi ginjal gua yang tinggal 70% merupakan diagnosa awal berdasarkan hasil tes. Diagnosa akurat bakal ia berikan setelah gua menjalani serangkaian tes selanjutnya.
Jeje mengangguk pelan begitu mendengar penjelasan si dokter.
“Should she stay here?” Tanya Jeje.
“For now, there is no need for another treatment until we run another test next week” Jawab si dokter.
Begitu keluar dari ruang konsultasi dokter, terlihat Reni dan Claire sudah duduk menunggu kami di ruang tunggu. Keduanya langsung berdiri dan menghampiri kami.
“What happened?” Tanya Claire seraya meraih tangan gua.
“Naah, I'm just a little tired, for sure..” Gua menjawab sambil tersenyum.
“Oh, C’mon Din. Don't give me that shit..” Balas Claire yang sepertinya tau gua berbohong.
Di dalam mobil arah perjalanan pulang, Jeje mulai menjelaskan kondisi gua ke Claire dan Reni. Mereka hanya terdiam sambil sesekali menggenggam tangan gua, menunjukkan empati yang luar biasa.
“Je.. jangan cerita apa-apa ke Bapak sama Mamak ya” Ucap gua pelan. Saat itu gua sudah berbaring diatas ranjang, sementara Jeje mulai menarik selimut menutupi tubuh gua.
“Ya kalo pas mereka dateng nanti kondisi lo masih gini, gimana gua jelasinnya?” Tanyanya.
“Bilang aja gue meriang”
“Liat ntar deh..” Balasnya. Ia lalu naik ke ranjang, duduk di sebelah gua seraya membelai kepala gua.
Beberapa hari berikutnya, kondisi gua semakin membaik. Pinggang belakang gua sudah tak lagi terasa sakit. Gua bahkan merasa lebih bugar daripada sebelumnya.
Bosan, karena sudah beberapa hari ini selalu diatas ranjang. Gua menyibak selimut dan bersiap keluar dari kamar, ingin bergabung dengan Reni dan Jeje yang sepertinya tengah seru ngobrol.
Lalu, tanpa sengaja gua melihat lembaran kertas yang tergeletak di atas meja rias. Kertas dengan logo rumah sakit tempat gua dirawat sebelumnya. Gua meraih lembaran kertas tersebut yang menunjukkan estimasi biaya pengobatan dan tes yang harus gua jalani. Tentu saja nominalnya nggak bisa dibilang murah. Jika dikonversi ke mata uang rupiah, nilainya mungkin bisa untuk membeli satu unit mobil baru.
Gua menghela nafas panjang, meletakkan kembali lembaran kertas tersebut dan keluar dari kamar. Terlihat Reni dan Jeje tengah sibuk bermain ular tangga. Menyadari kehadiran gua, Jeje langsung berdiri dan bersiap untuk menuntun gua. Dengan cepat gua menepis tangannya, memberi kode kalau gua bisa berjalan sendiri.
“Mau ngapain?” Tanya Jeje.
“Bosen…” jawab gua singkat, lalu duduk di kursi meja makan.
“Oh, kirain laper…” respon Jeje, lalu kembali duduk.
Gua menatap ke arahnya, lalu bicara pelan; “Nggak usah balik lagi ke rumah sakit Je, nggak usah tes lagi, gue udah enakan”.
Namun, Jeje nggak 100% percaya atas pengakuan gua. “Ngawur! lo harus tetep balik, tetep tes…” Ucapnya.
“Tapi kan…”
Belum selesai gua bicara, Jeje sudah memotong ucapan gua dengan kalimatnya; “Nggak ada tapi-tapian Ce..”
“...”
“... Terus mulai sekarang, lo nggak boleh makan sembarangan...” Ucap Jeje.
“Timmies?” Tanya Gua.
“Nggak boleh” Jawab Jeje singkat.
“Yah, bang.. Reni juga nggak boleh?” Reni tiba-tiba nimbrung, mengajukan pertanyaan ke abangnya.
“Kalo lo gapapa…”
“Yes! berarti kalo ke Timmies jatah kak Dince buat Reni ya bang” Seru Reni yang tengah menari di atas darah orang lain.
“Iya..” Jawab Jeje pelan. Gua lantas pasang tampang cemberut dan berlagak merajuk.
“Yaudah kalo ke timmies, gua minum air putih aja”
“Udah-udah, sementara ini nggak usah ke Timmies dulu” Ucap Jeje.
“Delivery boleh?” Reni tetap berusaha menari diatas penderitaan.
“Centil amat, orang jalan juga nggak sampe 5 menit, mau delivery” Ucap gua ke Reni.
“Biarin sih kak..”
“Udah, udah, lagi sakit aja masih sempet-sempetnya berantem kayak kucing sama anjing” Ucap Jeje.
“Gue kucingnya kan Je?” Tanya gua.
“Enak aja, Aku kucingnya lah” Balas Reni nggak mau kalah.
“Yee, gue duluan yang kucing”
“Udah, Ren, Ce.. kayak Tom and Jerry lo berdua” Ucap Jeje, meralat ucapan sebelumnya.
“Yaudah gue Tom…” Gua langsung bicara sambil mengangkat tangan ke atas.
“Ih masa Aku nggak mau jadi Jerry...” Reni mengeluh dan mencoba mengadu ke abangnya.
Jeje nggak bicara, ia masuk ke dalam kamar lalu kembali dengan lakban di tangannya. Ia menarik panjang lakban dan mulai menutup mulut Reni dengan Lakban. Gua langsung tertawa begitu melihat sikap Jeje ke adiknya. Nggak lama berselang, Jeje mendekat ke arah gua dan melakukan hal yang sama, menutup mulut gua dengan lakban.
—
Foreigner - I Want To Know What Love Is
I gotta take a little time
A little time to think things over
I better read between the lines
In case I need it when I'm older
Now this mountain I must climb
Feels like a world upon my shoulders
Through the clouds I see love shine
It keeps me warm as life grows colder
In my life there's been heartache and pain
I don't know if I can face it again
Can't stop now, I've traveled so far
To change this lonely life
I wanna know what love is
I want you to show me
I wanna feel what love is
I know you can show me
I'm gonna take a little time
A little time to look around me
I've got nowhere left to hide
It looks like love has finally found me
In my life there's been heartache and pain
I don't know if I can face it again
I can't stop now, I've traveled so far
To change this lonely life
I wanna know what love is
I want you to show me
I wanna feel what love is
I know you can show me
I wanna know what love is
I want you to show me
And I wanna feel, I want to feel what love is
And I know, I know you can show me
Let's talk about love
I wanna know what love is, the love that you feel inside
I want you to show me, and I'm feeling so much love
I wanna feel what love is, no, you just cannot hide
I know you can show me, yeah
I wanna know what love is, let's talk about love
I want you to show me, I wanna feel it too
I wanna feel what love is, I want to feel it too
And I know and I know, I know you can show me
Show me love is real, yeah
I wanna know what love is...
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:40
jiyanq dan 60 lainnya memberi reputasi
61
Kutip
Balas
Tutup