- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
283K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#587
#50 - This Silly Game of Love You Play
Spoiler for #50 - This Silly Game of Love You Play:
“Ya, kalo emang dia kompeten, terima aja…”Ucap Lady sambil menundukkan kepala dan memainkan ujung jarinya.
“...”
“... Dari dulu, sampai sekarang, dia kan emang jauh lebih baik dari gue..”
“...”
“... Paling kalo lo terima dia, gue cabut…” Tambahnya, kini suaranya terdengar semakin lama semakin lirih.
Gua membuang puntung rokok ke area halaman yang kosong, menghembuskan asap yang tersisa ke udara dan berpaling menatapnya.
“Keep your chin up…” Ucap gua kepadanya. Namun, Lady bergeming. Ia tetap terdiam, masih menundukkan kepala dan memainkan ujung jarinya.
“...”
“... Lad, chin up…” Gua mengulangi ucapan sebelumnya.
Barulah Lady mengangkat dagunya, dan mulai membalas tatapan gua.
“Lo masih mikir gua bakal hire dia?” Tanya gua.
“Nggak tau, tadi lo bilang dia pinter dan berpengalaman kan”
“Iya..”
“Terus?”
“Ya buat apa gua hire dia kalo elo-nya cabut…”
“Ya tapi kan lo harus objektif, lo juga harus mementingkan urusan perusahaan ketimbang urusan pribadi. Kalo emang dia kompeten, hire aja. Gue gapapa kok…” Balasnya.
Gua tersenyum, meraih tangan kirinya dan mulai menggenggamnya.
“Sekarang, gua udah nggak peduli lagi perkara subjektif atau objektif. Gua cuma mau lo ada di perusahaan ini and do what you love.. Lo nggak usah pusingin adik lo itu, dia nggak bakal gua hire..”
Lady tersenyum.
“Kalo seandainya dia bukan adik gue, lo bakal hire dia nggak?” Tanyanya.
“Nggak”
“Kenapa?”
“Nggak tau, mungkin terlalu muda.. mungkin lho ya..”
“Hahaha, iya… Thank you lho by the way..”
“Thank you buat apa?…”
“Buat semuanya…”
Ia lalu melepas genggaman tangan gua dan berdiri, bersiap untuk pulang. Gua ikut berdiri dan berjalan mengikutinya dari belakang, hingga kami tiba tepat di sisi pintu mobil bagian pengemudi.
“Sebenernya ada yang mau gue tanyain ke elo…” Ucapnya, seraya membuka pintu mobil.
“Apa?”
“Tapi, besok aja deh…”
“Kenapa nggak sekarang?”
“Paling kalo gue tanya sekarang lo juga nggak bakal langsung jawab. Lo kan kebiasaan suka nunda-nunda jawaban…”
“Gua nggak pernah menunda jawaban Lad, kadang gua merasa jawaban dari sebuah pertanyaan tuh butuh waktu yang tepat untuk diungkapkan…”
Lady berbalik, menutup pintu mobil dan menyandarkan tubuhnya disana. Ia menatap gua sambil melipat kedua tangannya di dada. Lalu, mulai bicara; “Aldina pernah nggak ketemu sama Anggi, setelah kalian divorce?”
“Mungkin pernah…” Gua menjawab.
“Mungkin?” Tanya Lady seraya menyipitkan matanya dan mendekatkan wajahnya ke gua.
“Iya, mungkin aja pernah tanpa sepengetahuan gua…”
“Lo ngelarang Aldina buat ketemu Anggi?”
“Nggak. Nggak pernah…”
“Terus maksud lo mereka ketemu tanpa sepengetahuan lo? gimana?”
Gua nggak langsung menjawab; terdiam, menatap dan menggapain tangannya.
“Lo bukannya abis ngobrol sama dia tadi?” Gua balik bertanya.
“Iya..”
“Kenapa lo nggak tanya hal itu ke dia?”
“Gue tanya kok”
“Lah, terus kenapa lo nanya hal yang sama ke gua?”
“Gue cuma pengen tau aja versi jawaban lo kayak gimana…”
“Ooh…”
“...”
“... Gua sebenernya tau kalo ibunya diem-diem sering ngeliat Anggi. Nggak lewat gua, tapi lewat Reni. Biasanya, mereka berdua bakal saling janjian. Nanti Reni bakal ngajak Anggi ke lokasi yang udah disepakati, dan Ibunya bakal datang..”
“Seandainya, Aldina yang datang ke elo terus minta ketemu sama Anggi, gimana?”
“Ya silahkan aja…”
“Seandainya, Aldina datang ke elo dan mau bawa Anggi dari elo, gimana?”
“Nggak! Nggak boleh! Jangan! I Will fight for that ‘till I die…”
“Terus, sampai kapan lo bakal terus menyembunyikan kenyataan dari Anggi kalau Ibunya masih ada?”
“Gua nggak pernah menyembunyikan apapun dari Anggi. Tapi, gua juga nggak mau cerita ke Anggi yang masih kecil, gimana ibunya pergi ninggalin dia…”
“Kenapa?”
“Karena, gua nggak mau Anggi membenci dia seumur hidupnya…”
Lady lalu terdiam, gua pun ikut terdiam.
“Je..”
“Ya..”
“... Lo masih sayang ya sama Aldina?” Tanyanya pelan.
“...”
“... Tunggu, lo nggak usah jawab. Gue nggak mau denger…”
“...”
“... Seandainya, Aldina dulu nggak pergi, kalian pasti hidup bahagia sekarang. Iya kan?” Tanyanya lagi.
Gua langsung meringis begitu mendengar pertanyaannya barusan. Bagaimana tidak, pengandaian itu mirip dengan penyesalan, yang selalu datang terlambat. Jikalau pun pengandaian datang di awal, maka bentuknya jadi khayalan; semu.
“Seandainya dia dulu nggak pergi, mungkin bisa aja gua yang pergi. Seandainya, dia dulu nggak pergi mungkin aja kita nggak bertemu. Seandainya, dia dulu nggak pergi, mungkin aja dunia kiamat…”
“Hahaha Iya ya…”
“Udah sana pulang, udah malem, besok kan harus kerja, dateng awal buat ngelanjutin meeting yang tadi…” Ucap gua.
“Ih iya lagi… gara-gara elo sih…” Balasnya, seraya menepuk bahu gua. Saat tangannya menyentuh bahu, dengan cepat gua meraihnya.
Lady terlihat cukup terkejut saat gua berhasil meraih tangannya. Ia menatap gua lalu tersenyum.
“Lo masih penasaran nggak?” Tanya gua.
“About what?” ia balik bertanya.
“Kenapa hari ini gua ‘terlihat’ berbeda”
“Iya iya, kenapa sih?” Tanyanya, kini ekspresi wajahnya langsung berubah; penasaran.
“Nggak tau kenapa, tiba-tiba, pas pertama ketemu lo di lift tadi, gua kayak ngerasa ada yang lain aja..”
“Ada yang lain? maksud lo?”
Gua lantas meraih tangannya dan menempelkannya di dada gua; “Disini, berdebar-debar”
“Iya, itu lumrah sih Je, cowok-cowok emang kalo ngeliat cewek secantik gue emang gitu.. Langsung jatuh cinta” Lady bicara, lalu tiba-tiba berhenti dan menutup mulutnya dengan tangan. Sepertinya, ia kaget dengan ucapannya sendiri.
“...”
“... No way”
“Kenapa?” Tanya gua.
Lady lalu tertawa.
“Udah sih Je, tinggal ngomong aja lo jatuh cinta sama gue, pake ribet segala…”
“Emang gua belum pernah ngomong ke elo?”
“Idih… nggak pernah…”
“Masih perlu?”
“Masih..” Jawabnya ketus.
“...”
“... Pokoknya gue bakal anggap lo masih sayang sama Aldina sampai lo bilang kalo lo bener-bener sayang sama gue!” Ia menambahkan.
Lalu masuk kedalam mobil dan pergi.
—
Besoknya, begitu tiba di kantor, Desi langsung menghampiri dan duduk di sebelah gua. “Kenapa?” tanya gua, saat melihat ekspresinya yang penasaran.
Ia lalu mulai bicara perkara Ratimaya, calon kandidat CMO yang kemarin sempat menjadi bahan perdebatan kami berdua. Desi, kembali mengungkapkan alasan kenapa kami harus merekrutnya; agar ia nggak direkrut kompetitor. Gua tetap bergeming.
“Lo pernah denger ini nggak Des; Kalo lo masih muda jangan langsung maju ke atas panggung, berada di tengah spotlight. Karena lo bakal silau, mata lo bakal terbakar, lo terpeleset lalu jatuh…”
“Pernah… Lo dulu pernah bilang ke gue, waktu lo nolak jabatan bagus pas di Kanada…” Ucap Desi.
“Well.. That’s it..” Balas gua.
Tentu saja gua nggak mengungkapkan alasan sebenarnya kenapa gua ‘menolak’ Ratimaya ke Desi.
Cukup puas dengan jawaban ‘bohong’ dari gua, Desi lalu berdiri dan pergi.
Perhatian gua lalu teralihkan oleh sosok Lady yang baru saja keluar dari ruang meeting besar bersama dengan rekan-rekannya yang lain. Gua terus menatap hingga ia tiba di meja kerjanya. Tanpa sengaja tatapan kami pun bertemu. Ia berpaling, mencoba menghindari kontak mata dengan gua.
Ponsel gua lalu bergetar, sebuah pesan masuk, dari Lady; ‘Ngapain ngeliatin?’ tanyanya melalui chat.
Gua lalu membalas pesan darinya; ‘Terserah, mata, mata gua..’
Nggak lama, terlihat Lady berjalan menjauh dari meja kerjanya. Ia menggeser kaca besar, keluar menuju ke balkon dan kembali masuk beberapa saat kemudian. Kemudian, pesan balasan darinya masuk.
Pesan yang berisi sebuah foto dirinya tengah berpose sambil tersenyum. Terlihat dari cardigan coklat yang ia kenakan, sepertinya ia baru saja mengambil foto tersebut di balkon. Bersama dengan foto tersebut, terlampir sebuah caption; ‘Save for later, just in case you miss me’
Gua tersenyum, lalu menyimpan foto dirinya tersebut di galeri ponsel.
Sisa pagi itu, gua nggak bisa fokus bekerja, hanya bersandar sambil memandangi layar ponsel yang menampilkan foto dirinya yang tadi sempat ia kirim. Gua nggak kuasa menahan emosi, yang bikin senyum-senyum sendiri. Merasa ‘gobl*k’ dan bodoh, di usia yang sekarang ini, gua kembali merasa jatuh cinta lagi.
Mungkin, gua sudah jatuh cinta dengannya sejak lama. Tapi, sepertinya banyak ‘halangan’ yang membuat perasaan ini nggak menggelora. Dan, baru belakangan ini gua merasa ada sesuatu yang hangat menjalari hati, membuat gua menyadari kalau gua sudah berkali-kali jatuh cinta kepadanya.
Tiba-tiba, Lady berjalan mendekat. Sambil berlalu, ia meletakkan lembaran post-it tepat diatas meja kerja gua. Post-it yang berisi tulisan tangannya; ‘Mau makan siang bareng nggak?’
Baru saja gua hendak menulis balasan untuknya melalui lembaran post-it yang sama, ponsel gua berdering. Layarnya menampilkan deretan nomor asing yang nggak dikenal. Gua menjawab panggilan, lalu suara Miss Rina menyambut gua. Suaranya terdengar tenang, namun penuh tekanan.
“Mas, Julian…”
“Ya…”
“Aku Rina, dari sekolah…”
“Iya Miss?”
“Mas Julian, ini si Anggi tiba-tiba badannya panas, kayaknya demam…”
“Hah, ok miss.. Saya jemput sekarang deh..”
Gua lantas mengabaikan post-it dari Lady dan bersiap untuk pergi. Saat hendak keluar, salah seorang senior developer; Aris, menghampiri gua; “Kak, jadi ikut meeting nggak?” Tanyanya.
“Ah, iya ya… duh, anak gua lagi sakit nih, Ris. Bisa running tanpa gua nggak?” Gua balik bertanya, seraya memasukkan laptop ke dalam laci.
“...”
“... Atau, boleh minta tolong di hold besok?” Gua menambahkan
“Mmm.. tapi, ini sebenernya udah masuk jadwal sprint yang sekarang. Dan butuh approval…”
“Boleh kasih gua satu atau dua jam.. soon gua bakal join deh..” Gua memberi jawaban kemudian pergi.
Baru saja gua keluar dari ruangan, terlihat Lady tengah berdiri, bersandar tepat di sebelah pintu akses keluar masuk ruang kantor.
“Sini gue aja yang jemput Anggi… lo kan ada meeting” Ucapnya pelan.
“Tau dari mana gua ada meeting?” Tanya gua.
“Ya semua orang di kantor ini kan bisa akses kalender lo. Terus, gue juga tadi denger lo diajak meeting sama Mas Aris kan?”
“Iya.. tapi, si Anggi demam. Tadi gurunya baru nelpon gua…”
“Hah, serius lo?”
“Iya…”
“Yaudah, biar gue aja yang jemput Anggi, nanti langsung gue bawa ke dokter..” Ucapnya, wajahnya kini berubah panik.
“...”
“... Mana kartu jemputnya?” Tambahnya seraya menengadahkan tangan.
“...”
“... Cepetan!”
Gua terkejut saat mendengar seruannya yang melengking.
“Nggak usah, gua aja…” Ucap gua, menolak tawarannya.
“Ih.. Kan gue udah bilang, kita bisa berbagi beban… Nggak semuanya mesti lo tanggung sendiri lho…” Jawabnya, sementara tangannya masih menodong kartu akses dari gua.
Gua menghela nafas, meraih kartu akses jemput dan menyerahkannya ke Lady. Dengan cepat, ia menyambar kartu tersebut, masuk ke dalam ruang kerja dan nggak lama kembali keluar dengan membawa tas. Ia berhenti tepat di hadapan gua, menyerahkan kunci mobilnya.
“Nih, nanti kalo udah selesai meeting, jemput”
“Lah, terus lo naik apa?” Tanya gua.
“Naik ojek aja biar lebih cepet…” Jawabnya, kemudian mulai berlari menuju ke lobby lift.
Sementara gua langsung menghubungi Miss Rina, memberi kabar kalau Lady yang bakal menjemput Anggi dan membawanya ke dokter. Kemudian kembali ke dalam, dan bergegas menuju ke ruang meeting, bergabung dengan rekan-rekan developer yang tengah mengembangkan aplikasi perusahaan.
Waktu terasa berjalan lambat. Ditengah meeting, gua berkali-kali menatap ke layar ponsel, menanti kabar dari Lady.
Hampir setengah jalan meeting berlangsung, ponsel gua berdering. Nama Lady muncul di layarnya. Gua berdiri, memberi kode dengan tangan agar Aris; yang tengah membahas kendala-kendala dalam proses pengembangan aplikasi, menghentikan bicaranya.
“Wait, Ris..” Ucap gua, kemudian keluar dari ruang meeting untuk menjawab panggilan.
“Gimana Lad…” Sapa gua ke Lady melalui sambungan ponsel.
“Tadi gue ke dokter, tapi antri, pasiennya banyak. Jadi, ini Anggi gue bawa ke rumah sakit. Sekarang udah di UGD, lagi di cek darah…”
“Cek darah?”
“Iya, kata dokter takutnya tipes…”
“Duh…”
“Tenang aja Je, gapapa.. selesain aja meeting lo, kan ada gue disini…”
“Iya… Oiya Lad, kartu asuransi Anggi ada di tasnya ya…”
“Ok…”
“Terus lo jangan lupa makan”
“Iya, lo juga… terus nanti kalo mau nyusul, jangan ngebut ya..”
“Ok.. Thank you ya”
“Sama-sama…”
Ada perasaan sedih, begitu mendengar kalau Anggi mungkin saja menderita Tipes. Karena sebelum-sebelumnya, Anggi nggak pernah sekalipun sakit, hingga harus dibawa ke dokter. Paling parah, Anggi hanya menderita demam, ataupun flu yang bakal langsung sembuh hanya dengan istirahat beberapa hari.
Sementara, ada rasa lega di dalam hati saat ada Lady di sisi Anggi; menggantikan gua. Walaupun masih ada rasa was-was yang menyelimuti hati, karena belum pernah ‘menyerahkan’ Anggi dalam kondisi sakit ke orang lain.
Gua kembali masuk ke ruang meeting dan meminta Aris melanjutkan penjelasannya.
Selesai dengan meeting, gua buru-buru keluar dari ruang meeting dan bergegas menyusul Lady dan Anggi di rumah sakit. Dalam perjalanan ke rumah sakit, Lady kembali menghubungi gua melalui sambungan ponsel.
“Je.. Hasil tes darah udah keluar, Anggi tipes, harus dirawat. Lo nggak usah buru-buru, ini Anggi udah di kamar perawatan..” Lady menjelaskan.
“Yaaah… Yaudah ini gua udah di jalan..”
Gua mengakhiri panggilan, dan menambah kecepatan laju mobil. Hampir satu jam berikutnya, gua akhirnya tiba di rumah sakit. Berbekal pesan dari Lady yang menyebutkan lantai dan nomor kamar dimana Anggi berada, gua berjalan cepat, menyusuri lorong rumah sakit, mengabaikan antrian lift dan memilih menggunakan tangga, agar bisa tiba lebih cepat.
Ujung jari gua meniti dinding lorong rumah sakit, terus berjalan cepat sambil memeriksa satu persatu nomor yang tertera pada sisi pintu. Langkah gua lalu terhenti tepat di depan sebuah pintu kamar bernomor 506; nomor kamar yang sebelumnya diinformasikan oleh Lady melalui pesan.
Perlahan, gua membuka pintu kamar.
Terlihat Lady tengah duduk di sofa panjang di ujung ruangan. Ia langsung berdiri, begitu menyadari kehadiran gua.
Sementara, seorang perempuan duduk di kursi kecil tepat di sebelah ranjang pasien. Kedua tangannya memijat pelan kaki mungil Anggi yang terlelap. Tanpa, melihat wajahnya, hanya dari sosoknya, gua bisa dengan mudah menebak siapa sosok perempuan tersebut.
Aldina lalu berpaling, menoleh ke arah gua. Pelan dan berhati-hati, ia menghentikan pijatannya ke Anggi lalu berdiri. Seisi ruangan lalu terasa hening, kami saling terdiam dan menatap.
Suara Lady lalu terdengar, memecah keheningan; “Je, bawa baju ganti buat Anggi nggak?” Tanyanya.
Tanpa berpaling, masih menatap ke arah Aldina, gua menggeleng.
“... Kan tadi gue udah chat lo, minta sekalian bawain baju ganti buat Anggi..”
Gua bergeming, terdiam, nggak menjawab dan merespon ucapannya. Lady lalu berdecak; “Ck…” kemudian merebut kunci mobil dari tangan gua dan bergegas keluar dari ruang perawatan.
—
Roxette - Spending My Time
What's the time?
Seems it's already morning
I see the sky
It's so beautiful and blue
The TV's on
But the only thing showing is a picture of you
Oh, I get up
And make myself some coffee
I try to read a bit
But the story's too thin
I thank the Lord above
That you're not there to see me in the shape I'm in
Spending my time
Watching the days go by
Feeling so small
I stare at the wall
Hoping that you think of me too
I'm spending my time
I try to call
But I don't know what to tell you
I leave a kiss
On your answering machine
Oh, help me please
Is there someone who can make me wake up from this dream?
Spending my time
Watching the days go by
Feeling so small
I stare at the wall
Hoping that you are missing me too
I'm spending my time
Watching the sun go down
I fall asleep to the sound
Of "tears of a clown"
A prayer gone blind
I'm spending my time
My friends keep telling me,
"Hey, life will go on!"
Time will make sure I get over you
"This silly game of love you play: you win only to lose."
I'm spending my time
Watching the days go by
Feeling so small
I stare at the wall
Hoping that you think of me too
I'm spending my time
Watching the sun go down
I fall asleep to the sound
Of "tears of a clown"
A prayer gone blind
I'm spending my time
Spending my time
I can't live without your love
Spending my time
I'm spending my time, my time, my time
Best to be without you honey, honey
Spending my time
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:39
jiyanq dan 66 lainnya memberi reputasi
67
Kutip
Balas
Tutup