- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
283K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#616
#51 - Betting
Spoiler for #51 - Betting:
Ia nggak banyak berubah dari sejak terakhir kami saling bicara, hanya rambutnya yang kini sebagian ia warnai dengan warna merah. Sementara wajahnya, gaya berpakaiannya, caranya berjalan dan bagaimana ia menatap gua masih terlihat sama.
Kacamata hitam yang sebelumnya digunakan sebagai pengganti bandana untuk menghalau rambutnya, ia lepaskan. Membuat rambutnya yang indah tergerai.
Aldina perlahan menghampiri gua, kini jarak antara kami semakin dekat. Matanya menatap ke arah gua, bibirnya terlihat bergetar seakan tengah menahan tangisan.
Lalu tanpa sepatah katapun, ia menjatuhkan kepalanya tepat di dada gua. Dengan dahinya menempel di dada, tangannya yang masih menggenggam kacamata hitam mulai memukul tubuh gua pelan, sangat pelan.
Gua hanya terdiam. Nggak mencoba menahan pukulannya, nggak juga membuatnya menjauh. Wangi rambut yang beraroma shampo favoritnya juga masih tercium sama.
“She had your lips, But her nose, her eyes, are mine…”Tambahnya. Sementara posisinya masih sama; dengan kepala yang ia sandarkan di dada gua.
“Her attitude is yours..” Gua bicara. Merujuk ke sikapnya yang mirip dengan Aldina, apalagi ketika tengah marah.
“Oya?”
“Iya, apalagi kalo lagi marah. Bataknya keluar…”
Aldina nggak langsung merespon dengan kata-kata. Terdengar samar suara tawanya, yang lalu ia lanjutkan dengan ucapan samar; “Iya, Nasution dia…”
“Lo sehat kan?” Tanya gua, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Perlahan ia merubah posisinya, mendongak dan mulai menatap gua. Ia mengangguk pelan. Lalu bicara; “Lo kurusan kalo dilihat sedekat ini”
“I’m on diet..” Jawab gua asal.
“Bullshit…”
Gua bergeser dan mendekat ke arah ranjang pasien dimana Anggi tengah terbaring, tertidur, lelap.
“Je…”
“...”
“... Kenapa harus Lady?” Tanyanya pelan.
“...” Pertanyaan macam apa itu? Kenapa harus Lady? gua sendiri nggak punya dan nggak tau jawabannya.
Aldina mendekat lalu kembali memukul gua dengan tangannya yang masih menggenggam kacamata hitam. Kini pukulannya bertambah kuat. Saking kuatnya, kacamata hitam yang digenggamnya patah. Gua meraih tangannya agar berhenti memukul, lalu memungut tangkai patahan kacamata hitam.
Tangkai kacamata hitam dengan plester bekas sambungan. Sepertinya tangkai kacamata hitam tersebut pernah patah sebelumnya. Gua menyadari kalau kacamata hitam tersebut merupakan kacamata hitam pemberian gua dulu.
Aldina meraih patahan kacamata hitam tersebut. Dan bicara; “Ini nggak adil Je.. Nggak adil buat gue”
Memang, memang nggak ada yang adil di dunia ini. Nggak adil buat gua karena Aldina pergi, nggak adil buat Anggi yang hingga kini nggak punya sosok ibu, nggak adil buat Lady yang harus berhadapan dengan penolakan orang tuanya, nggak adil buat Rohman yang dulu harus putus sekolah, nggak adil buat Reni yang harus hidup tanpa orang tua, dan nggak adil buat dirinya sendiri yang harus berpisah dengan anak kandungnya.
Gua tersenyum lalu meletakkan telapak tangan tepat di atas kepalanya. “Emang nggak ada yang adil di dunia ini Ce” Ucap gua pelan, kemudian berpaling ke Anggi. Gua duduk di kursi di sebelah ranjang, menatap Anggi dan mulai membelai kepalanya.
“Kalau Anggi bangun nanti, lo bakal memperkenalkan gue sebagai siapa?” Tanyanya.
“Lho, emang lho belum pernah berkenalan?" gua balik bertanya.
“Belum…”
“Bukannya kalian udah sering ketemu?” Tanya gua lagi.
“Iya… Lewat Reni. Tapi itupun gue cuma ngeliat Anggi dari jauh, nggak pernah sedekat ini”
“Kenapa?”
“Nggak punya keberanian” Jawabnya.
“Sekarang? udah punya keberanian?”
“Belum. Nanti kalau Anggi bangun, gue pergi…”
“Kapan keberanian itu datang?”
“Nggak tau…” Jawabnya sambil mengangkat kedua bahunya. Ia lalu menarik lengan, membuat gua berdiri. Sementara, ia langsung duduk di kursi yang sebelumnya gua duduki. Tangannya mulai menggenggam tangan mungil Anggi yang terkulai lemas.
Sesekali ia membelai kepala, menyentuh pelan tiap bagian wajah Anggi dengan ujung jarinya yang lentik. “Maafin Mami ya, nggi…” Gumamnya pelan.
“Kalau Mami bisa memutar kembali waktu, Mami nggak bakal mengulang kesalahan yang sama. Mami bakal terus ada disisi Anggi. Nemenin Anggi, ngeliat Anggi belajar ngomong, ngajarin Anggi merangkak lalu berjalan, marahin Anggi kalau Anggi pilih-pilih makanan, khawatir kalau Anggi demam, nganter Anggi ke sekolah dan milihin baju yang cantik buat Anggi datang ke acara ulang tahun…”
Gua duduk di sofa di ujung ruangan. Sementara Aldina masih terus menggumam, bicara ke Anggi yang terlelap. Sesekali, suaranya tercekat dan terisak.
Setelahnya, tak ada percakapan dan pembicaraan apapun diantara kami berdua. Gua meraih ponsel dari saku celana dan mendapati pesan dari Lady. Sebuah pesan yang dikirimnya sejak tadi, pesan yang meminta gua untuk mampir ke rumah untuk mengambil baju ganti Anggi.
Gua berdiri dan berjalan menuju ke pintu ruang perawatan.
“Lo udah makan?” Tanya gua ke Aldina. Ia nggak menjawab, masih menundukkan kepal di tepian ranjang pasien sambil terisak. Gua berbalik dan mendekat ke arahnya, kemudian mengulang pertanyaan yang sama; “Lo udah makan?”
Ia lalu merespon dengan gelengan kepala.
Gua lalu keluar dari kamar, bergegas menuju ke bawah, ke lobby rumah sakit untuk membeli makan.
Nggak lama berselang, gua kembali ke kamar perawatan dengan sekotak makanan cepat saji yang baru saja gua beli di bawah.
Gua meletakkan kotak tersebut diatas meja tepat di depan sofa di ujung ruangan. “Makan dulu…” Ucap gua singkat, lalu menjatuhkan diri di atas sofa.
Aldina menoleh, lalu menyusul gua duduk di sofa. Gua menatapnya, memperhatikan setiap gerak-geriknya yang membangkitan kenangan. Saat ia tengah menyelipkan helaian rambut di balik telinga, saat ia berdehem pelan, saat ia tersenyum kecil begitu melihat ayam goreng di dalam kotak, semuanya, semua yang ada pada dirinya membuat gua begitu merindu.
Siapa yang sangka, dulu kami adalah sepasang kekasih. Siapa yang sangka, perempuan cantik di sebelah gua ini adalah mantan istri gua.
Aldina berpaling dan mendapati gua tengah memandangi dirinya.
“Kenapa?” Tanyanya.
“Gapapa”
Ia lalu mulai makan, jari tangannya yang lentik mencuil potongan daging ayam, dan menyantapnya.
“Lo nggak makan?” Tanyanya lagi.
“Nggak, nanti aja…”
“Kenapa nanti? sekarang aja..” Ucapnya.
“Masih kenyang”
“Bohong. Mau gue suapin?”
“Nggak…”
Ia lalu melanjutkan makan. Kami kembali tenggelam dalam diam.
Setelah cukup lama terdiam, Aldina berhenti makan. Ia berdiri, berjalan pelan menuju ke arah wastafel untuk mencuci tangan. Selesai mencuci tangan, ia nggak langsung kembali duduk di sofa, melainkan menghampiri Anggi, membelai wajahnya dan mengecupnya berkali-kali. Puas dengan Anggi, ia berpaling ke gua dan bicara; “Je… Kalau sekarang gue ngasih penjelasan ke elo. Elo masih mau denger nggak?” Tanyanya.
“Penjelasan apa?” Gua balik bertanya.
“Penjelasan tentang apa yang lo liat empat tahun yang lalu di apartemen gue” Jawabnya.
“Buat apa?” Tanya gua lagi.
“Biar lo tau kebenarannya…”
“Try me…”
“Gue nggak ada apa-apa sama Izar, dulu, dia cuma mencoba menghibur dengan memberi pelukan. Gue pun nggak nyaman dengan perlakuannya, tapi lo terlanjur ngeliat…”
“Then, kenapa lo tetep sama dia setelahnya?” Tanya gua pelan.
“Ya gue kan kerja sama dia. Tapi, jujur… dari dulu, sampe sekarang, gue nggak pernah ada apa-apa sama Izar…”
“Oh… Tapi kan problem utamanya bukan itu. Lo pikir masalah kita gara-gara Izar? bukan lho…”
“Iya gue tau… Karena gue ninggalin kalian…” Jawabnya lirih dan sambil menundukkan kepala.
Aldina lalu mendekat, duduk di sebelah gua. Perlahan, ia melingkarkan tangannya di pundak dan memberi pelukan. Sementara, gua nggak punya kuasa menolak, hanya terdiam sambil merasakan hangat pelukannya.
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Lady muncul dengan sebuah tas kecil di tangannya. Sontak, Aldina langsung melepas pelukannya.
Lady langsung menatap gua tajam, ia maju beberapa langkah dan melempar tas kecil milik Anggi yang sebelumnya ia bawa ke arah gua. Dengan cepat, gua menghindar; “Brak!” Tas berisi pakaian ganti milik Anggi menghantam dinding kamar. Dengan kedua mata berlinang, ia berlari keluar dari ruangan.
Gua menghela nafas panjang, mengabaikan Aldina yang masih duduk di sebelah gua dan bergegas menyusulnya.
Nggak butuh usaha ekstra untuk menyusul Lady. Langkah mungilnya jelas bukan tandingan gua. Hanya butuh beberapa detik saja, gua sudah berhasil menggapai tangannya. Ia berusaha melepaskan diri, namun gagal.
“Lepas!” Serunya.
Gua bergeming dan langsung memeluknya.
“Lepas!” Serunya lagi, seraya berusaha melepas pelukan gua. Sementara, beberapa perawat terlihat tengah memandangi kami berdua sambil tersenyum. Mungkin dikiranya, kami tengah bercanda mesra.
Agar nggak terus jadi perhatian khalayak ramai, sambil terus merangkulnya, gua membawanya ke ujung koridor. Tempat yang gua rasa paling sepi.
“Kenapa sih?” Tanya gua pelan.
Ia lalu menoleh dan memberi tatapan tajam.
“Kenapa?” Ia balik bertanya.
“...”
“... Eh, elo barusan kedapatan pelukan di depan mata gue. Dan lo masih nanya kenapa?”
“Bukan pelukan. Gue dipeluk…”
“Terus kenapa lo diem aja?”
“Ya…Mmm.. ya… Mmm…” Gua gelagapan.
Ternyata begini rasanya berada di posisi Aldina dulu. Saat gua mendapati dirinya tengah berada dalam pelukan pria lain. Ternyata begini rasanya tersudut.
Gua meraih tangannya dan mencoba meyakinkannya. Namun, Lady bergeming. Ia menepis tangan gua, sementara matanya menatap lurus ke arah jendela rumah sakit.
“Gue sengaja telepon Aldina, karena dia juga berhak tau kalo anaknya sakit. Dan gue mempertaruhkan perasaan dengan meninggalkan kalian berdua. Sengaja, gue pengen tau, sekuat apa rasa cinta lo ke gue…”
“...”
“... dan ternyata, gua kalah bertaruh. Pertaruhan yang harus gue bayar mahal..”
“Jangan gitu Lad…”
Lady menelan ludah, lalu kembali bersiap untuk bicara. Terlihat kalau, ia sudah mempersiapkan ucapannya.
“Baru gue tinggal berdua sama dia beberapa jam aja, lo udah ‘berpaling’. Gimana gue bisa percaya sama elo kedepannya?”
“...”
“... Kayaknya gue nggak bisa kalo begini. Lo emang masih sayang sama dia. Dan gue sekarang rasanya kayak orang asing yang tiba-tiba datang lalu mengganggu rumah tangga kalian. Gue sekarang merasa kalau gue penjahatnya…”
“Nggak gitu Lad…”
“Gue mau menguatkan hati. Gue mau bertahan beberapa hari kedepan buat Anggi. So, selama Anggi dirawat, gue bakal nemenin dia. Dan lo nggak usah ajak ngomong gue. Anggep aja gue nggak ada…” Begitu selesai bicara, Lady berbalik dan berjalan kembali menuju ke ruang perawatan. Sementara, gua hanya mengikutinya dari belakang.
Di dalam ruangan, terlihat Aldina sudah bersiap untuk pulang. Sebelum pergi, ia kembali mengecup kening Anggi dan membelai wajahnya.
“Gue pamit ya, Lad…” Ucap Aldina ke Lady.
Dan Lady sama sekali nggak menggubris ucapan Aldina barusan. Menoleh pun tidak. Ia hanya berjalan, menuju ke sudut ruangan, meraih tas yang tadi ia lemparkan dan mulai mengeluarkan isinya, menatanya satu persatu ke dalam lemari kecil di sisi ranjang.
Saat gua ajak bicara pun, Lady sama sekali nggak menjawab. Ia hanya terdiam.
“Lo balik aja, istirahat…” Ucap gue ke Lady yang masih manyun sambil duduk di kursi kecil di tepi ranjang.
Ia nggak menjawab.
Beberapa saat berikutnya, Anggi terbangun. Saat Anggi terjaga, perilaku Lady langsung berbalik 180 derajat. Ia pasang senyum, ekspresinya riang dan bertingkah seperti biasa, layaknya tak terjadi apa-apa.
“Tante cantik, aku laper…” Gumam Anggi pelan, ke Lady.
Ia lalu melirik ke arah gua, pasang senyum dan bicara; “Papah, Anggi laper nih. Coba tanyain susternya, dia boleh makan apa?” Akhirnya, ia bicara ke gua.
Gua berdiri, keluar dari kamar dan bergegas menuju ke nurse station. Kemudian kembali ke kamar setelah mendapat jawaban dari salah seorang suster yang bakal membawakan makanan untuk Anggi.
“Tunggu ya Nggi, nanti makanannya dianterin…” Ucap gua ke Anggi yang lalu di respon oleh Anggi dengan anggukan kepala.
Menyadari akan ada yang ‘aneh’ dengan kami berdua, Anggi lalu mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang cukup membuat gua terkejut. “Papah sama Tante Cantik lagi berantem ya?”
Mendengarnya, gua dan Lady lalu saling menatap.
Gua menjawab “Nggak” sementara Lady memberi jawaban yang berbeda; “Iya”.
Jawaban kami bahkan nyaris bersamaan, membuat Anggi bingung. Ia menatap kami berdua bergantian.
“Nggak sayang, Papah nggak berantem sama tante cantik kok..” Ucap gua pelan, lalu berpaling ke Lady, memberinya kode dengan kerlingan mata.
“Iya sayang, kita nggak berantem kok…” Lady menambahkan.
“Bohong..” Respon Anggi.
“Beneran…” Jawab gua.
“Coba, Papah pegang tangan Tante cantik..” Anggi memberi titah.
Gua menatap Lady, sebelum memberanikan diri menggenggam tangannya. Posisi kami saat ini berseberangan; gua berada di sisi kiri ranjang, sementara Lady berada di sisi kanan, mengapit Anggi.
Lady melengos begitu gua menggenggam tangannya, Ia hanya terdiam.
“Coba, Papah Kiss tante cantik…” Titah Anggi lagi.
“Hah, nggak ah…” Lady langsung merespon cepat.
Gua berdiri, mendekat, memutari ranjang, meraih kepala Lady dan mengecup dahinya.
“Dah tuh..” Ucap gua ke Anggi.
Anggi lalu tersenyum dan bertepuk tangan.
“Nah, Papah sekarang duduk disitu aja, sama tante cantik…” Ucap Anggi seraya menunjuk ke kursi kecil dimana Lady duduk.
“Ya nggak muat dong sayang…” Jawab Lady.
“Yaudah, tante cantik duduk disini aja…” Ucap Anggi seraya menepuk sisi ranjangnya.
Lady lalu berdiri, naik ke ranjang dan berbaring bersama Anggi. Sementara gua kini duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Lady. Dengan cepat, Anggi meraih tangan Lady, tangan gua dan mulai menyatukannya.
Posisi gua dan Lady kini begitu dekat, sekeras apapun Lady mencoba menghindar, ujung-ujungnya Anggi berhasil menyatukan kami.
—
Nggak lama kemudian, seorang suster datang dengan sebuah troli dengan nampan berisi makanan. Gua meraih nampan darinya dan mulai menyuapi Anggi, sementara Lady kini beringsut ke arah Sofa, berbaring seraya menatap layar ponselnya.
Setelah selesai makan dan minum obat, Anggi meminta gua untuk menggaruk punggungnya hingga ia kembali terlelap. Gua membelai wajahnya, dan memberi kecupan selamat malam, kemudian menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Sementara, di ujung ruangan, Lady terlihat juga sudah terlelap dengan ponsel berada di wajahnya. Sepertinya ia ketiduran saat tengah menatap layar ponsel.
Gua mendekat, meraih ponsel dari wajahnya dan meletakkannya di atas meja. Kemudian duduk di lantai, berpangku tangan seraya menatap wajahnya.
Cukup lama, gua berdiam diri sambil memandangnya. Sesekali, ia bergidik kedinginan. Sementara tak ada lagi stok selimut yang tersisa. Dengan hati-hati, gua menggeser tubuhnya dan naik ke atas sofa, berbaring di sebelahnya seraya memberinya pelukan.
Lady lalu terjaga.
Ia menoleh dan wajah kami berdua saling bertatapan. Seperti sebelumnya, ia berusaha untuk melepas pelukan gua dan bangun, namun usahanya gagal.
“Sstt.. Jangan ribut, ntar Anggi bangun…” Gua berbisik tepat di sebelah telinganya.
Lady terdiam, nggak merespon.
Akhirnya, ia menyerah dan kembali berusaha memejamkan matanya dalam pelukan gua. Nggak lama, tanpa berpaling, ia bicara pelan; “Enak banget lo, dalam sehari udah meluk dua cewek…”
“Kapan? Baru ini gue meluk cewek. Tadi, gue dipeluk, bukan meluk”
“Ya terus kenapa diem aja?” Lady kembali mengulang pertanyaan yang sama dengan pertanyaan sebelumnya, saat kita bertengkar tadi.
“Lah terus gua harus gimana, berontak?”
“Iyalah.. Kalo perlu lo cakar mukanya” Jawabnya seru sendiri, sementara tangannya ia angkat ke atas, memperagakan gerakan macan.
Gua tersenyum. Sadar, kalau ia sudah kembali ke Lady yang gua kenal. Lady yang nggak manyun gara-gara cemburu.
“Now, are you done with your attitude?” Tanya gua.
“Wait, Me?” Ia balik bertanya.
“Iya.. kenapa lo sampe bilang 'kalo sekarang lo penjahatnya?'”
“Lho, emang iya kan?”
“Nggak, bukan.. nggak ada yang jahat..”
“Oh, berarti protagonis semua nih?…”
“Iya…”
"Aldina juga?"
“Iya…”
“Udah sana-sana, awas, gue jadi kesel lagi sama elo..” Seru Lady, seraya mendorong tubuh gua menjauh, membuat gua terjatuh dari sofa ke lantai. “Buk!!”
“Aww…” Gua meringis sambil memegangi punggung dan berusaha untuk bangkit.
Lady dengan cepat bangun dan meraih bahu gua. “Sakit Je?” Tanyanya.
Gua nggak menjawab, hanya mendengus seraya melirik ke arahnya. “Maaf ya…” Gumamnya pelan.
“Iya…” Jawab gua singkat. Lalu kembali mendorongnya ke arah sofa dan memberinya pelukan.
“Nanti, kalo Anggi udah sembuh, gua mau ngomong serius sama lo” Ucap gua.
“Kenapa nggak sekarang aja?”
“Nggak, nanti aja. Masih ada yang harus gua selesaikan”
Poison - Every Rose Has Its Thorn
We both lie silently still in the dead of the night
Although we both lie close together
We feel miles apart inside
Was it something I said or something I did?
Did my words not come out right?
Though I tried not to hurt you
Though I tried
But I guess that's why they say:
Every rose has its thorn
Just like every night has its dawn
Just like every cowboy sings a sad, sad song
Every rose has its thorn
Yeah it does
I listen to our favorite song playing on the radio
Hear the DJ say, "love's a game of easy come and easy go"
But I wonder, does he know?
Has he ever felt like this?
And I know that you'd be here right now
If I could have let you know somehow, I guess
Every rose has its thorn
Just like every night has its dawn
Just like every cowboy sings a sad, sad song
Every rose has its thorn
Though, it's been a while now
I can still feel so much pain
Like a knife that cuts you the wound heals
But the scar, that scar remains
I know I could have saved a love that night
If I'd known what to say
Instead of making love, we both made our separate ways
And now, I hear you found somebody new
And that I never meant that much to you
To hear that tears me up inside
And to see you cuts me like a knife, I guess
Every rose has its thorn
Just like every night has its dawn
Just like every cowboy sings a sad, sad song
Every rose has its thorn
jiyanq dan 63 lainnya memberi reputasi
64
Kutip
Balas
Tutup