- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
283K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#676
#54 - A Legacy
Spoiler for #54 - A Legacy:
Sekembalinya ke hotel, gua langsung menuju ke kamar dan mendapati pintu dalam keadaan terkunci. Gua kembali ke lobi hotel, berkeliling, mencari keberadaan Lady dan Anggi. Ke restoran, ke Lounge, dan ke area kolam renang.
“Papah…”Terdengar teriakan Anggi dari ujung kolam renang.
Terlihat Anggi tengah berendam dalam kolam yang dangkal, kolam berbuih yang memang dikhususkan bagi mereka yang ingin berendam dan bersantai. Sementara, Lady berdiri tepat di sebelahnya. Dengan celana panjangnya yang tergulung hingga selutut, dan sweater hitam milik gua yang masih setia dipakainya, ia terlihat menawan.
Lady mengibaskan rambutnya, lalu menatap gua.
Mirip dengan adegan romansa a la telenovela, seperti ada cahaya terpancar dari balik tubuhnya yang menyilaukan mata, membuat gua terpesona lalu larut dalam tatapannya.
Gua mendekat, menghampiri mereka.
“Emang nggak dingin?” Tanya gua ke Anggi.
“Dingin…brr..brr..” Jawab Anggi.
“...”
“... Tapi seru…” Tambahnya.
Gua lalu menggulung celana dan duduk di tepian kolam, memandangi mereka berdua yang sibuk bermain air. Sesekali, Lady memercikkan air ke arah gua yang disusul Anggi mengikutinya, melakukan hal yang sama.
“Nggi, kita ceburin papah yuk…” Lady mengajak Anggi bersekongkol.
Mendengar ada niatan jahat dari mereka berdua, gua buru-buru berdiri dan menjauh dari tepian kolam lalu duduk di salah satu kursi santai.
Setelah cukup lama membiarkan mereka berdua bermain air, sementara langit sudah mulai memerah, tanda gelap akan segera datang, gua berdiri dan berseru; “Anggi udah nak, udah sore.. nanti kedinginan..”
“Udah yuk sayang..” Ajak Lady seraya menggapai tangan Anggi, berusaha mengajaknya keluar dari kolam.
“Yaah…”
Gua mengambil handuk dan buru-buru menyelimuti tubuh mungil Anggi agar ia nggak kedinginan. Kemudian memeluk dan menggendongnya. Sementara, Lady berjalan mengikuti kami dari belakang sambil sesekali memeras ujung sweater yang basah. Gua menghentikan langkah, menunggunya agar kami bisa berjalan bersamaan.
Begitu ia berada tepat di sebelah, gua langsung meraih tangan dan menggenggamnya. Menyadari hal tersebut, Lady menoleh, menatap gua kemudian tersenyum.
“Besok Anggi berenang lagi boleh ya pah?” Pinta Anggi yang kini berada di gendongan gua.
“Besok kan kita mau ke rumah Opung…” Jawab gua.
“Asik… Tapi, pulang dari rumah opung Anggi boleh berenang lagi?”
“Boleh…”
Lady lalu menghentak tangan, membuat gua berpaling ke arahnya.
“Gue sendirian dong berarti kalo kalian mau pergi?” Tanya Lady.
“Ya elo ikut..” Jawab gua.
“Nggak ah.. ngapain?”
“Lah, kalo elo nggak ikut buat apa kita kesini”
“Hah!?”
“...”
“... Terus gue harus ngapain kalo ketemu sama opungnya Anggi?” Tanya Lady.
“Mmm… kal nggak tau harus ngapain ya diem aja..” Jawab gua santai.
—
Gua duduk di kursi kayu berbentuk melengkung di area balkon kamar dengan Anggi berada di pangkuan. Sementara Lady terlihat berbaring di ranjang, masih sibuk dengan laptopnya mengurus pekerjaan yang sempat tertunda.
Sambil menggoyang-goyangkan kaki, gua bersenandung pelan dan membelai kepala Anggi agar ia cepat terlelap. Setelah menempuh perjalanan cukup panjang dan berenang, ia sepertinya kelelahan. Hanya butuh waktu sebentar buatnya hingga akhirnya terlelap di pangkuan.
Lady menyusul keluar, ke arah balkon. Ia membungkuk, menatap Anggi yang terlelap. Tanpa banyak bicara, ia meraih Anggi, menggendongnya, membawanya masuk ke dalam kamar dan membaringkannya ke salah satu ranjang. Dengan sigap, ia mulai mengeluarkan sweater rajut merah jambu kecil dari dalam tas, memakaikannya ke Anggi, lalu menyelimuti tubuhnya dengan bed cover.
Gua berdiri, bersandar pada railing balkon menatapnya melakukan itu semua. Sesaat pandangan kami bertemu, kami lalu saling memandang, terpaut pada jendela geser besar yang memisahkan area balkon dimana gua berada dan area kamar tempatnya berdiri sekarang.
Ia tersenyum.
Dengan langkahnya yang anggun, Lady menghampiri gua, mendekat. Tanpa banyak bicara, ia membentangkan kedua tangannya dan langsung memeluk gua erat.
Kini kepalanya dibenamkan tepat di dada gua.
“Lo tadi abis ketemu opungnya Anggi kan?” Tanyanya pelan.
“Iya…”
“Ngapain?”
“Ngobrol…”
“Ngobrolin Aldina?” Tanyanya lagi.
“Iya…”
“Lo tau nggak, hal kayak gitu bikin gue cemburu?”
“Kenapa?”
“... Pasangan yang udah berpisah tapi masih menemui orang tua pasangannya, menurut gue bukan hal yang lazim sih…” jawabnya.
Gua tersenyum kemudian membelai kepalanya sebelum memberinya alasan.
“Usia gua 10 tahun waktu kehilangan orang tua, dan belum genap 16 tahun waktu gua kehilangan satu-satunya orang yang ngerawat gua; kakek. Ditinggal sendirian dengan Reni yang waktu itu masih kecil bukan hal gampang buat bocah belasan tahun kayak gua…”
“...”
“... Hingga akhirnya gua ketemu Aldina, dan mendapati kalau gua diterima dalam sebuah keluarga; keluarganya. Gua jadi merasa punya bapak dan ibu lagi.”
“...”
“... Pun hubungan kami berdua udah nggak lagi berlanjut, bapaknya masih tetap bapak gua. Dan Aldina juga udah nggak punya siapa-siapa lagi. Nggak punya tempat dan harapan untuk bersandar…”
“...”
“... Mungkin satu-satunya harapan dia adalah bisa kembali ke gua, kembali ke Anggi. Tapi beberapa hari yang lalu, gua baru aja menyelesaikan semua dengannya, demi elo…”
“...”
“... Gua takut dia bakal kalut dan melakukan hal yang enggak-enggak..”
“...”
“... Waktu itu lo pernah nanya ke gua; masih sayangkah gua sama Aldina..”
“Iya…” Lady menjawab.
“Sekarang gua mau jawab boleh?” Tanya gua. Yang lalu di respon Lady dengan anggukan kepala tanpa menatap ke arah gua. Sementara, tubuhnya masih berada di pelukan gua.
“...”
“... Gua masih sayang sama dia” Ucap gua pelan.
Begitu mendengar jawaban dari gua, Lady langsung mendongak dan menatap ke arah gua. Perlahan ia melepaskan pelukannya dan mundur beberapa langkah. Dengan cepat, gua meraih tangan dan menariknya, hingga ia kembali dalam pelukan kemudian membelai kepalanya.
“... Dulu..”
“...”
“... Sekarang, saat ini, nggak ada di dunia ini yang lebih gua sayangi daripada elo sama Anggi…”
“...”
“... Tapi Gua mau minta pengertian lo. Gua mau menjaga Aldina, paling nggak sampai dia bisa menemukan orang yang tepat buatnya atau sampai dia bisa kembali berdiri di kakinya sendiri…”
“Kenapa? kenapa lo masih se peduli itu sama dia? dia kan udah pergi, pergi ninggalin elo, ninggalin Anggi…”
“Lad, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan..”
“...”
“... dan gua cukup yakin, kesalahannya dulu bukan 100% karena dirinya sendiri. Gua merasa ada peran gua disana. Gua yang mungkin nggak pernah selalu ada saat dibutuhkan, like you’ve said before; gua yang selalu mencoba menanggung beban sendirian tanpa pernah berbagi dengannya…”
Mendengar penjelasan gua, Lady tersenyum lalu mulai mempererat pelukannya.
“Terus tujuan lo ngajak gue ketemu sama opungnya Anggi apa? minta restu darinya?” Tanyanya.
“Iya…”
“Apa perlu?”
“Gua nggak butuh restu darinya kalau cuma mau jadiin lo istri gua.. Tapi, gua tetep butuh restu darinya karena lo bakal jadi mamanya Anggi…”
“Ih… emang gue mau jadi istri lo?” Tanyanya seraya mengernyitkan dahi.
“Hah? emang lo nggak mau?” Gua balik bertanya.
“Ya lo nggak pernah meminta, gimana gue mau…”
“Lah, emang harus?”
“Ih elo mah.. masa semuanya harus diajarin…” Serunya seraya memukul dada gua.
“Bercanda…”
Gua lantas meraih lembaran uang pecahan sepuluh ribuan dari saku celana, kemudian mulai melipatnya menjadi kecil, dan membentuknya hingga menyerupai sebuah cincin. Melihat hal tersebut, Lady tak kuasa menahan tawanya, ia terus cekikikan, apalagi saat gua meraih jari manisnya yang lentik dan mulai memakaikan cincin kertas tersebut.
“Lo mau nggak jadi Mamah nya Anggi?” Tanya gua sambil tak kuasa menahan tawa.
“Mau….” Lady menjawab cepat kemudian berjinjit dan mulai mengecup bibir gua.
“...”
“... Tapi nanti, cincin ini ganti sama cincin beneran ya?” Pintanya seraya mengangkat jarinya ke hadapan gua.
“Iya…”
—
Besok paginya, Lady terlihat berbaring di sisi ranjang seraya mencoba membangunkan Anggi dengan berbisik di telinganya. Begitu Anggi membuka matanya, Lady lantas mengangkat jari dan menunjukkan cincin uang kertas yang sejak semalam dipakainya.
“Aku dapet cincin dari papah dong…” Pamer Lady ke Anggi. Yang tentu saja hal tersebut membuat Anggi langsung bangkit dan merengek.
“Papah, aku mau cincin kayak tante cantik…” Serunya.
Gua bangun dari ranjang, meraih dompet, mengeluarkan selembar uang kertas pecahan lima ribu rupiah dan mulai melipatnya hingga membentuk cincin berukuran kecil dan memakaikan cincin tersebut di jarinya yang mungil.
Saat itu, Anggi masih terduduk di tengah ranjang, Sementara gua dan Lady berada di kedua sisi, mengapit dirinya.
“Nggi, coba tanya ke tante cantik. Mau nggak dia jadi Mamah kamu?” Bisik gua ke Anggi.
Ia lalu tersenyum lalu berpaling ke Lady dan bertanya; “Tante cantik mau nggak jadi mamah Anggi?” Tanyanya dengan nada yang lucu.
“Mau.. Kalo Anggi mau nggak jadi anak aku?” Lady gantian bertanya.
“Mau…”
Anggi kini ganti menatap ke arah gua dan berbisik; “Berarti sekarang Anggi punya Mamah ya pah..”
“Iya…”
“Boleh Anggi panggil tante cantik jadi Mamah cantik?” Tanyanya lagi.
“Boleh…” Lady menjawab, mewakili gua.
“Yeay!!” Anggi berseru kegeringan lalu mulai memeluk Lady.
Gua bangkit dari ranjang, berdiri dan bicara; “Udah, pada mandi, siap-siap. Kita ke rumah opung…”
Lady berkali-kali mondar-mandir dari kamar mandi kedepan, setiap kali muncul ia mengenakan pakaian yang berbeda. “Ini cocok nggak Je?” Tanyanya.
Dan gua selalu memberi jawaban yang sama setiap kali ia bertanya; “Cocok”
Ia lalu kembali keluar, kali ini dengan sebuah dress berwarna merah yang dibalut dengan cardigan putih. Lady lalu berpose layaknya seorang model; “Ini gimana? gua keliatan lebih dewasa kan?” Tanyanya.
Gua dan Anggi yang sejak tadi duduk menunggu lalu berbarengan menjatuhkan ponsel di atas ranjang. Kagum dengan kecantikannya. “Great…” Gua menggumam pelan. Sementara, Anggi langsung turun dari ranjang, berlari ke arah Lady dan memeluknya.
Satu jam berikutnya, kami bertiga sudah berada di mobil melalui jalan yang sama dengan yang gua lalui kemarin; menuju ke rumah opungnya Anggi. Sejatinya, rumah yang saat ini di tinggali oleh opung merupakan rumah peninggalan dari orang tua dari pihak perempuan atau opung borunya Aldina. Bapak sendiri sebetulnya berasal dari daerah Mandailing, dan nggak lama setelah menikah ia sempat tinggal di kota Medan, di sebuah perumahan yang kalau gua tidak salah ingat bernama Taman setia budi indah. Begitu Aldina lahir, Bapak mendapat pekerjaan di Jakarta dan memutuskan untuk pindah ke Ibu kota.
Bapak sengaja tinggal di rumah peninggalan mendiang Mamak hanya untuk mengenang istrinya. Agar memorinya tak hilang dan tepat terjaga.
“Opungnya Anggi galak nggak Je?” Tiba-tiba Lady bertanya.
“Baik kok…” Anggi menyerobot, mewakili gua memberi jawaban.
“Haha, iya baik kok… Tapi dulu gua pernah ditampolin sama dia sih waktu masih muda”
“Hah serius?”
“Iya”
“Gara-gara apa?”
“Ngajak nginep Aldina” Gua menjawab, jujur.
Namun rupanya jawaban gua tersebut langsung menyulut emosi Lady. Ia lantas melayangkan pukulannya tepat di bahu gua berkali-kali. “Lo tuh emang pervert yah dari dulu?”
“Ngawur…” Gua merespon.
“Lah itu? ngapain lo ajak nginep perempuan?”
“Ralat, bukan gua yang ngajak. Tapi dia yang maksa..”
“Terus kalian ngapain?”
“Ya tidur lah”
“Bareng?”
“...”
“... Jeje!! Bareng?”
“...” Gua nggak menjawab, hanya melirik ke arah Anggi yang duduk di pangkuannya.
Memberi kode ke Lady bahwa sejatinya obrolan kami ini nggak pantas di dengar oleh anak sekecil Anggi.
Menyadari hal tersebut, Lady berhenti bertanya. “Awas lo ntar..” Ancamnya.
Nggak lama berselang, kami akhirnya tiba di rumah Bapak. Gua memutar kemudi, masuk ke halaman berumput yang luas. Terlihat Bapak tengah berdiri di sisi pekarangan dengan sebuah selang di tangannya; sepertinya sedang menyiram tanaman. Ia langsung menjatuhkan ujung selang dan meninggalkannya begitu melihat Anggi turun dari mobil.
Bapak meraih tubuh mungil Anggi dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara; “Alamak, cucuku sudah besar kali rupanya… Cantik pulak, Sehat kau nak?” Tanya Bapak yang lalu di respon dengan anggukan kepala Anggi yang tersenyum.
Sementara gua langsung menuju ke arah keran di tepi bangunan rumah, dan mematikan air yang masih mengalir. Lady terlihat berdiri, terdiam sambil menatap berkeliling.
“Ayo masuk-masuk…” Ajak Bapak sambil menggendong Anggi dan mengajak kami untuk masuk.
Sebelum masuk ke dalam rumah, gua menarik menggenggam tangan Lady, menggandengnya dan mendekat ke Bapak.
“Pak.. ini kenalin” Ucap gua ke bapak.
Bapak lalu berpaling, lalu menatap Lady dari ujung kepala, ke ujung kaki, lalu kembali ke ujung kepala. Sorot matanya tajam, sementara ekspresi wajahnya yang keras terlihat nggak mengenakan.
“Ini Tante cantik, namanya TanteLady, nanti Tante cantik mau jadi Mamah aku Opung…” Tiba-tiba Anggi bicara seraya tangannya menunjuk ke arah Lady.
“Halo Om, aku Lady…” Ucap Lady seraya menundukkan kepalanya.
“Ya.. salam kenal..” Jawab Bapak singkat.
Begitu kami sudah berada di dalam rumah, bapak nggak banyak berbasa-basi. Ia langsung mengajak Lady untuk duduk dan bicara. Sementara, gua hanya berdiri, bersandar pada dinding dan memandangi mereka berdua.
“Dulu, ingin kali aku punya anak laki-laki supaya nggak habis Nasution. Tak taunya yang lahir perempuan, pemberontak pulak. Rupanya tuhan kasih aku anak laki-laki, walaupun bukan Nasution, bangga kali aku sama dia…” Ucap bapak seraya menatap ke arah gua.
“...”
“... Nah, sekarang kutanya, sayang rupanya kau sama dia?” Tanya Bapak ke Lady seraya ujung jarinya menunjuk ke arah gua.
“Sayang pak” Jawab Lady pelan sambil mengangguk.
“Sayang kau sama cucuku?” Tanya Bapak lagi.
“Sayang pak” Lady kembali memberi jawaban.
“Kalau kau sayang, mau kau janji sama orang tua ini. Janji kalau kau nggak bakal kecewakan Jeje dan Anggi?..”
“Iya Om..”
“Sudah cukup satu perempuan bodat yang bikin hancur hidupnya. Nggak mau lagi aku, kalau itu terjadi lagi. Kalau sampai kau kecewakan Jeje dan Anggi, kucari kau, ke neraka pun kususul, kupijak batang leher kau…”
Begitu mendengar ucapan bapak barusan, Lady langsung menoleh dan menatap gua sambil memegangi lehernya. Ekspresinya terlihat penuh ketakutan dan panik. Gua lantas mendekat, duduk disebelah Lady, menggapai tangan dan menggenggamnya.
Tiba-tiba bapak berdiri, masih sambil menggendong Anggi ia masuk ke dalam kamar dan kembali keluar nggak lama setelahnya. Ia lalu menurunkan Anggi dari gendongan, mendekat ke arah Lady, meraih telapak tangannya dan menyerahkan sebuah kalung dengan biji liontin berbentuk kupu-kupu.
“Nah, ini mas kimpoi opung borunya Anggi dulu..” Ucap Bapak
Lady tercengang, bingung. Ia menoleh ke arah gua lalu berpaling ke arah Bapak.
“Buat aku Om?” Tanya Lady dengan ekspresi masih kebingungan.
“Iya…”
“Nanti kan kau yang ngerawat dan membesarkan Anggi, Suatu saat kalau dia mau menikah nanti kau kasihlah kalung itu ke dia…”
“...”
“... Kalau aku masih hidup, kau suruh lah pacarnya Anggi nanti ketemu sama aku. Biar ku tatar dulu…”
“...”
“... Udah ayo makan dulu…”
Bapak lalu berdiri dan pergi meninggalkan kami menuju ke ruang makan. Sementara Lady masih tertegun menatap kalung pemberian Bapak yang kini berada di genggaman tangannya. Kemudian berpaling menatap gua dan tersenyum.
---
Incubus - Are You In?
It's so much better
When everyone is in
Are you in?
It's so much better
When everyone is in
Are you in?
You ooh ooh ooh
You ooh ooh ooh
Are you in?
You ooh ooh ooh
You ooh ooh ooh
Are you in?
It's so much better
When everyone is in
Are you in?
It's so much easier
When sea-foam green is in fashion
You ooh ooh ooh
You ooh ooh ooh
Are you in?
Ooh ooh ooh ooh
You ooh ooh ooh
You ooh ooh ooh
Are you in?
Are you, are you, are you, are you
Are you, are you, are you, are you
Are you, are you, are you, are you
Are you, are you, are you, are you
(Everybody in, every
Everybody in, every
Everybody in, every
Everybody in, every)
Oh, oh, oh
Oh, oh, oh
Oh, oh, oh
Oh no, oh oh no
A-are, you in
A-are, are
You, you, i-i-in
You ooh ooh ooh
You ooh ooh ooh
Are you in?
You ooh ooh ooh
Ooh ooh ooh ooh
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:38
jiyanq dan 62 lainnya memberi reputasi
63
Kutip
Balas
Tutup