- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
282.9K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#691
#55 - One Way Ticket
Spoiler for #55 - One Way Ticket:
“Hoi… Makan sini…”Seru bapak dari arah ruang makan kepada kami berdua yang masih duduk di ruang tamu.
Masih sambil bergandengan tangan, gua mengajak Lady menyusuri ruangan hingga akhirnya kami tiba di ruang makan. Seperti kemarin, Bapak menarik dua kursi kayu di meja makan, menyediakan piring kosong, dan membuka tudung saji. Dimana terlihat aneka lauk pauk beraneka ragam lengkap dengan nasi putih dan buah-buahan.
“Anggi mau makan nggak nak?” Tanya Bapak ke Anggi, yang lalu di respon dengan gelengan kepala dari Anggi.
Ia justru menunjuk ke luar, ke arah pintu belakang rumah yang menampakan pelataran belakang rumah. Bapak meraih tangan mungil Anggi dan mengajaknya keluar, ke pelataran belakang rumah.
Sementara kami berdua makan bersama, Bapak dan Anggi terlihat sibuk bermain, berlarian sambil sesekali berteriak saling memanggil nama. Lady yang memang makan dengan porsi lebih sedikit, selesai lebih dulu. Ia lalu meraih salah satu piring kosong, mengisinya dengan sedikit nasi dan sepotong telur dadar.
“Nambah?” Tanya gua.
“Buat Anggi…” Lady memberi jawaban.
“Ooh…”
Begitu selesai menyiapkan porsi makan untuk Anggi, Lady justru kembali duduk. Gua berpaling ke arahnya dan bertanya; “Kok duduk lagi, udah panggil Angginya..” Ucap gua.
“Nggak enak ah, ntar aja deh…” Lady menjawab.
Gua buru-buru menghabiskan makan, mencuci tangan kemudian meraih piring berisi porsi makan milik Anggi dan keluar melalui pintu belakang rumah.
“Anggi… Makan dulu nak..” Seru gua ke Anggi.
“Nggak mau…” Jawab Anggi.
“Mana sini, gue suapin aja…” Ucap Lady seraya meraih piring makan milik Anggi. Dan turun dari beranda ke pelataran. Gua ikut turun dan menyusulnya.
Bapak terlihat tengah berjalan mengiringi Anggi yang berlarian. Terdengar dari posisi gua sekarang percakapan mereka, percakapan antara seorang kakek dengan cucunya.
“Semuanya ini nanti buat Anggi…” Ucap Bapak.
“Semuanya pung?” Tanya Anggi.
“Iya…”
“Sama kerbaunya juga?”
“Iya semuanya, rumah, tanah sama isinya, semua buat Anggi…”
“Yeay…”
Sementara Lady mulai mengejar-ngejar Anggi untuk menyuapinya. Lalu ia mulai bergabung dalam percakapan mereka. Dan gua masih berjalan pelan di belakang mereka bertiga, mencoba menjaga jarak agar nggak terlalu mengganggu percakapan mereka karena kehadiran gua.
“Kerja kau Lad?” Tanya Bapak ke Lady.
“Iya om..”
“Dimana?”
“Ditempat yang sama dengan Jeje..” Jawab Lady seraya memberi suapan kesekian kepada Anggi.
“Di Kantor?” Tanya Bapak.
“Iya…”
Mendengar jawaban Lady, Bapak lalu menoleh ke arah gua.
“Sudah nggak dagang plastik rupanya dia?” Tanya Bapak ke Lady.
“Rohman yang ngelanjutin toko plastik Om..” Jawab Lady.
“Ooh… Sudah pernah ketemu sama Mamanya Anggi?” Tanya Bapak.
“Sudah Om. Dulu malah aku pernah satu kantor sama Aldina…” Jawab Lady.
“Sehat dia rupanya?”
“Kemarin terakhir ketemu sih sehat Om..”
Bapak lalu manggut-manggut sambil mengelus dagunya. ‘Ah, masih peduli juga rupanya dia sama Aldina’ batin gua dalam hati.
“Lady…”
“Ya Om?”
“Sudah bicara si Jeje dengan orang tuamu?”
“Belum Om..”
“Sudah tau bapakmu kalau Jeje duda?” Tanya Bapak lagi.
“Belum Om..”
“Bah! Kalau nggak setuju bapakmu sama Jeje cemana?”
“Nggak tau Om, aku juga nggak begitu dekat sama ayah… Udah hampir 4 tahun kami nggak bertemu”
“Benci kau sama bapakmu?”
“Iya…”
“Meskipun benci, temuilah bapakmu, bilang dan cerita tentang Jeje…”
“Iya Om…”
Bapak lalu kembali berpaling ke arah gua, kemudian melambaikan tangan, memberi kode agar gua mendekat. Gua mempercepat langkah dan menghampiri mereka.
“Besok, kau temui bapaknya Lady…” Ucap Bapak ke gua seraya menunjuk ke arah Lady yang kini terlihat mengejar-ngejar Anggi yang berlari menolak makan.
“Iya pak… Nanti kalau urusan Dince sudah selesai” Gua menjawab.
Mendengar jawaban dari gua, Bapak lalu mengernyitkan dahinya dan menatap gua tajam. Kemudian ia melayangkan pukulannya ke bahu gua.
“Urus, urusanmu dulu…” Serunya.
Seraya mengelus bahu bekas dipukulnya, gua menjawab; “Urusan Dince juga urusanku pak..”
“Cemana kau, mau kau buat si Lady pergi karena masih sibuk mengurus perempuan bodat itu?” Tanya Bapak.
“Aku dan Lady udah diskusi masalah ini kok, dan dia bisa cukup mengerti…” Gua memberi penjelasan.
Bapak lalu menarik nafas dalam-dalam dan menggelengkan kepala, seraya memijat dahinya ia menggumam pelan; “Semua anak orang-orang ini punya hati yang baik. Kenapa cuma anakku yang nggak punya otak”
Gua langsung tersenyum begitu mendengar ucapannya barusan. “Nggak pak.. Semua orang sama kok…”
—
Setelah cukup lama kami berbincang dan akhirnya Anggi menyelesaikan porsi makannya. Bapak lalu mengajak kami semua kembali ke dalam rumah. Sebelum kami pergi, bapak masuk ke dalam kamar dan kembali keluar dengan beberapa lembar ulos di tangannya. Ia menyerahkan lembaran ulos tersebut ke gua; “Je, ini simpan..”
“Buat?”
“Buat Anggi, biar nggak lupa kalau dia batak..”
Gua tersenyum sambil meraih pemberian darinya. “Kayaknya bataknya emang nempel deh pak. Dia kalau marah mirip sama mamanya.. suaranya pun menggelegar mirip bapak..” Ucap gua.
“Hahaha…”
Kemudian kami berpamitan dan pergi.
“Ternyata opungnya Anggi nggak semenakutkan apa yang gue kira ya” Lady buka suara begitu kami baru saja masuk ke dalam mobil.
“Iya, mukanya emang gahar. Tapi, hatinya baik kok…”
“Oiya, Kita langsung balik ke hotel?” Tanya Lady.
Gua mengangkat bahu; “Nggak tau, mau jalan-jalan dulu?” Gua balik bertanya.
“Boleh. Tapi, ke tempat yang sesuai dengan outfit gue ya…” Jawab Lady sambil menunjukkan dress yang ia kenakan.
“Lah, di daerah sini, semua tempat wisata bernuansa alam, outfit lo nggak bakal cocok…”
“Ya Udah balik ke hotel dulu, ganti baju..” Jawab Lady.
Setibanya kami ke hotel, Anggi langsung merengek minta untuk berenang. Sementara, Lady langsung bergegas naik ke kamar, dan gua mencoba merayu Anggi agar melupakan rencananya untuk berenang.
Sambil menunggu Lady, gua iseng bertanya ke salah satu karyawan hotel yang kebetulan lewat. Menanyakan tentang lokasi wisata yang nggak terlalu jauh dari sini, dengan akses mudah dan nggak terlalu ramai.
Dengan cepat, si pelayan menyebut sebuah nama lokasi; Penatapan.
Gua lantas mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi maps dan memintanya untuk menunjukkan lokasinya. Ia lalu memutar dan mengetuk layar ponsel, membuat satu titik destinasi. “Kalo masalah ramainya sih, tak tentu kak. Kadang ramai, kadang sepi…” Infonya sebelum pergi.
Nggak lama berselang, Lady kembali dari kamar. Ia terlihat mengenakan kaos bergaris horizontal hitam putih berlengan panjang, celana jeans selutut dan sandal jepit. Tak lupa topi hitam milik gua yang dulu pernah ia pinjam, bertengger di kepalanya.
“Yuk..” Ajaknya, seraya meraih tangan Anggi yang rengekannya kini mulai mereda.
Berbekal alamat pada aplikasi maps di ponsel, gua mulai mengemudi, menyusuri jalan berkelok yang menurun. Hanya butuh waktu nggak sampai setengah jam buat kami untuk tiba di titik yang tertera pada maps. Ternyata, lokasi ini sudah kami lewati saat berangkat menuju hotel kemarin.
Area disini mirip seperti di Puncak, Bogor. Dimana sepanjang jalan di sisi kanan dari arah hotel terdapat deretan bangunan yang menjorok ke arah tebing.
Gua memilih salah satu tempat secara random, memutar kemudi dan masuk ke area parkir. Kami turun lalu memilih salah satu tempat yang mirip ‘teras’ dengan sebuah meja dan kursi panjang di dalamnya. Dari sini, dari sisi ‘teras’ kita bisa dengan leluasa melihat deretan bukit yang menurun hingga pemandangan kota Medan yang nampak begitu kecil.
‘Ah, rupanya alasan kenapa tempat ini disebut penatapan. Karena dari tempat ini, pengunjung bisa menatap pemandangan kota dari ketinggian’
“Papah ada monkey…” Seru Anggi seraya menunjuk ke gerombolan monyet liar yang hinggap di atas atap.
Sementara Anggi kegirangan karena melihat monyet, Lady justru sebaliknya; takut. Ia dengan cepat berpindah posisi ke belakang gua. “Awas Je, HP, dompet, semua simpen.. ntar di rampas sama monyet kayak yang di Bali..” Bisik Lady ke gua.
Sebenarnya gua cukup bingung dengan alasannya bicara sambil berbisik. Toh, si monyet juga nggak bakal mengerti dengan ucapannya seandainya ia bicara dengan nada normal.
Setelah gerombolan monyet tersebut pergi, kini Lady sudah bisa duduk dengan tenang. Ia menikmati kopi susu sambil sesekali memicingkan mata menatap pemandangan. Sementara Anggi masih sibuk celingukan, mencoba mencari keberadaan monyet lain di sekitar.
“Kita boleh kesana nggak Je?” Tanya Lady sambil menunjuk ke semacam balkon panjang yang menjorok ke arah tebing. Terlihat beberapa pengunjung tengah berdiri, berkerumun di sana sambil berpose, mengambil foto.
“Boleh kali, tuh banyak yang foto..” Gua menebak.
Lady lantas mengajak Anggi untuk sedikit turun menuju ke area yang dimaksud.
“Hati-hati ya nak..” ucap gua.
“Iya Papah…” Jawab Anggi, yang langsung menggenggam erat tangan Lady dan mengikuti langkahnya.
Gua mulai menyulut sebatang rokok dan menatap mereka berdua yang terlihat asik berfoto dengan ponsel. Sesekali, Lady mengalihkan pandangannya ke gua, mengerlingkan matanya dan melambaikan tangan. Dan gua membalasnya dengan sebuah senyuman.
Setelah puas berfoto, Lady dan Anggi kembali ke tempat gua berada.
“Foto yuk Je..” Ajak Lady. Ia lalu kembali mengeluarkan ponselnya. Dengan Anggi berada di pangkuannya dan gua tepat disisinya, Lady mulai mengambil foto dengan ponsel.
“Gue upload di sosmed boleh?” Tanya Lady, meminta persetujuan gua.
“Upload aja…” Gua menjawab singkat.
“Bener nih?”
“Iya…”
Matanya menatap ke atas, sambil menggigit bibir bawahnya. Ia terlihat tengah memikirkan kata-kata yang tepat untuk menyertai foto yang akan diunggahnya. Setelah selesai dengan urusan foto, ia mulai menyandarkan kepalanya di bahu gua, sementara tangannya sibuk memainkan ujung rambut Anggi.
“Lo beneran siap, kehilangan masa muda lo?” Tanya gua.
“Hah?”
“Lo beneran udah siap kehilangan masa muda demi gua?” Tanya gua lagi.
“Siap..”
“Once lo udah ‘masuk’, nggak bakal ada jalan kembali lho…”
“Yes… Gue emang udah berencana untuk ‘membeli’ tiket sekali jalan, untuk bisa bersama elo…”
“...”
“... dan gue merasa punya kebanggan tersendiri bisa berada di sisi lo, bisa jadi mamanya Anggi…”
“Oh Wow…”
“Kalo lo gimana? Lo udah siap kedepannya harus mengurus dua anak kecil yang suka merengek; gue sama Anggi?” Tanyanya seraya menunjuk kepala Anggi.
“Sama, gua juga udah memutuskan untuk beli one way ticket to be with you…”
“Sejak kapan? Sejak kapan lo mulai memutuskan untuk mau menerima gue dengan segala kekurangan gue?” Tanyanya.
“Nggak tau tepatnya kapan. Tiba-tiba, rasa itu dateng gitu aja..”
“Kalo rasa itu datang tiba-tiba, bisa pergi tiba-tiba juga dong?”
“Kan ‘One way ticket’, bisa datang, nggak bisa pulang…” Jawab gua seraya menyentuh ujung hidungnya.
“Haha, iya ya…”
—
Kami kembali ke hotel, lalu menghabiskan sisa hari untuk menemani Anggi berenang. Tak bosan-bosan ia bermain dengan air, hingga kulit telapak tangannya kisut dan mengkerut. Butuh waktu dan sedikit paksaan buat gua dan Lady untuk membujuknya keluar dari air dan kembali ke kamar.
‘Mau jadi ikan kali yak nih bocah’ gua menggumam pelan sambil menggendong Anggi kembali ke kamar.
Besoknya, menjelang siang kami sudah bersiap kembali ke Jakarta.
Hari pertama setelah liburan, gua datang bekerja sambil membawa Anggi ke kantor. Kebetulan, hari itu Anggi masih libur dan sekalian mencoba memperkenalkan dia dengan situasi, juga tempat dimana gua bekerja.
“Eh halo… siapa ini? cantik banget…” Sapa Sari begitu menyadari gua datang bersama Anggi.
Mendapat sapaan dari orang asing yang nggak dikenalnya, Anggi lantas bersembunyi dibalik tubuh gua.
“Anggi, Tante…” Gua menjawab, mewakili Anggi.
Begitu gua masuk ke dalam ruangan kantor, hampir semua mata menatap ke arah kami berdua. Pertama, mungkin mereka merasa kaget karena ada anak kecil yang datang bersama gua. Selama ini mereka berpikir kalau gua adalah pemuda lajang yang menjalin hubungan dengan Lady. Kedua, mungkin mereka terkesima dengan betapa imut dan manisnya Anggi.
Lady berdiri dari kursinya.
Ia tersenyum dan langsung mendekat ke arah kami. Sama dengan Lady, Anggi pun merespon dengan hal yang sama; ia tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Lady. Nggak lama berselang, kini Anggi sudah duduk di sebelah Lady, bercengkrama, bercanda dengan beberapa rekan Lady.
“Anggi disini, Papah meeting dulu ya..” Ucap gua ke Anggi yang masih sibuk bermain dengan Lady dan rekan-rekannya.
“Iya papah…”
“Be nice ya..”
“Iya papah…”
Hari ini, jadwal meeting lumayan padat. Hampir tak ada space sisa yang terlihat di aplikasi calendar pada ponsel gua, semua terisi dengan blok beraneka warna yang menandakan jadwal meeting.
Meeting pertama, merupakan weekly alignment dengan divisinya Desi yang kebanyakan membahas kondisi keuangan faktual perusahaan. Disusul meeting dengan divisi business and development dan satu meeting terakhir dengan tim campaign marketing tepat sebelum break makan siang.
Satu persatu staff divisi Business and Development keluar dari ruang meeting besar, lalu secara bergantian tim campaign marketing masuk ke dalam. Terlihat mereka saling menyapa dan bercanda satu sama lain. Walaupun berbeda divisi, banyak dari karyawan disini yang tetap berteman dekat. Dan gua sangat mengapresiasi hal tersebut.
Menurut gua, saat lo bekerja di lingkungan yang nyaman; punya rekan kerja yang asik dan suportif bisa jadi salah satu kunci hasil pekerjaan yang memuaskan. Jadi, tolak ukur suksesnya pekerjaan bukan melulu dari gaji yang diterima, ekosistem dalam bekerja juga sedikit banyak bakal jadi faktor penentunya.
That’s why, gua nggak mau ‘membelah’ kantor ini dengan memberi sekat antar divisi. Semua duduk di meja dan kursi yang identik, mereka bisa saling menyapa, bisa saling bertukar snack, bisa saling bercanda dan yang terpenting; tak ada limitasi untuk berdiskusi perkara pekerjaan.
Terkecuali, divisi finance dan accounting yang memang sengaja dibuatkan sebuah ruang untuk mereka. Tentu saja, hal ini ditujukan karena mereka banyak berkutat dengan dokumen dan percakapan yang confidential.
Lady menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam ruang meeting, ia terlihat sibuk dengan laptop dalam pelukannya, sementara tangan kanannya membawa beberapa lembar kertas dan tangan kirinya menggandeng Anggi. Menyadari hal tersebut, gua lantas menarik Anggi ke pangkuan.
“Sini sama papah…” Ucap gua.
“Nggak mau papah, Anggi mau sama tante cantik…” Sanggahnya, lalu berusaha turun dari pangkuan dan menyusul Lady duduk di kursi terjauh ruang meeting.
“Ok apa kabar guys…” Sapa gua ke mereka semua, yang langsung dijawab serentak; “Baik kak…”
Lady lalu mulai menyambungkan laptopnya ke proyektor. Sementara, lampu ruang meeting perlahan mulai meredup secara otomatis. Cahaya terang, menyorot ke arah dinding, menampilkan sebuah video kartun. “Eh… sorry..” Gumam Lady, lalu mulai mengganti tampilan pada layar.
Rupanya, laptop milik Lady sebelumnya digunakan oleh Anggi untuk menonton video kartun favoritnya.
Melihat video favoritnya diganti, Anggi lantas merengek, minta diputarkan kembali video tersebut. Lalu Lady dengan cepat, memberi tatapan teduh ke Anggi, lalu berbisik pelan di telinganya. Seketika, Anggi terdiam, tersenyum dan duduk manis di kursi yang seharusnya di tempati oleh Lady.
Lady lalu berdiri, di ujung ruang meeting dan mulai melakukan presentasi. Diawali dengan report beberapa campaign yang berjalan minggu sebelumnya, lengkap dengan angka-angka dan grafik yang terlihat menjulang. Kemudian, disusul oleh plan campaign untuk dua minggu kedepan.
Sesekali, beberapa team membernya memberi tanggapan atau tambahan saat dirasa informasi yang disampaikan Lady kurang begitu lengkap. Apalagi, kalau gua bertanya perihal detail campaign yang memang Lady nggak terlalu mengetahui seluk beluknya. Ia langsung pasang tampang BT, menyeringai ke gua dan memberi kesempatan rekannya untuk menjelaskan.
“Lo kalo gue yang lagi presentasi, jangan nanya yang terlalu detail kek. Gue kan nggak terlalu mendalami, campaign yang temen-temen bikin…” Keluh Lady sambil berbisik. Takut di dengar oleh rekan-rekan yang lain. Saat ini kami tengah berjalan bersama dengan tim campaign marketing yang tiba-tiba mengajak gua untuk makan siang dengan mereka.
“Katanya lo nggak mau diperlakukan spesial?” Tanya gua
“Iya sih…”
“Oiya, tadi lo bisikin apa ke dia, kok langsung diem pas merengek?” Tanya gua lagi, kali ini sambil menunjuk Anggi yang tengah berjalan di depan kami dalam gandengan tangan Fitri.
“Gue janjiin es krim…” Lady menjawab santai.
“Oh, pantes…”
Nggak lama berselang, kami akhirnya tiba di sebuah rumah makan padang yang terletak nggak begitu jauh dari area kantor. Karena memang sudah lewat jam makan siang, karena meeting yang molor, kondisi di rumah makan ini terlihat cukup sepi.
Gua dan Lady masuk, mengikuti Fitri dan yang lainnya ke sudut rumah makan dengan bangku kayu panjang berjejer.
Tiba-tiba, Lady menyenggol lengan berkali-kali. Gua menoleh ke arahnya; “Apaan?”
Lady nggak menjawab, ia hanya mengerling sambil melirik, memberikan kode ke gua agar melihat ke arah yang ia tunjukkan melalui bola matanya. Gua berpaling, mengikuti arah yang ia tunjukkan dan mendapati; Aldina tengah duduk sambil makan sendirian.
—
Blind Melon - No Rain
All I can say
Is that my life is pretty plain
I like watchin' the puddles gather rain
And all I can do
Is just pour some tea for two
And speak my point of view
But it's not sane,
It's not sane
I just want someone to say to me,
"I'll always be there when you wake."
You know I'd like to keep my cheeks dry today
So stay with me and I'll have it made (I'll have it made)
And I don't understand why I sleep all day
And I start to complain
That there's no rain
And all I can do is read a book to stay awake
And it rips my life away,
But it's a great escape
Escape... escape... escape...
All I can say
Is that my life is pretty plain
You don't like my point of view
You think that I'm insane
It's not sane... it's not sane.
I just want someone to say to me (no oh oh oh)
"I'll always be there when you wake."
(Y-yeah, yeah)
You know I'd like to keep my cheeks dry today
So stay with me and I'll have it made
(I'll have it made)
Oh and I'll have it made
(I'll have it made)
And I'll have it made
(I'll have it made)
Oh, lord oh no no
You know I'm really
I'm-a really gonna have it made
(I'll have it made)
Yeah, you know I'll have it made
(I'll have it made)
Oh oh oh oh
(I'll have it made)
Oh oh oh oh
(I'll have it made)
Oh oh oh oh
(I'll have it made)
Oh oh oh oh, ah, ah, ah, ah, ah, ah
Diubah oleh robotpintar 30-04-2023 12:19
jiyanq dan 64 lainnya memberi reputasi
65
Kutip
Balas
Tutup