- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
A Man and The Lady
TS
robotpintar
A Man and The Lady
Did you know that yesterday I lost the light?, And will you say today feels alright?
Will you cry for yesterday And feel the pain?
This is story about 'a Man and The Lady'
Spoiler for Part #1: A Man and his Little Girl:
Gua menyeruput kopi yang sudah nggak lagi panas sambil berdiri di sisi meja makan. Sementara Anggi menarik ujung kaos gua sambil meracau, ingin cepat berangkat. “Sebentar ya nak”Ucap gua pelan, kemudian membungkuk dan mulai mengikat rambut Anggi yang kini mulai panjang.
“Pake jepit kupu-kupu ya pah?” Tanya Anggi sambil melirik ke arah jepit rambut berbentuk kupu-kupu di tangan gua.
“Iya sayang…” Jawab gua, kemudian mulai memasang jepit rambut berbentuk kupu-kupu di sisi rambutnya.
Begitu selesai, Anggi lantas berlari menuju ke luar. Gua menyambar tas kecil berisi perlengkapan miliknya dan lantas menyusul.
Sepanjang jalan, Anggi nggak berhenti mengoceh. Semua yang baru pertama kali dilihatnya, pasti ia tanyakan. Kenapa burung terbang? Ondel-ondel itu robot atau bukan? Mobil sama motor mahalan mana? Kenapa kita capek? dan banyak pertanyaan-pertanyaan absurd lain yang kadang bikin gua geli sendiri.
Tangannya yang kecil menggenggam ujung jari gua, sementara kakinya sesekali menendang apapun yang menghalangi langkah; bungkus rokok, kaleng soda, hingga kerikil kecil. Kami berjalan menyusuri gang kecil berliku menuju ke Daycare tempatnya bakal menghabiskan waktu hingga siang nanti.
“Hai, Anggi, how are you?” Sapa Miss Rina, salah seorang pengasuh seraya melambai ke arah Anggi, begitu kami tiba di depan gerbang Daycare.
“Titip ya Miss..” Ucap gua seraya menyerahkan tas kecil berisi peralatan milik Anggi. Sementara, Anggi yang langsung berlari masuk ke halaman Daycare bergabung dengan teman-temannya yang lain.
Sebelum pergi, gua menyempatkan berdiri sebentar, bersandar pada pagar besi pembatas daycare seraya memperhatikan Anggi yang kini sibuk kejar-kejaran dengan teman-temannya. Baru saja sebentar ia beraktivitas, rambutnya yang tadi sudah tertata rapi, kini mulai terlihat semrawut.
Juli, empat tahun yang lalu. Gua berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit, tepat di depan ruang operasi. Sesekali gua mencoba mengintip melalui kaca kecil buram di pintu ruang operasi; tak terlihat apapun. Setelah menunggu hampir satu jam yang terasa seperti setahun, pintu ruang operasi terbuka. Lalu terdengar tangisan yang membahana, suara pertama Anggita Laras Brasen di dunia.
Kini sudah empat tahun berlalu, ia tumbuh menjadi gadis cantik, periang yang punya rasa penasaran setinggi gunung. Nggak seperti anak seusianya yang hidup nyaman dengan kedua orang tua. Anggi, hanya punya gua, Bapaknya. Sejak berusia tiga bulan hingga sekarang, ia sama sekali nggak mengenal sosok bernama; Ibu.
Pernah suatu ketika ia menatap teman-teman yang dijemput dari daycare oleh Ibu-nya. “Kenapa?” Tanya gua sambil berlutut di depannya.
“Mamah aku kemana sih, Pah?” Tanya Anggi dengan suara cadelnya yang khas.
“Mamah Anggi kan nggak ada...” Ucap gua seraya membelai kepalanya.
—
Di toko, terlihat Rohman sudah terlebih dulu tiba dan tengah sibuk menggantungkan dagangan di atas kanopi. Rohman merupakan satu-satunya orang yang membantu gua menjalankan toko plastik dan bahan kue yang terletak nggak begitu jauh dari rumah.
Gua nggak mau Anggi yang tumbuh tanpa Ibu, masih harus ditinggal pergi Bapaknya untuk bekerja nine to five, bekerja kantoran. Makanya gua memutuskan untuk membuka toko ini bersama Rohman. Dengan begini, gua bisa terus mengurus Anggi dari ‘dekat’.
“Udah sarapan Je?” Tanya Rohman begitu gua tiba.
“Udah tadi..” Jawab gua. Kemudian masuk ke toko dan mulai membantunya menata dagangan.
Toko tempat gua berjualan terbilang cukup luas. Lebarnya kurang lebih 5 meter, dengan panjang bangunan kira-kira 10 meter. Terdapat dinding pembatas di antara bangunan yang dibuat oleh penyewa sebelumnya. Sepertinya si penyewa sebelumnya menggunakan bangunan ini sebagai tempat usaha sekaligus tempat tinggal, jadi sekatnya berfungsi memisahkan area usaha dengan tempat tinggal si penyewa.
Ditangan gua, sekat pembatas sengaja nggak gua hilangkan. Bagian belakang sekat gua fungsikan sebagai tempat untuk Anggi beristirahat. Tentu saja lengkap dengan karpet, kasur lantai, Televisi dan meja kecil multifungsi ntuk Anggi makan, menggambar atau mewarnai.
Agak sedikit mundur ke belakang terdapat area dapur yang berbatasan dengan kamar mandi. Namun, gua dan Rohman jarang menggunakan area dapur, karena sempit dan tak ada ventilasi udara. Membayangkan masak dan berkegiatan di sana saja rasanya sudah gerah bukan kepalang. Jadi, dari seluruh area dapur yang sering kami gunakan hanya wastafel untuk mencuci tangan.
Sementara, pada bagian depan toko terdapat area parkir yang luas. Ya setidaknya cukup luas jika digunakan satu mobil parkir. Gua memasang kanopi penutup diseluruh area halaman toko, selain untuk tempat memajang dagangan dengan cara digantung pada kanopi, juga agar halaman ini bisa digunakan Anggi sebagai tempat bermainnya.
“Gua belom nih…”
“Yaudah sono sarapan…”
Rohman lantas meninggalkan bungkusan besar kemasan styrofoam yang sebelumnya ingin ia gantungkan dan menyebrang, menuju ke warteg untuk memesan kopi. Gua kembali keluar, mengambil bungkusan besar kemasan styrofoam yang ditinggalkan Rohman dan mulai menggantungnya.
Gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, merokok, sambil menunggu pelanggan saat sebuah sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Pintu mobil terbuka, seorang perempuan berpenampilan modis turun; “Mas, ada plastik bubble wrap nggak?”
“Ada, berapa meter?” Tanya gua seraya menyelipkan batangan rokok pada penyangga kursi kayu.
“Oh jualnya meteran ya? satu meter deh” Jawabnya.
Jalan tempat toko gua berada nggak cukup lebar, hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Saat ada mobil berhenti sembarangan seperti yang dilakukan oleh perempuan ini, tentu saja bakal menyebabkan antrian kendaraan di belakangnya.
“Mbak, mobilnya masukin aja kesini biar nggak macet…” Ucap gua ke perempuan tersebut sambil menunjuk ke arah halaman toko.
“Udah nggak usah, lo nya aja yang cepetan…” Keluh si perempuan itu.
Gua menghela nafas panjang, kemudian buru-buru menyiapkan pesanan miliknya dan memasukan ke dalam plastik berukuran besar.
“Berapa?” Tanyanya seraya mengeluarkan dompet untuk membayar.
“Enam ribu…” Jawab gua singkat.
Dengan cekatan ia mengeluarkan lembaran uang pecahan 100 ribu dan menyerahkannya. Tentu saja gua nggak langsung menerimanya, karena kondisi masih pagi dan belum ada pembeli, jadi toko jelas nggak ada uang kembalian sebanyak itu. Sementara, uang hasil penjualan kemarin sudah disetorkan oleh Rohman ke Bank.
“Nggak ada uang kecil aja?” Tanya gua, masih belum meraih uang yang ia sodorkan. Perempuan itu lalu kembali memeriksa dompetnya. Sementara antrian di belakang mobilnya semakin panjang, suara klakson pun semarak membuat bising di telinga.
"Nggak ada. Elo kalo di Jepang bisa dituntut, orang jualan kok nggak nyapain kembalian. ” Gumamnya, masih mencari-cari uang receh dari sela-sela dompet.
“Emang lo di Jepang?” Gumam gua pelan, sengaja agar ia nggak mendengarnya.
“Apa?” Tanyanya, sementara tangannya masih sibuk mencari uang receh dari dalam dompet.
“Yaudah nggak usah bayar, bawa aja…” Jawab gua. Mencoba mengikhlaskan uang enam ribu, ketimbang jadi sasaran kemurkaan pengendara jalan yang mengantri di belakang mobilnya.
Tiba-tiba, perempuan tersebut melempar lembaran uang yang sudah digumpal, meraih barang belanjaannya, masuk ke mobil dan bergegas pergi. Sementara, gua hanya menatap ke arah mobil yang perlahan menjauh. Meraih lembaran uang 100 ribuan lecek yang baru saja ia lemparkan dan menaruhnya dalam laci meja kasir.
Sementara dari kejauhan terlihat Rohman berjalan gontai menuju ke arah toko.
“Ada apaan, rame banget?” Tanyanya saat melihat kondisi jalan di depan toko yang masih menyisakan kemacetan, sementara tangannya sibuk memainkan tusuk gigi yang mencuat keluar dari bibirnya.
Gua lalu menceritakan kejadian barusan ke Rohman, tentang seorang perempuan modis yang belanja enam ribu tapi bayar dengan uang 100 ribuan. Dan akibat yang ditimbulkan olehnya; kemacetan.
“Alhamdulillah, rejeki pagi-pagi” Ucapnya.
“Rejeki apanya. Ntar kalo dia kesini lagi dan gua nggak ada, lo balikin duitnya”
Hari semakin siang, satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Kebanyakan pelanggan toko plastik kami merupakan pedagang juga. Dari mulai pedagang pecel ayam, tukang nasi goreng hingga bubur ayam. Biasanya barang yang mereka beli berupa kertas bungkus nasi, plastik berukuran kecil untuk wadah sambal, plastik transparan besar hingga kemasan styrofoam untuk wadah makanan.
Selain itu ada pula pelanggan yang merupakan produsen kue, roti dan cake. Pelanggan tipe ini biasanya membeli bahan-bahan makanan seperti; margarin curah, coklat tabur, kertas roti, loyang cetakan, hingga obat pengembang kue.
Ada pula pelanggan yang diistilahkan oleh Rohman sebagai ‘Bebek Kanyut’, yaitu jenis pelanggan yang emang pas mau beli barang, kebetulan melihat toko kami di pinggir jalan. Untuk tipe pelanggan seperti ini biasanya, Rohman bakal nanya tempat tinggal si pelanggan. Kalau tinggalnya dekat, ia bakal memberikan bonus kecil, seperti tambahan barang yang dibeli. Agar mereka merasa diperlakukan istimewa, dan kembali berbelanja disini.
Rohman juga nggak segan untuk mengantar pesanan walaupun jumlah barang yang dibeli nggak banyak. Ya asal nganternya nggak terlalu jauh aja.
Ia sejatinya bukan orang dengan pendidikan yang tinggi. Tapi, ia tipe orang yang mau belajar dan mencoba banyak hal baru. Gua bahkan hanya perlu mengarahkan kelicikan yang ia punya, untuk membuatnya menjadi pakar strategi marketing low-end business seperti sekarang.
“Assalamualaikum…” Sapa Pak Haji Ramlan yang datang dengan sepeda motor.
“Waalaikumsalam…” Jawab gua, kemudian berdiri dan menghampirinya.
“Je, anterin terigu 2 karung yak” Ucap Pak Haji Ramlan seraya mengeluarkan gepokan uang dari saku celananya.
“Anter ke rumah apa kemana nih Pak Haji?” Tanya Gua.
“Ya kerumah lah…” Jawabnya seraya menyerahkan uang pembayaran.
Pak Haji Ramlan adalah pemilik bangunan Toko yang gua tempati saat ini. Tak hanya toko ini saja, Counter ponsel di sebelah, Warung sembako di sebelahnya lagi, Bengkel sepeda motor di sebelahnya lagi dan Kios penjual Fried Chicken di ujung, juga merupakan miliknya.
Selain itu, ia juga punya puluhan kontrakan, pabrik genteng, konveksi dan puluhan toko kain di Cipadu, Cipulir juga Tanah Abang. Rumahnya yang besar dan megah berdiri nggak begitu jauh dari lokasi toko. Saking megah dan besar, bagian rooftop rumahnya bisa terlihat dari depan toko.
Akhir-akhir ini beliau sering mondar-mandir ke toko untuk membeli bahan kue. Konon, Anak bungsunya tengah melakukan riset untuk memproduksi kue kering.
“Ntar Rohman yang nganter yak Pak Haji…” Ucap gua sebelum Pak Haji Ramlan pergi.
“Iya…” Jawabnya.
Semakin siang, intensitas pelanggan yang datang semakin tinggi. Saking sibuknya, kadang kami sama sekali nggak punya kesempatan untuk duduk, apalagi saat harus jaga sendirian seperti sekarang ini, karena Rohman harus mengantar barang.
Gua melirik ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul 12 siang lebih sedikit. Sebentar lagi Anggi selesai dari Daycare-nya, dan gua harus menjemputnya.
Sejatinya, ada dua pilihan saat gua mendaftarkan Anggi ke Daycare. Full day dan Half Day, Sesuai namanya; Full Day berarti si anak akan terus berada di Daycare sepanjang hari. Kebanyakan yang mengambil paket ini adalah para anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja, hingga tak ada waktu untuk mengasuh anak. Sementara, untuk yang Half Day, pengasuhan akan selesai setelah jam 1 siang. Seandainya, kita telat menjemput maka sisa waktu yang dihabiskan anak di daycare akan di charge di bulan berikutnya.
Gua jelas nggak mengambil opsi Full day. Buat apa? toh gua membuka usaha toko plastik agar bisa punya lebih banyak waktu untuk Anggi.
Rohman baru kembali ke toko begitu jam menunjukkan pukul setengah satu. Setelah memarkir sepeda motornya, Rohman nggak langsung masuk ke toko. Ia duduk di kursi kayu panjang di depan toko dan mulai merokok.
“Gua jemput Anggi dulu ya Man…” Ucap gua, sambil meraih topi dan bergegas pergi.
“Nggak pake motor?” Tanya Rohman.
“Nggak ah jalan aja…”
Lokasi Daycare tempat gua menitipkan Anggi nggak begitu jauh. Jika ditempuh lewat jalan utama, paling hanya menghabiskan waktu 5 menit dengan berjalan kaki. Kalau jalan mundur, ya mungkin bisa setengah jam.
Ada alternatif jalan lain, yaitu lewat jalan ‘ngampung’. Melalui gang kecil berliku yang tentu saja memakan waktu sedikit lebih lama. Dan, gua selalu memilih jalan ‘ngampung’ jika berjalan bersama dengan Anggi, karena relatif aman tanpa ada kendaraan yang ngebut.
Anggi terlihat sedang duduk di ujung perosotan saat gua tiba di Daycare. Seperti biasa, ia duduk sambil menatap teman-teman dijemput oleh ibunya. Gua berjalan mendekat, begitu menyadari kehadiran gua, Anggi lantas berdiri dan berteriak; “Papah..” kemudian berlari dan memeluk gua.
“Ayo bilang apa ke Miss Rina…” Bisik gua ke Anggi.
“Thank you, miss…” Ucapnya cadel.
“You’re welcome, take care Anggi” Balas Miss Rina, si pembimbing di Daycare.
Gua lantas melepas topi yang gua kenakan dan memasangkannya di kepala Anggi. Sinar matahari hari ini sedang terik, dan gua meninggalkan payung satu-satunya di rumah. Sambil membetulkan posisi topi gua yang menutupi hampir seluruh kepalanya, Anggi mulai bercerita tentang kejadian-kejadian di Daycare. Gua mendengarkannya dengan serius sambil sesekali memberi tanggapan, layaknya tengah ngobrol dengan orang dewasa.
Setibanya di Toko, gua mendudukan Anggi di kursi dan menyiapkan makan untuknya. Sejak ia bisa makan, gua sudah membiasakannya untuk makan sendiri. Banyak orang yang komplain tentang cara gua memberi makan Anggi. Ada yang bilang ‘Kalo anak kecil makan sendiri pasti berantakan’ ya, kalo berantakan tinggal di beresin, apa susahnya. Ada juga yang bilang ‘Kok tega anak kecil disuruh makan sendiri’ ya harus tega, biar dia terbiasa mandiri.
Gua meletakkan piring plastik berwarna pink yang berisi nasi, telur dadar dan sayur sop di atas meja. Menu favorit Anggi yang gua beli di warteg seberang jalan. Ia tersenyum kemudian mulai makan. Sementara gua memeriksa isi tas milik Anggi. Mengeluarkan kotak makan miliknya yang kini kosong lalu mencucinya.
Begitu Anggi selesai makan ia langsung bermain. Iya, Anggi banyak menghabiskan waktunya bermain di dalam toko. Kadang ia berkeliling rak barang, sambil berlagak menjadi seorang pelari atau duduk di meja kasir, berpura-pura melayani pelanggan. Toko ini merupakan wahana permainannya.
Biasanya setelah puas bermain dan kelelahan, ia akan berbaring di kasur kecil di belakang toko dengan botol susu di tangannya. Nggak butuh waktu lama buatnya untuk tidur begitu berbaring. Iya Pelor; Nempel langsung Molor.
Anggi bakal bangun saat hari menjelang sore. Setelah tidur, gua memberikannya kesempatan untuk bermain di luar toko. Biasanya, Galih, anak pemilik Konter Ponsel yang jadi teman bermainnya. Atau, ia akan ke belakang toko, tempat dimana banyak anak-anak seusianya menghabiskan sore dengan bermain bersama.
Selepas Maghrib, gua tengah duduk di kursi kayu depan toko, bersiap-siap untuk pulang sambil menunggu Rohman mengantarkan pesanan. Sementara, Anggi sibuk menonton acara kartun di televisi di dalam toko. Dari kejauhan terlihat mobil sedan hitam yang tadi pagi pengemudinya melempar uang ke arah gua. Ia berhenti tepat di depan toko, kali ini ia memarkir mobilnya dengan benar dan santun hingga nggak mengganggu kendaraan lain yang lewat.
Perempuan itu turun dari mobil dan berjalan mendekat. Sementara gua langsung bergegas masuk ke dalam, mengambil lembaran uang 100 ribuan lecek dari laci meja kasir untuk mengembalikan uang itu padanya.
“Jadi berapa yang tadi?” Tanyanya.
“Nggak usah…” Jawab gua seraya mengembalikan lembaran uang miliknya. Dengan cepat ia meraih lembaran uang tersebut dan menukarnya dengan selembar 10 ribuan.
Gua tersenyum, dan mengulang kembali ucapan sebelumnya; “Nggak usah mbak”
Ia menatap gua tajam, sebelum akhirnya memasukkan kembali lembaran uang tersebut ke dalam dompet. Tanpa kata, ia berbalik dan pergi menuju ke mobilnya. Gua menebak kalau perempuan tersebut bukan orang sembarangan, atau paling tidak anak orang kaya, terlihat dari mobil sedan yang ia kendarai; terlampau mewah untuk seorang pekerja kantoran biasa.
Sebelum pulang, gua menyempatkan diri untuk membeli ayam goreng dari kios di ujung bangunan untuk makan malam Anggi. Begitu Rohman kembali dari mengantar pesanan, gua lantas mengajak Anggi untuk pulang. Agak sulit memisahkan Anggi dengan acara kartun kesayangannya itu, hingga gua harus rela menunggu sampai acara tersebut selesai.
Gua menggendong Anggi di punggung sementara tangan kanan gua memegang tas dan plastik bungkusan berisi ayam goreng. Dengan Anggi di gendongan, gua melangkah menyusuri jalan tanpa trotoar. Sesekali gua merapat ke sisi jalan saat ada sorotan lampu mobil mendekat, takut keserempet. Gua sengaja memilih lewat sisi jalan utama agar bisa sampai di rumah lebih cepat.
Di kejauhan gua melihat sedan hitam berhenti di tepi jalan dengan kedua lampu hazard menyala dan bagasi belakang dibiarkan terbuka. Di sisi mobil terlihat, seorang perempuan tengah sibuk dengan ponselnya, perempuan yang sama dengan yang melempar uang ke arah gua, ia tengah menunduk dan memeriksa ban bagian depan sebelah kiri.
“Kenapa mbak?” Tanya gua, sementara Anggi menggeliat di punggung gua, penasaran dengan apa yang terjadi.
Perempuan itu lalu menoleh, lalu dengan cepat mengarahkan senter dari ponselnya ke arah gua. Sambil memicingkan mata dan mengangkat tangan karena silau.
“Nggak tau, tadi pas lagi jalan tiba-tiba kayak bocor gitu..” Jawabnya seraya menunjuk ke arah ban depan sebelah kiri dengan senter dari ponselnya.
“Perlu bantuan?” Tanya gua pelan. Perempuan tersebut nggak langsung menjawab. Ekspresi wajahnya menunjukkan rasa was was yang nggak bisa disembunyikan. Lumrah sih, seorang perempuan menyematkan kecurigaan kepada pria asing di pinggir jalan. Pun, kami sudah dua kali bertemu, sebagai pembeli dan penjual.
Ia menggelengkan kepalanya.
Gua mengangguk dan berlalu melewatinya, melanjutkan perjalanan dengan Anggi masih berada di gendongan gua menuju ke rumah.
Sesampainya dirumah, gua dan Anggi langsung makan malam. Setelah makan, Anggi langsung menuang kotak plastik besar berisi mainan dan mulai bermain sendiri. Sesekali, ia mencoba mengajak gua untuk bermain peran dengannya.
Lelah bermain, ia mendekat dan bicara; “Pah, susu…” Pintanya manja.
“Yaudah beresin mainannya, cuci kaki, sikat gigi terus masuk kamar, nanti papah bikinin susu…” Jawab gua.
Anggi lantas mulai menuruti permintaan gua, memunguti satu persatu mainan yang berserakan ke dalam kotak plastik besar. Lalu berlari menuju ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya.
Setelah membuat susu dan menemani Anggi tidur, gua keluar menuju teras, duduk di kursi bambu dan mulai merokok. Sesekali gua mengecek email melalui ponsel dan beberapa pesan masuk yang perlu untuk segera gua respon.
Gua meraih bungkus rokok yang kini kosong. ‘Yah..’
Diubah oleh robotpintar 01-09-2023 02:23
sheillaaurel977 dan 201 lainnya memberi reputasi
198
282.9K
Kutip
2.2K
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TS
robotpintar
#711
#57 - You, just like sushi
Spoiler for #57 - You, just like sushi:
Dua hari berikutnya, gua menemani Lady untuk mengurus Visa ke Kanada di kantor VFS yang berlokasi di area Kuningan, Jakarta. Sejatinya, mengurus Visa bisa dilakukan via online. Tapi, karena ingin lebih cepat, kami sengaja mengurusnya secara offline dengan datang ke kantor.
Normalnya, pengajuan visa ke Kanada membutuhkan waktu kurang lebih satu minggu. Tapi, jika dokumen sudah lengkap dan ada surat sakti yang berupa recommendation letter dari pihak internal Kanada, proses bisa jadi lebih cepat.
“Nah, elo kok nggak ngurus? Visa lo emang masih aktif?”Tanya Lady ke gua, saat gua tengah menemaninya mengantri untuk proses wawancara.
“Masih..” Gua menjawab singkat.
Kanada sebenarnya salah satu negara dengan pengajuan Visa yang relatif mudah, murah dan punya masa berlaku lama. Masa berlaku Visa Kanada berlaku mengikuti masa berlaku paspor. Jadi, kalau kita buat Visa Kanada bersamaan dengan pembuatan paspor maka, Visa Kanada-nya punya batas kadaluarsa selama lima tahun, sama dengan masa berlaku paspor.
“Berarti nyari sekolah Anggi gue hold dulu ya?” Tanya Lady.
“Iya…”
“Diana, Lady…” Terdengar panggilan dari pengeras suara ruang tunggu. Lady, berdiri dan berjalan masuk ke dalam ruangan kaca dimana proses wawancara atau ‘janji temu’ berlangsung.
Setelah menunggu cukup lama, Lady keluar dari ruangan dan langsung melangkah mendekat ke gua; “Yuk” Ajaknya.
“Udah?”
“Udah…”
—
Beberapa hari berikutnya, Lady disibukkan dengan pekerjaan kantor. Ia berusaha untuk ‘menabung’ jam kerja agar bisa punya waktu lengang untuk pergi ke Kanada. Dan gara-gara hal tersebut, nggak hanya Lady yang sibuk, hampir seluruh timnya jadi kelimpungan, berusaha mengikuti pace-nya yang secepat kilat.
Suatu waktu bahkan Lady dan timnya bekerja lembur demi menyelesaikan plan campaign yang sebenarnya masih akan berlangsung beberapa minggu ke depan. Saat itu, gua sudah pulang dan berada di rumah.
“Lo dimana?” Tanya gua ke Lady melalui sambungan ponsel.
“Masih di kantor” Jawabnya.
“Ngapain? lembur?”
“Iya. Jemput dong…” Pintanya.
“Ya nanti kalo Anggi mau.. Kalo Anggi nggak mau, ya lo balik sendiri aja..”
“Yaah…”
“Lo lembur sama siapa?” Tanya gua lagi.
“Sama semuanya…”
“What? satu tim lembur semua cuma gara-gara lo mau pergi ke Kanada?” Tanya gua.
“Hehe iya.. Tenang, mereka nggak klaim lemburan kok”
“Duh, klaim aja. Masak iya lembur nggak dibayar..”
Gua mengakhiri panggilan, dan langsung bertanya ke Anggi; “Anggi mau ikut papah nggak?” Tanya gua.
“Kemana Pah?”
“Jemput Tante cantik”
“Mau..” Anggi menjawab cepat.
Dengan menggunakan taksi, gua dan Anggi berangkat menuju ke kantor. Karena saat ini sore hari dan gua menuju ke arah yang berlawanan, jadi sama jalan terasa lancar, kami sama sekali nggak terdampak pada kemacetan jalan yang justru terjadi ke arah sebaliknya.
Sebelum masuk ke dalam gedung dan naik ke lantai atas, gua memutuskan untuk mampir ke minimarket yang berada di lobby gedung sebelah; membeli snack dan cemilan untuk Lady dan rekan-rekan yang lain.
Yang tentu saja, langsung disambut rengekan Anggi meminta es krim.
Lampur ruang kantor terlihat gelap, hanya samar temaram cahaya dari layar laptop yang berasal dari meja kerja Lady bersama rekan-rekan yang lain dan beberapa cahaya dari laptop lain yang tersebar di seisi ruangan. Rupanya, yang bekerja lembur tak hanya Lady dan tim marketing.
Gua nggak langsung menuju ke tempat Lady, melainkan ke salah satu meja dimana dua orang staf business and development terlihat duduk sambil menatap layar laptop. Sementara, Anggi nggak perlu ditanya lagi, ia langsung berlari menghampiri tante cantiknya itu.
“Lembur?” Tanya gua ke salah satunya.
“Nggak kak.. emang sengaja nunggu jalanan lancar…” Jawabnya.
“Oh. kirain lembur..” Ucap gua seraya mengeluarkan dua kaleng kopi instan untuk mereka berdua.
Gua lalu beralih dan mendekat ke arah meja kerja Lady dan rekan-rekannya yang lain. Setelah meletakkan dua plastik besar berisi minuman ringan dan cemilan, gua langsung buka suara ke mereka semua; “Pada ngisi form lembur nggak?”
“Nggak kak, Kata Lady nggak us…”
Belum sempat Fitri menyelesaikan kalimat, gua langsung memotong ucapannya; “Isi aja..”
“Hah, bener kak?” Tanya Fitri seraya melirik ke arah Lady yang kini sibuk membuka plastik dan mengeluarkan satu persatu isinya bersama dengan Anggi.
“Iya, isi aja… Kalo Lady nggak mau approve, kasih tau gua..” Gua menambahkan.
Dengan perintah Lady, Anggi lalu mulai membagikan snack dan minuman ringan kepada setiap orang yang berada di sekitar meja kerja. “Wah thank you Anggi..” Ucap setiap orang yang mendapat jatah snack darinya.
“Sama-sama” Anggi memberi jawaban dengan gayanya yang lucu.
Sementara, gua mendekat ke arah mereka, menatap ke salah satu layar laptop dan bertanya; “Kalian lagi jalanin plan campaign yang di propose kemarin kan?” Tanya gua.
“Iya..” Lady menjawab singkat.
“Udah sampe mana?” Tanya gua lagi.
“Sebenernya udah mau selesai sih Kak, tinggal di execute aja..” Jawab Fitri.
Gua lalu menggeser kursor pada laptop, menurunkan halaman demi halaman, lalu kembali memberikan komentar.
“Ini udah based on audience & market research yang kemarin kan?” Tanya gua lagi.
“Iya kak..”
“Siapa yang di the research?”
“Gue kak..” Paul lalu berdiri dan menunjuk jarinya.
“Coba liat datanya..”
Dengan cekatan ia meraih laptop miliknya, membawanya mendekat dan memperlihatkan data hasil research yang sudah ia lakukan.
“Nah, kalau based on plan yang kalian proposed kemarin kan seharusnya di project ini targetnya adalah brands atau pemilik usaha UMKM. Karena di project sebelumnya targetnya general.. Tapi, kenapa result researchnya mirip?”
“...”
“... Lo pake daftar pertanyaan yang sama?” Tanya gua ke Paul.
“Iya kak” Ia menjawab singkat.
“Jangan… ini sama aja kayak lo nanya apa itu arti ‘Atos’ ke orang sunda sama orang jawa..”
Mendengar penjelasan gua, hampir semua yang berada disana terbelalak. Mungkin merasa mereka harus mengulang semua plan karena hasil research yang salah. Dalam dunia marketing, market research adalah salah satu komponen kunci untuk mendapatkan data yang valid. Caranya, bermacam-macam, bisa dengan interview, menyebar polling hingga A/B testing.
Kalau, based data researchnya sudah salah, maka bisa dipastikan plan campaign dan strategi marketing jitu dan sekaliber apapun bakal nggak efektif.
“Tenang.. nggak usah pusing” Gua menambahkan.
“...”
“... Sekarang gini aja, kayaknya pas di awal-awal dulu, Lady pernah do the sampling research tentang penggiat UMKM..”
“Iya pernah…” Lady menjawab.
“Nah, pake data itu aja.. Emang namanya juga sampling, margin errornya pasti gede, tapi paling nggak validitas datanya tinggi..”
“...”
“... Coba buka Lad hasilnya…” Ucap gua ke Lady. Yang lalu direspon Lady dengan membuka data dari laptop miliknya. Kami semua lalu bergeser, menatap ke arah layar laptop milik Lady.
“...”
“... Dari data ini, lo breakdown lagi, bikin per segmen. Nanti segmennya lo layering lagi, layer pertama should be knowledge tentang services kita; Berapa persen dari mereka; si penggiat UMKM ini yang udah tau apa itu influencers atau micro influencers? Buat yang belum tau, lo educate mereka dulu, kenalin apa itu influencers. Caranya; ya lo pikirin dah. Terserah mau lewat Ads atau CRM, push notification, email blast..”
“...”
“... Layer berikutnya mungkin tingkat pendidikan, layer selanjutnya usia dan besaran modal usaha. Nah tiga layer terakhir ini harus dihitung dependency ratio-nya juga, biar semakin tepat sasaran. Misalnya, tingkat pendidikan SMA, usia 55 tahun, besaran modal under 20 juta; sudah pasti dia nggak tau apa itu influencers…”
“Oke kak, sip-sip… duh lega rasanya” Paul merespon sambil mengelus dada.
“Duh seneng deh dapet pencerahan yang nyaman kayak gini…” Fitri bicara.
“...”
“... Kalo Lady yang jelasin mah, sambil emosi, marah-marah, kan kita jadi ngeri…” Fitri menambahkan sambil cekikikan dan memeluk Lady.
“Yee awas lo kalo nanya lagi, gue pelintir leher lo..” Lady merespon.
“Tuh, kayak gitu tuh kak…” Ucap Fitri seraya menunjuk ke arah Lady.
Gua tersenyum dan menatap Lady.
“Gini aja, nanti lo coba ajuin MP ke Sari.. Minta satu orang marketing researcher aja. Jadi si Paul nggak usah pusing lagi ngurusin research..”
“Emang boleh?” Tanya Lady.
“Boleh.. ajuin aja, nanti gua approve…” Gua menjawab.
“Ih senangnya punya pacar CEO…” Fitri mulai kembali menggoda Lady.
Nggak lama berselang, mereka melanjutkan pekerjaannya hingga kurang lebih satu jam. Setelahnya, satu persatu mulai menutup, mematikan laptop dan membereskan peralatan.
Begitu juga dengan Lady. Sementara, gua masih duduk di belakang Lady sambil memangku Anggi yang sejak tadi menatap ke bawah, ke arah jalan raya, melihat lampu mobil berkelip dari jendela besar di sisi ruangan.
Dengan tas sudah berada di bahunya, Paul mendekat ke gua; “Kak, besok-besok kalo gue mau nanya ke elo boleh?”
“Haha, boleh kok..” Jawab gua singkat.
Tiba-tiba Lady berpaling, menunjuk Paul dan menatapnya tajam; “Heh, lo ngerti hierarki nggak?”
Paul lalu menatap gua, seakan meminta perlindungan dari tatapan suram Lady.
“Ya, nanya ke Lady juga boleh. Sama aja.. dia lebih pinter dari gua kok..” Ucap gua.
“...”
“... cuma emang agak galak aja” gua menambahkan.
Lady lalu berpaling menatap ke arah gua.
Beberapa menit berikutnya, rekan-rekan yang lain pamit untuk pulang. Sementara, gua masih menunggu Lady membereskan peralatannya. Entah kenapa, ia butuh waktu lebih lama membenahi barang-barang ketimbang beberapa temannya yang lain. Mungkin, karena saking banyak barang printilan yang dibawanya ke kantor; entah mau kerja atau mau sirkus.
“Banyak amat bawaan lo?” Tanya gua seraya mengambil alih tas kerja miliknya yang terlihat berat.
“Iya, besok kan mau kerja dari rumah, terus pas di Halifax nanti, gue kan juga masih harus kerja..” Lady menjawab.
“Lah, kerja kan cuma modal laptop aja? iya nggak sih?”
“Gue kan juga butuh tablet buat corat-coret, headphone buat meeting, mouse, mouse pad, keyboard eksternal …”
Gua membuka tasnya, mengintip ke dalam dan mendapati dua buah action figure minion hadiah dari restoran fast food berada disana. “Terus ini minion buat apa?”
“Iya, gue tuh kalo meeting online tangan gue suka iseng.. nah si minion itu buat gue pegang-pegang aja kalo meeting..”
“Wah, memang luar biasa perempuan satu ini…” Gua menggumam pelan.
Lady mengabaikan ucapan gua, ia dan Anggi, saling bergandengan tangan, mempercepat langkah, membuat suara gaung di area parkiran basement.
Begitu kami sudah di dalam mobil dan keluar dari area parkir gedung kantor, Anggi terus merengek; meminta mampir ke restoran cepat saji yang banyak berjejer di sisi jalan.
“Anggi mau mam ayam Tante cantik…” Rengek Anggi ke Lady, karena merasa merengek ke gua nggak bakal mendapat tanggapan. Siang tadi, ia baru saja makan menu fast food dan gua menolak untuk mengajaknya kembali makan menu yang sama.
“Lho, kata papah tadi siang Anggi udah mam ayam?” Tanya Lady seraya memeluk Anggi yang berada di pangkuannya.
“Iya, tapi Anggi mau lagi. Anggi kan suka kali sama ayam..”
“Gimana kalau kita makan ikan? sushi? mau?” Lady memberi penawaran. Yang lalu disambut dengan anggukan kepala Anggi tanpa sedikit pun melayangkan protes.
‘What!?’ dulu pernah Reni mengajak Anggi untuk makan Sushi, dan setelahnya ia menolak saat diajak kembali. Gua dan Anggi punya kesamaan; makanan mentah bukanlah makanan. Dan entah kenapa kali ini, Anggi langsung setuju begitu Lady mengajaknya makan Sushi. Atau jangan-jangan, Anggi hanya lupa apa itu ‘Sushi’?
“Mampir ke **** dulu berarti Je, tuh di depan nanti belok kiri…” Ucap Lady seraya menunjuk ke arah depan, ke arah pertigaan lampu merah.
“Ya…” Gua menjawab singkat.
Nggak seberapa lama, kami sudah tiba di restoran Sushi. Anggi dan Lady berjalan lebih dulu masuk ke dalam resto sementara gua menyusul setelah memarkir mobil.
Keluar dari mobil, gua melangkah menjauh dari area resto ke sebuah kios kecil di tepi jalan. Kios yang berdiri di atas trotoar, dengan banyak driver ojek online duduk berjejer sambil menikmati sebatang rokok dan segelas kopi dari gelas plastik.
Gua meraih dua bungkus roti kemasan dari rak plastik dan membayarnya. Masih sambil berdiri, gua menyulut sebatang rokok, dan mulai memakan roti yang baru saja gua bayar.
Ponsel gua berdering, layarnya menampilkan nama dan foto Lady; “Halo…”
“Dimana?” Tanyanya.
“Di depan, ngerokok dulu sebentar..” Jawab gua.
“Oh, yaudah… gue diatas ya..” Ucap Lady, merujuk ke lantai dua resto.
“Iya…”
Beberapa saat berikutnya, gua sudah bergabung bersama Lady dan Anggi. Terlihat Anggi sudah duduk manis, seraya menerima suapan dari Lady berupa potongan besar norimaki ke dalam mulutnya.
Gua mengernyitkan dahi, menatap ke arah Anggi, lalu bertanya; “Enak Nggi?” tanya gua ke Anggi.
“Enyak..” Jawab Anggi.
“Kenapa? lo nggak suka?” Tanya Lady, yang lalu gua jawab dengan gelengan kepala.
...
Katanya lo suka makanan apapun
Gua kan bilang makanan. Dan daging yang nggak dimasak menurut gua bukan makanan"
Lady lalu mengambil norimaki; jenis yang sama dengan yang ia berikan ke Anggi, dengan sumpit dan menyodorkannya tepat ke mulut gua. Dengan cepat gua menoleh, memberi penolakan. Lady berdecak, dan memaksa gua; “Ck.. coba dulu…”
Penuh keraguan, gua mulai membuka mulut. Dengan cepat Lady memasukkan potongan besar norimaki ke dalam mulut. Gua memejamkan mata, dan mulai mengunyah potongan besar tersebut.
Gua terbelalak, menatap ke arah lady. ‘Eh, kok enak?’ Batin gua dalam hati.
Menyadari perubahan ekspresi wajah gua barusan, Lady langsung tersenyum. Mengambilkan beberapa porsi menu yang sama dan meletakkan di atas piring tepat di depan gua. “Enak kan? makanya apa-apa tuh di coba dulu…”
“Iya…”
Lady lalu menggeser mangkok kecil berisi cairan berwarna hitam yang dari teksturnya terlihat mirip kecap. “Nih, pake ini…” Ucapnya.
“...”
“... Lo pertama makan sushi sama siapa?” Tanya Lady.
“...”
“... Sama ‘dia’?”
“Reni..” Gua menjawab.
“Pasti sama Reni langsung di kasih sashimi?” Tanyanya lagi.
“Iya kali…” Jawab gua, karena nggak ingat dengan pasti.
“Ada trik buat ngajak orang yang belum pernah makan Sushi..”
“Apa?” Tanya gua.
“Pertama, ajak ke resto sushi yang paling enak dan mahal. Kedua, jangan langsung kasih sashimi, tapi, kasih ini dulu…” Ucapnya seraya menunjuk ke arah norimaki yang tersaji di hadapan kami.
“...”
“... Nanti, biar mereka yang memutuskan sendiri kapan waktu yang tepat buat nyoba sashimi..”
“Oh, I See..” Gua mengangguk dan menyadari strategi yang baru saja dijelaskan Lady. Umumnya, orang mengunjungi resto Sushi untuk makan sashimi atau menu ‘ikan mentah’.
Buat orang Indonesia tok tok kayak gua, makan ikan mentah jelas bukan pilihan. Tapi, menu yang baru saja diberikan Lady, norimaki. Makanan berbentuk bundar, berupa nasi yang berisi aneka lauk, seperti irisan timun, salmon, telur, sayuran dan alpukat. Semuanya telah dibumbui dengan cuka beras, dan pada bagian terluarnya terbalut nori atau rumput laut kering khas Jepang.
Jadi, walaupun berisi potongan salmon mentah, karena dibalut nasi dan komponen lainnya, mulut gua bisa beradaptasi dengan cepat. Dan sepertinya ini berlaku juga untuk Anggi yang kini sudah menghabiskan beberapa potong Norimaki.
Sambil mulutnya nggak berhenti mengunyah, Lady bicara; “Sushi tuh mengingatkan gue akan elo..”
“Hah?”
“Banyak yang underestimate rasanya, bahkan sebelum mencoba. Sama kayak waktu gue pertama kali ketemu lo di toko plastik. Gue langsung memberi penilaian serendah-rendahnya tanpa mencoba mengenal lo…” Ucapnya.
Anggi lalu menoleh dan menatap ke arah Lady, seakan mengerti dengan apa yang diucapkannya barusan; “Kalo Anggi kayak apa?” Tanyanya.
Gua dan Lady langsung tertawa begitu mendengar pertanyaan Anggi barusan.
“Mmm.. Kalau papah mengingatkan aku ke sushi, kalau Anggi selalu mengingatkan aku ke air putih…”
“Kok aku air putih, tante?” Anggi melayangkan protes.
“Iya, soalnya tante nggak bisa makan tanpa minum air putih.. Mirip kayak Anggi, Tante nggak bisa hidup kalau nggak ada Anggi..” Jawab Lady sambil tersenyum kemudian mengecup lembut kening Anggi.
“Kalo gitu, Tante cantik kayak ayam goreng, Soalnya aku kan suka banget sama ayam goreng..” Celetuk Anggi.
“Ayam kampus kali..” Gua menggumam pelan. Namun sepertinya, gumaman gua tersebut terdengar oleh Lady yang langsung dengan sigap meraih sumpit dan bersiap mencolok kedua mata gua.
—
Smash Mouth - All Star
Somebody once told me the world is gonna roll me
I ain't the sharpest tool in the shed
She was looking kind of dumb with her finger and her thumb
In the shape of an "L" on her forehead
Well, the years start coming and they don't stop coming
Fed to the rules and I hit the ground running
Didn't make sense not to live for fun
Your brain gets smart but your head gets dumb
So much to do, so much to see
So what's wrong with taking the back streets?
You'll never know if you don't go (GO!)
You'll never shine if you don't glow
Hey, now, you're an all-star, get your game on, go play
Hey, now, you're a rock star, get the show on, get paid
And all that glitters is gold
Only shooting stars break the mold
It's a cool place and they say it gets colder
You're bundled up now wait 'til you get older
But the meteor man beg to differ
Judging by the hole in the satellite picture
The ice we skate is getting pretty thin
The water's getting warm so you might as well swim
My world's on fire. How about yours?
That's the way I like it and I'll never get bored
Hey, now, you're an all-star, get your game on, go play
Hey, now, you're a rock star, get the show on, get paid
And all that glitters is gold
Only shooting stars break the mold
Go for the moon
Go for the moon
Go for the moon
Go for the moon
Hey, now, you're an all-star, get your game on, go play
Hey, now, you're a rock star, get the show on, get paid
And all that glitters is gold
Only shooting stars
Somebody once asked could I spare some change for gas
I need to get myself away from this place
I said yep, what a concept
I could use a little fuel myself
And we could all use a little change
Well, the years start coming and they don't stop coming
Fed to the rules and I hit the ground running
Didn't make sense not to live for fun
Your brain gets smart but your head gets dumb
So much to do, so much to see
So what's wrong with taking the back streets?
You'll never know if you don't go
You'll never shine if you don't glow
Hey, now, you're an all-star, get your game on, go play
Hey, now, you're a rock star, get the show on, get paid
And all that glitters is gold
Only shooting stars break the mold
And all that glitters is gold
Only shooting stars break the mold
Diubah oleh robotpintar 13-11-2023 03:37
jiyanq dan 64 lainnya memberi reputasi
65
Kutip
Balas
Tutup