Gua berbaring, tengkurap di atas lantai menghadap ke arah lembaran pertama sketchbook pemberian Poppy, sementara pensil mekanik menari-nari di tangan gua. Mencoba mengingat detail jalan dan bangunan-banguan disekitar rumah Poppy; Hal yang pertama gua ingat saat melihat sketchbook ini.
Jam menunjukkan pukul 4 dini hari, begitu gua selesai dengan sebuah gambar. Gambar pertama yang gua buat dengan ‘benar’, menggunakan alat yang ‘proper’, dan juga di tempat yang proper. Gua bangkit, duduk, kemudian meregangkan kedua tangan dan menatap hasil gambar gua di atas lembaran pertama sketchbook.
Dulu, gua nggak butuh waktu selama ini untuk membuat hasil karya yang kualitasnya sama dengan yang saat ini ada di hadapan gua. Dengan ‘kemampuan’ saat itu, mungkin gua bisa menyelesaikan gambar ini selama 15 menit, dimana sekarang gua butuh waktu berjam-jam. Entah mungkin karena tangan gua sudah tak lagi terlatih?
Gua lalu kembali berbaring, kini sengaja menjatuhkan diri di atas ranjang, menatap ke arah langit-langit kamar, teringat akan pertemuan kembali dengan Tata tadi. ‘Kenapa harus sekarang?’ batin gua di dalam hati.
Seiring dengan gua yang mulai terlelap, samar terdengar suara adzan Subuh yang menggema dan bersahut-sahutan.
Suara-suara aneh terdengar di dalam kamar, dengan rasa kantuk yang masih luar biasa terasa, gua mencoba membuka mata dan mendapati sosol perempuan tengah duduk di lantai, di sebelah ranjang gua, disusul tercium aroma khas mie instan yang menggugah selera. Gua membuka mata dan mendapati Poppy tengah duduk, menatap ke arah gambar gua di sketchbook sementara tangan kirinya memegang cup mie instan dan satu tangannya yang lain sibuk mengaduk-aduk mie.
Gua duduk dan mendongak, menatap ke arah jam dinding yang kini menunjukkan pukul 6 pagi. Bukan hal yang aneh kala mendapati Poppy sudah berada di kamar kost gua pagi-pagi buta begini. Karena ia tau gua jarang mengunci pintu kamar kost. Sadar, kalau memang nggak ada yang bisa dimaling di sini. Jadi, daripada dia ribut ngetok-ngetok pintu pagi-pagi dan mengganggu gua juga tetangga kost lainnya, seperti yang sering terjadi kemarin-kemarin. Lebih baik gua membiarkan pintu nggak terkunci.
Poppy menoleh ke arah gua, sebentar. Seakan nggak terjadi apa-apa, ia lalu kembali berpaling menghadapi gambar pada sketchbook. Sementara, gua meraih ponsel yang layarnya masih menampilkan foto dirinya dan menyodorkannya ke Poppy.
Ia kembali menoleh dan menatap gua, memberi pandangan bingung.
“Ganti nih, foto background-nya” Ucap gua dengan tangan masih menyodorkan ponsel ke arahnya.
Poppy meletakkan cup mie instan di atas lantai, lalu meraih ponsel milik gua.
“Emang kenapa harus di ganti?” Tanyanya.
“Nggak enak aja diliat sama orang” Gua menjawab santai, sambil kembali berbaring di atas ranjang.
“Orang? Siapa?” Ia kembali bertanya, kini tangannya sibuk menekan-nekan tombol di layar, mencoba mengganti gambar latar pada ponsel gua.
“Ya orang-orang” Jawab gua asal.
“Iya.. Orang-orang itu siapa? Sebut namanya!” Seru Poppy, sementara tangannya masih sibuk di atas layar ponsel.
“Ya orang” gua menjawab sambil menggaruk kepala.
Poppy lalu mengembalikan ponsel ke gua dan latar layarnya masih menampilkan foto yang sama.
Entah kenapa, sejak kejadian tadi malam, saat Tata mendapati foto Poppy pada layar ponsel, gua merasa ingin segera menggantinya. Tapi, di sisi lain, saat Poppy bersikeras enggan menggantinya, gua juga merasa fine-fine aja. ‘Ada apa ini?’
Jika, ditanya apakah gua masih memiliki perasaan terhadap Tata. Jawabannya; tentu saja perasaan itu nggak pernah pergi. Tapi, dengan berbagai macam variabel yang ada saat ini, kemungkinan gua untuk kembali padanya hampir mustahil terjadi. Apalagi, secara nggak sengaja, gua sempat melihat foto mesra Tata bersama pria lain di layar ponselnya.
“Udah biarin aja” ujarnya acuh, kemudian melanjutkan makan mie instan.
Dengan satu tangannya ia lalu mengambil cup mie instan baru dari dalam plastik dan meletakkannya persis di hadapan gua.
“Nih, tuh air panasnya masih ada dikit” Tambahnya seraya menunjuk dengan dagu ke arah teko air panas di sudut ruangan.
Gua kembali bangun, membuka kemasan cup mie instan dan mulai menyeduhnya.
“Abis makan, mau anterin gua ke stasiun nggak?” Tanya Poppy tanpa memalingkan wajahnya.
“Iya”
“Tapi kalo lo masih ngantuk nggak usah juga gapapa, gua jalan sendiri aja” Poppy menambahkan.
Sebuah pilihan yang membuat gua bingung.
Dengan meminjam sepeda milik Bu Marni, pada akhirnya gua mengantarkan Poppy ke stasiun. Sebelumnya, sudah beberapa kali gua meminjam sepeda Bu Marni untuk mengantar Poppy ke stasiun. Bu Marni bahkan sempat menawarkan kami untuk menggunakan sepeda motor miliknya, namun sayang; gua sudah terlalu lama nggak mengendarai sepeda motor; takut nabrak. Lagian, sekarang ini, SIM pun gua nggak ada.
Gua mulai mengayuh sepeda, sementara Poppy duduk di atas palang besi sepeda, dengan posisi serong tepat di depan gua. Dengan posisi seperti sekarang ini, wajah kami berdua terasa begitu dekat. Gua bahkan bisa mencium aroma wangi rambutnya yang khas walau sudah di tutup nya dengan topi.
Sementara, sesekali Poppy menoleh, dan mendongak menatap ke arah gua sambil tersenyum; “Capek nggak?” Tanyanya.
“Nggak. Emang kalo gua capek lo mau gantian?” Gua balik bertanya.
“Ogah lah” Jawabnya singkat.
“...”
“... Lagian kan lo sendiri yang nawarin buat nganterin gua ke stasiun selama yang gua mau, sebagai ganti sketchbook dan peralatan gambar yang udah gua beliin” Poppy menambahkan.
“Iya lho Pop. Gua kan juga nggak minta gantian…” Gua menjawab sambil cengengesan, karena dia mencak-mencak heboh sendiri.
“Itu tadi lo nanya?” Ucapnya.
“Ya cuma nanya doang” Jawab gua singkat.
Saat mulai memasuki area pasar Palmerah yang ramai dan berantakan, Gua turun dari sepeda dan mulai menuntunnya, sedangkan Poppy masih duduk manis dengan pose yang sama. Sesekali ia menaikkan kedua kakinya, takut sepatunya terkena cipratan lumpur di tengah pasar. Setelah keluar dari pasar dan tiba di jalan raya, barulah gua kembali menaiki sepeda dan mengayuhnya menuju ke stasiun.
“Ntar, mau di jemput?” Tanya gua.
Poppy yang sudah beberapa langkah menjauh, kini kembali; “Serius? Emang lo nggak ke kedai?”
“Hari ini gua libur” Gua menjawab.
“What!!, oh kedai lo itu ada hari liburnya juga toh??” Tanyanya, tentu saja itu merupakan pertanyaan retoris yang nggak memerlukan jawaban. Pasalnya, sejak gua bekerja di kedai kopi, gua jarang mengambil jatah libur karena, bingung. Kalo libur, mau ngapain? Sekarang, kayaknya gua mau balik ke kost, lanjut tidur dan beristirahat.
“Yaudah nanti gua telpon ya” Jawab Poppy.
Ia lalu berbalik, bersiap menyebrangi jalan, menuju ke arah pintu masuk stasiun. Belum jauh ia melangkah, gua memanggil namanya. Ia lalu menoleh.
“Ati-ati ya Pop…” Ucap gua sambil melambai.
Tiba-tiba, wajahnya mulai memerah dan senyumnya terkembang. Ia membalas lambaian tangan gua lalu melanjutkan langkahnya.
Saat kembali, gua mampir sebentar ke pasar Palmerah. Berniat untuk berbelanja, mencoba melengkapi perlengkapan memasak, dimana saat ini gua hanya punya sebuah teko listrik murahan berbahan plastik yang biasa dipakai untuk masak air dan masak mie instan.
Hal pertama yang ingin gua beli adalah; Rice cooker.
Selesai membeli Rice cooker, tentu saja gua juga beli beras dan telur. Dengan begini, seharusnya gua bisa mengirit karena nggak harus beli makan di warteg. Dan bisa hidup ‘lumayan’ sehat ketimbang makan mie instan hampir setiap hari.
Begitu tiba di kamar kos. Gua langsung mengeluarkan rice cooker dari dalam kardusnya, mencari posisi yang tepat lalu mundur beberapa langkah sambil memicingkan mata. Setelah menjilat jari telunjuk, gua membalik halaman sketchbook dan mulai menggoreskan pensil mekanik, membentuk garis semi parabola; mulai menggambar rice cooker.
Selesai dengan rice cooker, berbekal buku panduan yang berada di bagian dalam kardus, gua membersihkan bagian dalam dan menggunakannya untuk memasak nasi. Sementara, beberapa butir telur, gua masukkan ke dalam teko listrik plastik yang sudah berisi air; merebus nya. Gua kembali memicingkan mata, dan mulai menggambar teko yang sudah berisi air dan dua butir telur.
Perlahan, gua mulai kembali menemukan keasyikan saat menggambar. Membuat gua tak lagi kebosanan, hingga waktu terasa berlalu begitu cepat.
Ponsel gua berdering, layar yang sebelumnya menampilkan Poppy tengah berpose, kini berganti dengan namanya.
“Halo” Ucap gua memberi sapaan.
Sementara di ujung sana, Poppy memberi jawaban dengan latar suara yang riuh rendah. “Jemput sekarang, Sal.. Gua udah di stasiun Tanah Abang”
“Hah? Gua jemput ke stasiun Tanah Abang? Naek sepeda?” Gua bertanya, mencoba memastikan dengan apa yang gua dengar.
“Bukan, bolot! Lo jalan jemput sekarang ke stasiun Palmerah. Gua udah di Tanah Abang” Jawabnya, kini dengan volume suara lebih tinggi.
“Oh, yaudah tunggu” Gua menjawab, mengakhiri panggilan dan bergegas turun kebawah. Kembali meminjam sepeda milik Bu Marni dan langsung menuju ke stasiun Palmerah.
Jujur, gua nggak tau seberapa jauh jarak antara stasiun Tanah Abang dengan stasiun Palmerah. Tapi, untuk jaga-jaga agar nggak terlambat, gua mengayuh sepeda sekuat mungkin agar bisa sampai di stasiun dengan cepat.
Gua tiba di stasiun dengan kaos yang basah karena peluh, begitu pula wajah gua yang nggak terhindar dari tetesan keringat di sekitar dahi dan sisi telinga.
Sambil mencoba mengatur nafas, gua turun dari sepeda dan duduk di sisi trotoar yang berada tepat di seberang pintu akses keluar masuk stasiun Palmerah.
Setelah menunggu beberapa lama, barulah terlihat Poppy keluar dari pintu stasiun. Ia langsung tau kalau gua sudah menunggunya.
“Capek banget kayaknya?” Tanyanya begitu melihat gua yang berpeluh.
Gua mendongak, balik menatapnya; “Ngebut tadi. Gua pikir lo udah deket”
“Kan gua udah bilang, tadi gua di Tanah Abang” Jawabnya.
“Ya gua kan nggak tau Tanah Abang ke sini seberapa jauh…”
Poppy tersenyum dan menepuk pelan kepala gua, persis seperti seorang majikan yang tengah memuji kelakuan anak anjingnya.
“Aduh kasiannya. Yaudah nanti gua beliin es teh ya…” Hiburnya.
Gua mengangguk, kemudian berdiri dan bersiap mengantarnya.
“Langsung ke Minimarket ya, Sal” Ucapnya saat berada di boncengan sepeda.
Sungguh kagum gua dibuatnya. Betapa Poppy selalu mengabaikan lelahnya bekerja setelah berkuliah. Belum lagi waktu yang seharusnya digunakan untuk dia istirahat malah dihabiskannya untuk gua.
“Nggak makan siang dulu?” Tanya gua.
“Nanti aja” Jawabnya.
“Emang nggak laper?”
Ia mendongak dan menatap ke arah gua; “Dulu lo cuma makan roti satu seharian, emang kenyang?” Poppy malah balas bertanya.
“Dulu gua makan roti satu sehari, karena nggak punya duit” Jawab gua, memberi alasan yang dia pun sudah tau.
Tiba di minimarket, Poppy langsung turun dari boncengan sepeda tanpa banyak basa-basi. Ia berlari dan masuk ke dalam bangunan, bahkan berpamitan pun tidak, mungkin sudah terlambat. Gua menyandarkan sepeda pada dinding area parkir dan masuk ke dalam minimarket.
Sambil terus menatap ke arah pintu karyawan di bagian belakang, gua berdiri di antara rak-rak yang berisi aneka snack, kue dan roti. Nggak seberapa lama, Poppy terlihat keluar melalui pintu karyawan, berjalan menuju ke meja kasir. Kini ia sudah berganti dengan seragam minimarket dan rambut yang di ikat sanggul ke atas. Seketika, gua meraih dua kemasan roti yang biasa gua beli, sebotol air mineral dan membawanya ke kasir.
Gua meletakkan dua kemasan roti juga sebotol air mineral di atas meja, sementara Poppy masih sibuk memasang kartu tanda pengenalnya tanpa memperhatikan kehadiran gua.
“Ada tambahannya kak?” Tanyanya seraya meraih belanjaan gua dan mulai memindainya. Setelahnya, barulah ia berpaling dan menatap ke arah gua.
Setelah selesai dengan pembayaran, gua meraih uang kembalian darinya dan meninggalkan belanjaan gua disana. Poppy mengernyitkan dahi dan memanggil nama gua; “Sal..”
Gua berbalik, dan bicara; “Buat lo… Makan dulu”
—
Gua berbaring di atas ranjang sambil memijat pergelangan tangan sendiri; pegal, setelah menyelesaikan gambar gua yang ke 10 hari ini. Ponsel gua berdering, gua mengernyitkan dahi; ‘siapa yang menelpon gua?’. Selama ini, orang yang kerap menghubungi gua melalui panggilan telepon hanyala Poppy. Dan saat ini ia sedang bekerja, dimana hampir mustahil dia ‘bermain’ ponsel. Gua meraba-raba, permukaan ranjang, mencari ponsel.
Layarnya menampilkan nama ‘Tata’.
Gua buru-buru bangkit. Sempat muncul keraguan di dalam hati, apakah ingin menjawab panggilan ini atau mengabaikannya.
Ponsel berhenti berdering.
Detik berikutnya, nama Tata kembali muncul pada layar, diiringi dering yang sama. Gua menghela nafas dan bersiap menjawab panggilannya.
“Halo…” Sapa gua.
“Halo, Sal…” Terdengar suara Tata di ujung sana. Suara yang sudah lama tak gua dengar; suaranya yang bicara melalui sambungan telepon.
“Ya…”
“Kamu nggak masuk?” Tanyanya.
“Libur” Gua menjawab singkat.
“Kamu sengaja libur karena nggak mau ketemu sama aku?” Tanyanya to the point.
“What?!”
“Aku mau ketemu dong…” Ucapnya.
“...”
“... Kamu bisa kesini? Atau aku yang ketempat kamu?” Tambahnya.
“Gua kesana aja…” Gua menjawab cepat.
“Yaudah aku tunggu di kedai ya” Ucapnya, kemudian mengakhiri panggilan.
Malam ini kondisi jalan nggak seramai seperti biasanya. Gua dengan cepat bisa tiba di kedai tanpa harus mepet-mepet tepian jalan untuk menghindari kendaraan yang lewat. Atau, menghentikan langkah sejenak guna memberi jalan untuk sepeda motor yang ingin mendahului mobil di depannya.
Beberapa saat berikutnya, gua sudah berada tepat di depan kedai. Alih-alih masuk melalui pintu belakang, gua menaiki tangga menuju ke lantai dua, masuk lewat pintu utama. Suara lonceng berbunyi seiring dengan pintu yang terbuka. “Selamat Mal…” Terdengar Novi bersiap memberi salam namun, kalimatnya terhenti begitu melihat kalau gua yang masuk ke dalam kedai.
Gua mengangguk dan tersenyum ke Novi yang tengah berdiri di balik mesin kasir, sementara gua yakin ada Dahlan yang sedang duduk, ‘bersembunyi’ di balik meja konter sambil bermain ponsel. Sementara, di salah satu meja, di sudut ruangan, terlihat Tata tengah duduk sendirian. Di hadapannya terdapat secangkir Cafe Latte yang isinya masih terlihat penuh.
“Di depan aja…” Gua bicara ke Tata dengan suara lirih, sambil sedikit membungkuk.
Ia lalu menunjuk ke arah cangkir Cafe Latte miliknya yang masih penuh. Dengan cepat gua mengambil cangkir tersebut, membawanya ke balik konter dan memindahkannya ke gelas plastik yang biasa digunakan untuk pembelian takeaway. Sementara, Novi dan Dahlan terlihat cukup terkejut dengan sikap gua saat ini.
Dengan gelas plastik berisi Cafe Latte milik Tata, gua berjalan menuju ke arah pintu keluar. Terlihat dari ujung mata, Tata berdiri dan segera menyusul gua.
Gua memilih tempat yang sama dengan malam sebelumnya; di area parkir, kami duduk di tempat yang sama; saling bersisian. Gua menyerahkan gelas plastik berisi Cafe Latte kepada Tata.
Ia membetulkan posisi duduknya, kemudian meraih gelas tersebut.
“Aku tadinya mau, balikin seragam kamu sekalian. Tapi, belum kering” Ucap Tata, membuka obrolan.
“Gapapa, gampang. Gua masih ada dua” Gua menjawab.
Kami lalu terdiam sesaat.
“Ada apa?” Tanya gua, kembali membuka topik obrolan.
“Semalem, ada yang belum sempat aku tanyain ke kamu” Ucap Tata.
“Apa?”
“Hmmm… Semalem aku lihat kamu bawa plastik yang isinya sketchbook. Kamu masih gambar?” Tanyanya.
“Masih… Nggak sih, baru mulai gambar lagi” Gua menjawab.
“Oh… Terus itu cewek yang di HP kamu. Siapa?” Setelah semalam nggak mendapatkan jawaban yang ia mau. Tata kembali mengajukan pertanyaan yang sama.
Gua menghela nafas sebentar, sebelum memberi jawaban.
“Lo mau jawaban kayak apa?” Tanya gua.
“Jawaban yang jujur” Jawabnya singkat.
“Dia, cewek pertama yang tau tentang masa lalu gua dan masih tetap ada ‘di samping’ gua…”
“Udah kenal berapa lama?” Tanyanya lagi.
“Mmm, nggak tau, paling baru beberapa bulan”
“Kamu suka sama dia?” Kali ini Tata mengajukan pertanyaan sambil menggeser posisi duduknya.
“Kayaknya iya” Gua menjawab, berusaha terlihat yakin.
“Terus aku gimana?” Tanyanya.
“Apanya yang gimana?” Gua balik bertanya.
Tata nggak langsung memberi jawaban. Ia menundukkan kepala sambil memainkan kuku-kuku jarinya. Sesekali, rambutnya yang dibiarkan tergerai tersapu angin malam yang menyejukkan.
“Kamu nggak mau nyoba sekali lagi?”
Kali ini giliran gua yang terdiam, sambil memijit bagian tengah dahi; berusaha memikirkan kata yang tepat untuk memberi jawaban untuknya. Jawaban yang sebisa mungkin nggak menyakiti dirinya, dan juga nggak bakal jadi ‘jebakan’ untuk diri gua sendiri.
“Kayaknya nggak bisa deh, Ta. Lo tau kan kalo dua orang yang meninggalkan rasa trauma yang mendalam nggak boleh bareng-bareng lagi. Yang ada, kita berdua malah saling terus merasa bersalah” Gua menjawab.
Tata lalu menoleh dan menatap gua. Terlihat ia sebisa mungkin berusaha untuk tersenyum, kemudian menganggukkan kepala.
“Lo lanjutin aja hidup lo. Sementara, gua lanjutin hidup gua. Jadi, nggak ada yang merasa terluka lagi, nggak ada yang merasa bersalah” Gua menambahkan.
“Tapi, mau kan kamu tetep jadi temen aku?” Tanyanya.
Gua mengernyitkan dahi, merasa nggak ada bedanya antara hubungan persahabatan dengan hubungan percintaan, dalam kasus kami berdua. Lebih baik nggak bertemu sama sekali. Tapi, jujur, gua nggak sampai hati kalau harus bilang kepadanya agar kita nggak usah ketemu lagi.
Akhirnya gua berbohong terhadap diri sendiri dan memberi jawaban dengan menganggukkan kepala.
Tata tersenyum sebentar, lalu berdiri dan kembali menatap gua.
“Sal, mau nggak kamu janji?” Tanyanya.
“Janji apa?”
“Seandainya nanti, selama kita berteman, dan ternyata diantara kita tumbuh kembali percikan cinta. Kamu jangan menghindar ya?”
Gua nggak menjawab, nggak bisa membuat janji yang belum tentu bisa gua tepati. Jangankan janji baru. Janji yang dulu pernah gua ucapkan kepadanya saja sampai saat ini belum pernah gua tepati.
“Sal…”
Gua menatap dirinya. Wajah cantiknya, tutur katanya yang lembut, dan gayanya yang elegan; sosok yang dulu pernah membuat gua jatuh hati kepadanya. Sosok yang kini berhasil kembali menghipnotis gual; menyetujui janji yang belum tentu bisa gua tepati.
Gua lalu mengangguk.
—