Aris lalu berpaling ke arahku dan mengangkat tangannya bersiap untuk melayangkan pukulan. Sontak aku langsung meringkuk, mencoba menutupi kepala dengan tangan. Namun, rupanya Aris mengurungkan niatnya. Ia lalu keluar dari mobil dan berlari secepat kilat mencoba memburu Marshall yang punggungnya masih terlihat.
Aku ikut keluar, kemudian berlari menyusulnya sambil mencoba sekuat tenaga berteriak untuk memberi peringatan kepada Marshall.
“Sal! Marshall… Marshall”
Marshall yang sudah berada jauh dari posisiku jelas nggak mendengarnya. Sementara, Aris, masih sambil berlari malah mempercepat langkahnya begitu mendengar teriakanku.
Nggak sampai semenit berselang, Aris berhasil menyusul Marshall. Sementara aku, masih terus berusaha secepat mungkin menggapai mereka.
Terlihat Aris menarik bahu Marshall, membuatnya berbalik dan langsung mencengkram ujung kerah bajunya. Marshall yang nggak tahu apa-apa hanya bisa pasang tampang bingung. Kemudian tatapannya beralih ke arahku yang kini semakin dekat.
“Lo Marshall kan?” Tanya Aris, masih sambil mencengkram ujung kaos Marshall.
Marshall mengangguk pelan, namun kali ini ekspresinya sudah tak lagi kebingungan. Mungkin karena melihat kedatanganku; merasa kalau Aris tengah dalam mode ‘cemburu’.
“Kapan lo bebas, hah?” Aris kembali bertanya.
Marshall nggak memberi jawaban.
Aku yang baru tiba langsung mencoba sekuat tenaga untuk melepaskan cengkraman Aris. Namun, ia terlalu kuat.
“Lepas ris, lepas!!” Teriakku.
Sementara, orang yang lalu lalang langsung menghentikan kegiatannya dan mulai menatap ke arah kami bertiga. Salah seorang pria yang sebelumnya duduk di kursi warung berdiri dan berteriak ke arah kami; “Woi, apa nih? Jangan bikin ribut disini”
Membaca situasi yang sepertinya tidak menguntungkannya, Aris perlahan mulai mengendurkan cengkraman dan melepasnya. Dengan nafasnya yang masih menderu dan tangan yang terkepal ia lalu merangkul Marshall dan membawanya ke arah dimana mobil Aris terparkir. Sementara, aku mengikuti mereka dari belakang.
“Ris, udah lepas ris…” ucapku berulang kali ke Aris. Namun, ia nggak menggubrisnya.
Begitu tiba di sisi mobil, barulah Aris melepas rangkulannya.
Ia lalu mulai mendorong tubuh Marshall sambil sesekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan, tanpa memberikan kesempatan Marshall untuk menjawab.
Lagi, kami menjadi pusat perhatian. Beberapa orang yang lewat sempat menghentikan langkahnya dan bertanya; “Kenapa bang?”
Yang lalu dijawab oleh Aris dengan lantang; “Ngelecehin cewek gua dia bang” seraya memukul kepala Marshall.
Orang-orang yang nggak tahu duduk perkara sebenarnya tentu langsung tersulut emosi begitu mendengar jawaban Aris. Beberapa orang langsung melayangkan ikut mendorong tubuh Marshall sambil memaki; “Anjing juga lu berani kayak gitu disini”
“Nggak bang, bohong!” Teriakku.
Namun, Aris dengan cepat memelukku, dan mencegahku mendekat ke arah Marshall yang kini sudah dikerumuni orang-orang.
Sementara, massa semakin ramai dan mulai beringas. Salah satu orang mulai memukul Marshall, tentu saja langsung disusul oleh yang lainnya.
“Berhenti, woi… Marshall… woi!!” Aku terus mencoba berteriak sambil mencoba melepaskan diri. Namun, suaraku seperti tenggelam dalam keramaian.
Marshall yang nggak punya kesempatan untuk membela diri lalu jatuh tersungkur. Sementara orang-orang semakin ramai, bergantian, satu persatu menyumbangkan pukulan dan tendangan. Bahkan ada pengendara sepeda motor lewat yang sengaja berhenti hanya untuk melayangkan pukulan dengan helmnya ke arah Marshall, kemudian melanjutkan perjalanan tanpa rasa bersalah.
Aku masih terus mencoba berteriak sekuat tenaga hingga kini suaraku habis nyaris tak terdengar.
Nggak lama, dua orang berseragam kedai kopi berlari menghampiri kerumunan. Aku lalu mencoba berteriak ke arah mereka; “Kak tolong Marshall” namun tak ada suara yang keluar dari mulutku.
Beruntung, kedua karyawan kedai itu langsung tanggap dan segera menolong Marshall. Salah satunya berteriak “Stop, stop!!” Sambil mencoba melerai kerumunan. Sementara yang satu lagi langsung memapah Marshall menuju ke arah kedai.
Dari posisiku saat ini terlihat Marshall penuh dengan darah. Mulai dari kepala, wajah, lengan hingga kaosnya yang kini sudah compang-camping. Aku pun kembali berteriak memanggil histeris memanggil namanya; “Marshall!!” Namun sama sekali tak terdengar, bahkan olehku.
Kerumunan mulai terpecah, menyisakan beberapa orang yang langsung memberikan saran agar kami melaporkannya ke polisi. Sementara, Aris sibuk dengan saran dari orang-orang itu, perlahan ia mulai melepaskan pelukannya. Dengan segera kulayangkan pukulan membabi buta ke arahnya. Namun, dengan cepat Aris membawaku masuk ke dalam mobil.
Dari dalam mobil terlihat, Marshall dengan kondisinya yang penuh darah berjalan dengan ditemani salah satu karyawan kedai. Samar terdengar percakapan dari orang-orang, kalau ia akan dibawa ke rumah Pak RT.
Salah satu warga lalu mengajak Aris untuk ikut serta kerumah Pak RT untuk menyelesaikan kasus ini. Namun, dengan gaya diplomasinya yang ulung ia berkelit.
“Ok mas, minta nomer dan alamat pak RT nya. Nanti saya kesana. Sekarang mau ngurus pacar saya dulu, kasian sialnya”
Aris lalu menyusulku masuk ke dalam mobil, duduk dibalik kemudi dan pergi dari sana.
Setelah berada cukup jauh dari tempat kejadian, Aris melambatkan laju mobilnya dan mulai menepi. Kedua tangannya mencengkram setir sekuat tenaga lalu memukulnya berkali-kali. Mencoba melampiaskan kekesalannya.
Ia lalu menoleh dan berpaling menatapku.
“Jadi ini alasan kamu sering ngopi sendirian?” Tanyanya.
Aku nggak menjawab hanya meringkuk sambil menangis.
“Sejak kapan kamu tau dia udah bebas?” Tanyanya lagi.
Aku nggak menjawab.
Ia lalu mengeluarkan ponsel dan langsung menghubungi seseorang. Sesaat berikutnya aku langsung tahu kalau yang dihubungi adalah Ayah.
Selesai menelpon ayah, Aris langsung tancap gas, membawaku pulang. Bukan, bukan ke tempat kost, melainkan ke rumah.
Sepanjang perjalanan, tanganku nggak henti-hentinya bergetar. Rasa gelisah dan panik mulai menyerang, sementara ada ketakutan di dalam diri. Takut kalau Marshall kenapa-kenapa dan takut akan amarah ayah yang pasti langsung meledak.
Dengan tangan yang masih bergetar, aku meraih ponsel dan mencoba mengirim pesan ke bunda; “Tolongin Tata, Bund. Tolongin Marshall”
Melihat aku tengah mengirim pesan, Aris dengan cepat merebut ponsel milikku dan melemparkannya ke kursi belakang.
—
Begitu tiba dirumah, terlihat Ayah sudah berdiri diteras rumah sambil berkacak pinggang.
Aris keluar dari mobil dan langsung menceritakan seluruh kejadian tadi ke Ayah yang langsung diresponnya positif; “Iyak, udah betul itu!” Ucap ayah sambil memberi tepukan kebanggaan ke Aris.
Sementara pandangan Ayah masih terus tertuju ke arah mobil, dimana aku masih meringkuk dan menangis.
Nggak lama Bunda keluar dari dalam rumah, berjalan tergopoh-gopoh ke arah mobil sambil membawa selimut. Ia membuka pintu mobil, lalu dengan hati-hati membantuku keluar. Seraya menyelimuti tubuh, bunda membimbingku masuk ke dalam rumah. Membuat kemurkaan ayah tertunda untuk sementara.
Sisa malam itu, aku berbaring sambil meringkuk di pangkuan bunda. Ingin rasanya aku bercerita semuanya, namun aku kehabisan suara. Tenggorokan terasa perih dan luar biasa sakit. Aku hanya menangis sambil sesekali menggenggam erat tangan bunda.
Esok paginya, ayah masuk ke kamarku. Ia menarik kursi, lalu duduk sambil menatap ke arahku yang kini tengah meringkuk di sudut ranjang.
“Kamu berhenti aja dari tempat kerja yang sekarang” ucapnya dengan tenang.
Dengan suara serak, aku mencoba untuk menolak. Namun, ayah bergeming.
“Nanti biar Aris atau Ayah yang ngomong ke atasan kamu”
Aku menggeleng.
“Kamu ini bikin malu aja. Mau jadi apa emang berhubungan sama mantan napi. Sama bekas pembunuh. Sama orang yang udah bikin rusak hidup kamu?”
“…”
“… Hah? Mau jadi apa?!!” Ayah berteriak.
Teriakannya barusan mungkin terdengar oleh Bunda yang langsung menyusul naik ke kamar. Ia menghambur masuk dan duduk di tepi ranjang di sebelahku.
“Udah yah, Tata nya juga kan masih shock. Udah besok kita obrolin lagi kalau Tata udah tenang” ucap Bunda.
Ayah lalu berdiri.
“Ini nih, akibatnya kalo kamu selalu manjain anak…” ujar Ayah kemudian pergi.
—
Karena ponselku disimpan oleh ayah, saat ini aku benar-benar seperti terisolasi. Sambil berbaring di atas ranjang, dengan posisi miring, mataku lalu tertuju ke lemari pakaian di sudut kamar. Aku bangkit, menuju ke arah lemari dan menggeser pintunya.
Terlihat deretan pakaianku yang tergantung rapi. Sementara pada bagian bawah terdapat tumpukan kotak bekas kado. Aku duduk di lantai, lalu mulai mengeluarkan kotak tersebut satu persatu. Di bagian paling bawah terdapat satu kotak dengan ukuran paling besar. Aku menarik kotak tersebut keluar.
Aku menyeka butiran debu halus pada permukaan kotak sambil sesekali meniupnya sebelum akhirnya membuka kotak tersebut.
Di dalamnya terdapat deretan koleksi album kaset Sheila on 7, Padi dan Dewa 19. Aku tersenyum sambil meraih satu persatu kaset tersebut; album kaset yang membangkitkan memoriku tentang masa SMA bersama Marshall.
Pada bagian dasar kotak, terdapat tumpukan kertas-kertas yang merupakan kumpulan hasil ulangan dan ujianku kala bersekolah dulu. Diantara tumpukan kertas tersebut aku merasakan ada beberapa lembar yang terasa aneh karena memiliki ketebalan yang berbeda. Aku menyingkirkan kertas-kertas diatasnya dan mendapati beberapa lembar sobekan sketchbook berisi gambar diriku. Gambar diriku yang dulu sempat dibuat oleh Marshall.
Aku memisahkan lembaran gambar diriku dan membereskan sisanya.
Di salah satu sudut bagian dalam lemari terlihat sebuah kotak berdebu. Kotak berwarna putih dengan gambar sebuah apel pada kedua sisinya; kotak kemasan laptop lawas milikku dulu.
Aku mengeluarkan kotak tersebut dan membukanya. Terlihat satu unit laptop lengkap dengan pengisi dayanya. Aku meraih laptop tersebut, meletakkannya di atas meja belajar dan mulai menyalakannya. Layar berpendar sebentar, kemudian menampilkan logo apel dan disusul layar desktop dengan gambar pegunungan sebagai latarnya.
‘Yes! Masih bisa’ batinku dalam hati.
Setelah menyambungkan koneksi internet, aku mulai membuka browser, dan mengetik domain url aplikasi chat. Sayangnya pada proses sinkronisasi, aplikasi membutuhkan koneksi pada ponselku. Artinya, untuk menggunakan aplikasi chat pada browser, ponselku juga harus dalam keadaan aktif. Sedangkan ponselku saat ini tengah berada di tangan Ayah.
Tak kehabisan akal, aku membuka tab baru dan masuk ke akun email. Kemudian membuka aplikasi chat bawaan email dan mulai mengirim pesan ke Ocha.
Sambil berharap Ocha memeriksa notifikasi email pribadinya.
Sambil menunggu balasan dari Ocha, aku mengambil lembaran kertas berisi gambar diriku dan mencari-cari cara untuk menyimpannya agar nggak ketahuan oleh ayah. Pandanganku lalu tertuju pada tas kerja milikku. Dengan melipatnya menjadi empat bagian, aku menjejalkan lembaran kertas ke dalam tas.
Sementara, Ocha masih belum membalas pesanku.
Aku menjatuhkan diri di atas ranjang, menatap ke langit-langit sambil berusaha memikirkan cara untuk keluar dari sini, dari rumah laknat ini dan menemui Marshall; sungguh ingin tahu kondisinya.
“Beep” terdengar suara notifikasi dari laptop.
Aku buru-buru bangkit dan menuju ke meja belajar. Layar laptop memunculkan sebuah pop-up berisi notifikasi balasan pesan dari Ocha.
‘Ya ampun, Ta. Lo kenapa? Tadi pagi ada yang kesini nganterin surat resign lo. Lo kok nggak cerita-cerita sih kalo sakit?’ Isi balasan pesan dari Ocha.
Aku lalu mulai membalas pesannya; ‘Cha, nanti aku ceritain. But, for now need your help’
‘Apa? Bilang aja’ balas Ocha.
Aku lalu mulai mengetik balasan ke Ocha, balasan yang berisi permintaan bantuan kepadanya.
Nggak seberapa lama, Ocha membalas kembali pesanku; ‘Noted. Klo ada hal lain yang bisa kita bantu, let me know ya Ta'
Aku mematikan laptop dan menutup layarnya, kemudian segera memasukkannya ke kardus dan mengembalikannya ke dalam lemari.
Selepas maghrib nanti, disaat Ayah sedang pergi mengaji dan Bunda sibuk dengan sinetron favoritnya, aku akan kabur dari rumah.
Aku meraih toples kaca dari atas lemari, toples kaca yang berisi kumpulan uang receh yang sengaja ku sisihkan. Di dalamnya nggak hanya terdapat uang receh, tapi juga beberapa lembar pecahan puluhan ribu yang terlipat rapi membentuk segitiga. Aku menuangnya di atas ranjang dan mulai menghitungnya; 200 ribu.
Ada alasan kenapa aku sampai harus membongkar koleksi uang recehku. Karena ayah nggak hanya menyita ponselku, ia juga ‘menyimpan’ kartu ATM, kartu Kredit, uang tunai, token internet banking hingga kartu pembayaran instan yang biasa kusimpan di dalam dompet. Menyisakan kartu tanda pengenalku saja.
Untuk menyamarkan rencana, tepat sebelum jam 6 sore, aku turun kebawah untuk makan. Tentu saja dengan berpakaian santai. Bunda cukup terkejut dan senang saat melihatku keluar dari kamar, karena sudah beberapa hari ini ia mengantarkan makanan untukku.
“Eh anak bunda akhirnya keluar kamar…” Ucap bunda seraya melebarkan kedua tangannya dan langsung memberikan pelukan.
“Laper bund” Aku bicara, sambil memegang perut; akting.