mnotorious19150Avatar border
TS
mnotorious19150
Mengapa Tak Ada Pemimpin Amerika Serikat yang Jadi Buronan ICC?


JAKARTA - International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan Kriminal Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk para pemimpin dunia atas kejahatan perang. Presiden Rusia Vladimir Putin jadi salah satu buronan ICC.

ICC. Putin dan para pejabat penting Rusia masuk daftar buronan ICC atas tuduhan kejahatan perang di Ukraina. Para pejabat Israel sekarang cemas bahwa ICC dapat mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu dan para pejabat Zionis atas kejahatan perang di Gaza, Palestina.

Hingga kini ICC belum secara resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan para pejabat Zionis Israel. Hal inilah yang dikritik banyak pihak sebagai praktik standar ganda ketika ICC memperlakukan Rusia dan Israel terkait perang Ukraina dan perang Gaza.

Mengapa Tak Ada Pemimpin AS yang Jadi Buronan ICC? Amerika Serikat (AS) tercatat sebagai negara yang paling banyak melakukan agresi terhadap negara lain. Agresi, yang sebagian tanpa mandat Dewan Keamanan PBB, berpotensi menjadi kejahatan perang.

Contoh, invasi AS ke Irak pada 2003 atas tuduhan rezim Presiden Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal. Invasi di era kepemimpinan Presiden AS George Walker Bush memicu kecaman global.

Tuduhan rezim Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal diketahui sebagai tuduhan palsu dan Saddam Hussein digulingkan. Imbas invasi itu adalah Irak kacau balau hingga bertahun-tahun.

Namun, ICC tak mengusik Bush dan para pejabat AS. Contoh lainnya adalah perang AS dan sekutunya di Afghanistan, di mana banyak warga sipil menjadi korbannya.

Mengacu pada definisi ICC, apa yang terjdi di Irak dan Afghanistan semestinya juga termasuk kejahatan perang. Amerika Serikat tidak mengakui yurisdiksi ICC atas warga negaranya. Alasan utamanya adalah kekhawatiran bahwa yurisdiksi ICC dapat digunakan untuk mengejar dan mengadili personel militer dan pejabat pemerintah Amerika Serikat atas tindakan yang dianggap sebagai kejahatan perang atau pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks konflik militer atau kebijakan luar negeri AS.

Selain itu, Amerika Serikat telah mengadopsi "American Service-Members' Protection Act", undang-undang yang memberikan perlindungan hukum bagi personel militer AS dari penangkapan dan penuntutan oleh ICC. Undang-undang ini, yang dikenal juga sebagai "Undang-Undang Hukum Pelayanan Asing" atau "Hague Invasion Act" memberikan wewenang kepada pemerintah AS untuk menggunakan kekuatan militer guna membebaskan personel militer AS yang ditangkap oleh ICC.

Karena Amerika Serikat tidak mengakui yurisdiksi ICC atas warganya dan telah mengambil langkah-langkah hukum untuk melindungi personel militernya dari penuntutan ICC, tidak ada tokoh AS yang menjadi buronan ICC.

sindonews.com
0
324
28
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
TheTickAvatar border
TheTick
#6
Oh masalah ini.
Kebetulan saya adalah US Citizen dan Serviceman. Jadi sebenarnya saya dikit dikit paham kok. Ngga seperti yang dibayangkan orang.
Masalahnya penulis di Sindo ini, kurang paham. Jadi pandangannya hanya sebatas membandingkan dengan apa kebiasaan di Indo.

Untuk urusan statehood:
1. Perlu diingat, UN HQ letaknya di United States Soil.
2. Donor terbesar, dan fasilitas finance masih pinjam US.
3. International Network dan diplomatic channeling juga masih menggunakan fasilitas US Diplomatic Network.

UN jika tidak memiliki Beefing Up power (bekingan), maka tiap kebijakan UN tidak memiliki kemampuan persuasif. Betul tidak?
Misal, pembicara ke Taiwan diwakili oleh seorang pejabat senior US atas nama UN.
Memangnya kalau yang back up dari pejabat negri Nauru memangnya China dan Taiwan serta Filipina mau mendengar? emoticon-Wink

Sehingga sering terjadi contradicting interests. Apakah ini kehendak UN atau kehendak US. Inilah yang dimaksudkan sebagai "waiver act" bagi badan badan pemerintah Federal dengan diajukannya Dodd Amendment oleh US Congress.

Apalagi, kontrdiktif dengan SUPREME LAW OF THE LAND, yaitu kemandirian hukum US Federal bagi International Law.
Misal: Mengadili seorang warga negara Amerika di negara Asing, dimana duduk didalamnya Wakil Pemerintah yg sah United States. Ini menyalahi US Constitution dan US Bill of Rights. Yang tidak membolehkan mengadili US Citizen di luar CONUS (Continental of United States).

Militer, juga memiliki hal yang sama makanya ada ASPA (American Servicemember Protection Act). Dimana ada "waiver" bagi US Servicemember, Commander in Chief (POTUS).

Benar, US militery bisa bergerak dibawah bendera biru UN dalam peace-keeping force.
Masalahnya, WAJIB dilihat adalah, setiap pergerakan unit unit Militer Amerika adalah dengan persetujuan US Congress. DAN setiap peralatan DIBIAYAI OLEH U.S TAX PAYER.

Sekarang saya mau tanya: Negara mana yang Suara Rakyat individu/kelompok diberlakukan sebenar benarnya sebagai Primus Lex (Hukum Utama) menyangkut barang negara, kecuali US? Sekalipun Presiden dan Pentagon setuju tapi kalau US Congrss tidak setuju, tidak akan ada Militer US dibawah bendera UN.
Beda misal dengan di Indo, kalau pemerintah mau ngirim pesawat kargo militer TNI, lalu DPR menolak, memang bisa?
Sampai disini paham ya?

Jadi kebanyakan yang komen diluaran, maupun yang nulis berita tabloid Sindo, di media lain kan nggak paham hal hal seperti ini.

Banyak pihak yang juga tidak paham OIF (Operation Iraqi Freedom). Yang meminta itu siapa? yang jelas bukan US.
Di Iraq justru yang minta adalah Red Crescent (Red Cross versi Islamic) ke UN terkait genocide of Yazidi di Iraq utara.

Dan yang minta juga Kingdom of Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, Bahrain dll yang mana justru negara negara Muslim yang terancam oleh Saddam. Sampai disini paham ya?

Kalau ada yang mau bertanya lebih detail saya persilahkan.

Salam,
danusetyo
danusetyo memberi reputasi
1
Tutup