rucaramiaAvatar border
TS
rucaramia
ILGI


Prologue

Dia menarik ku seketika ketika aku keluar dari ruangan. Dia nampak tak sabar. Ada sedikit letupan amarah dari sorot matanya. Memenjarakan aku yang kala itu belum mengerti akan keadaan.
"Kamu masih marah ?"
Nada suara pria itu bergetar. Sendu kentara sekali ketika tanya yang dia ujarkan menguar begitu saja di udara. Tanpa respon.
"Dengarkan penjelasanku dulu"
Katanya lagi, dan kini posisi kami berhadapan dan dia memenjarakanku dengan kedua tangannya.
"Kubilang masa bodo."
Itu yang terucap pertama kali dari bibirku. Mataku yang tajam balik menyalak tak suka saat dia berusaha mendominasi.
"Oh God aku harus bagaimana ?"
Tertunduk seketika hingga kudengar dia tersedu, dihadapanku pria bertubuh tegap itu terlihat sangat rapuh bak anak kecil. Tak pernah kubayangkan akan melihat seorang pria menangis. Menundukan kepala dengan kedua tangan tetap mencengkram kedua bahuku. Terus terang aku merasa serba salah. Sangat malah. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku melemah.
"Sudah, jangan menangis"
Hanya itu yang bisa terucap. Tanganku yang tadinya stagnan disisi tubuh menyentuh bahunya. Hingga kemudian kepalanya. Aku tak berniat memberinya pelukan. Tidak sama sekali. Bagiku sentuhan ringan seperti itu sudah cukup menyalurkan kekhawatiranku. Dia menaikan kepala. Berusaha kembali tegar meski kini kedua matanya telah begitu memerah. Bekas air mata yang dia usap asal masih tertinggal di sudut mata. Pancaran gelombang kesedihan, bimbang dan gamang jelas tersorot dari dirinya. Memaku diriku dalam situasi bersalah.
"Maafkan aku."
Kali ini tiada sedikitpun nada keras. Kepasrahan dia tunjukan padaku. Aku hanya memejamkan mata sebentar sebelum menatap pria itu lagi.
"Masuk dulu."
Aku mempersilahkannya masuk, dan menyuruhnya duduk di lantai beralas tikar. Seadanya. Sedang diriku kubawa ke dapur untuk mengambil segelas air dan beberapa buah jeruk yang tersisa di kulkas. Menyuguhkan hal itu pada pria dihadapanku.
"Minum dulu. Perlu tisu ?"
Dia menggeleng cepat. Tapi tak menolak ketika jeruk yang telah kukupas kuarahkan pada mulutnya.
"Ada apa ?"
Buka ku pada akhirnya setelah dia cukup tenang dari rasa emosional.
"Maafin aku."
Katanya lagi. Suaranya berbisik lirih namun matanya tegas menatap. Sebelah tangannya menggapai tanganku yang bebas. Menggenggamnya penuh harap.
"Kamu terlihat sangat marah. Balasan surelmu membuat aku sama sekali tidak konsen bekerja. Aku membagi foto itu supaya kamu tidak salah paham. Aku ingin kamu jadi orang pertama yang mengetahui. Tapi ternyata kamu semarah ini."
Aku menghela napas cukup panjang. Ya, aku sangat marah. Marah sekali dengan foto yang dibagikan pria dihadapanku. Memang sebetulnya tidak ada hal yang bisa membuatku terpicu sedemikian berapi api kecuali pemandangan pria ini dengan salah satu rekan kerja wanitaku. Mereka tengah duduk berdekatan. Itu saja.
"Aku mau kamu tahu dariku. Kalau kamu tau dari oranglain nanti aku terkesan menutupi ini."
Dia berucap. Menunggu membalas. Tapi ekspresiku saat ini tidaklah cukup bisa membuatnya bernapas lega. Aku terlalu dingin untuk diraih dan dibaca.
"Aku sudah cukup muak dengan lelucon ini. Kau dan dia. Aku tau kalian tidak sedekat apa yang aku pikirkan. Aku tau kamu juga sudah mencoba menghindari situasi bersamanya semampumu. Tapi semua kebetulan ini terlalu sesak untuk aku pahami. Aku hanya mencoba untuk tidak mau ambil pusing dengan membiarkanmu bertindak semaumu."
"Tapi aku cuma mau bersamamu. Kumohon maafkan aku"
"Dengar Dear, aku tidak menyalahkanmu. Aku tau kamu tidak sepenuhnya salah karena perempuan itu yang mendekatimu. Jujur aku tidak suka diganggu. Dan kalau sekiranya dia mengusikku dengan cara mendekatimu. Kurasa aku bisa mengambil keputusan untuk mengakhiri segala kebodohan ini."
Dia mematung, sebelah tangannya menggapai pipiku. Jujur saja aku sendiri tak sanggup membendung air mata. Ada gemuruh didalam dada tapi aku tak bisa menangis. Tidak dalam situasiku saat ini.
"Kau yakin ?"
Kali ini mungkin tiba diambang batas. Pria sebaik dia mungkin akan kulepas dan kurasa aku akan menyesali segalanya. Tapi aku merasa sudah begitu muak dengan segala api cemburu yang selalu dipicu setiap saat. Jujur saja ini menyakiti.
"Kalau ini yang terbaik kurasa aku akan yakin."
Kali ini pria itu tak lagi duduk santai. Dia membawaku dalam pelukan hangat yang mungkin akan menjadi akhir dari kisah kami yang dramatis.
"Kamu harus tahu jika aku sama sekali tidak main-main. Aku serius dengan perasaanku. Tidakkah kamu mau memikirkan ulang segalanya ? Aku tidak ingin kita berpisah hanya karena kekonyolan orang lain."
Sial. Perpisahan ini tak ingin aku jalani. Memori kebersamaan seketika menguar dalam beberapa detik, memproyeksi ulang segala hal yang telah terjadi. Delapan bulan bukan waktu sebentar. Dan semua itu membuatku sadar jika aku tak ingin kehilangan orang ini.
"Sayang ?"
Ya, aku disini. Menangis karena ketidakrelaan dan sakit yang tak bisa terbendung lagi. Aku tahu mungkin akan mengulang segala drama ini. Aku yang bodoh. Katakanlah begitu.
"Terimakasih sayang."
Katanya kali ini ketika aku memutuskan memaafkan dirinya lagi. Kesalahan kesekian kali yang dia buat.

***

Sudah lewat seminggu, hubungan kami kembali baik seperti sedia kala. Perempuan itu juga bertingkah manja lagi padanya. Jujur saja itu membuat hatiku gusar, tapi aku terlalu gengsi untuk melabrak dan mengutarakan dengan lantang bahwa pria berkulit coklat yang digodanya adalah milikku. Sayang sekali seemosinya aku, aku tak akan memilih pilihan bodoh itu.

"Istirahat kapan ?"
Kata pria itu. Raut mukanya terlihat begitu ceria.
"Jam setengah 8 paling."
Kataku tanpa memandangnya.
"Mau makan apa ?"
"Belum tau. Gimana nanti."
"Mau bareng ?"
Kali ini aku melihat wajahnya. Begitu serius seolah meminta diriku berkata 'ya'. Tapi aku tidak semudah itu. Jelas aku menolaknya karena aku sedang tidak mood bersamanya.
"Lain kali saja. Aku ingin sendiri."
Tutupku. Dan kurasa dia kecewa sekali.

Namaku Luciana, perempuan 21 tahun yang aku genapkan bulan lalu di juli hari ke 8. Pembawaan tak tertebak yang bisa membuat seseorang laksana berada di roller coaster karena emosinya yang kadang tidak stabil apalagi menjelang masa pra menstruasi. Bekerja dibidang pelayanan sebagai costumer service paling absurd dan ceplas ceplos yang pernah ada sejak store dibuka di cabang kota kecilku. Kata orang aku memiliki wajah yang manis, dan status single telah tertinggal 8 bulan kebelakang. Pria 'beruntung' itu bernama Lexi. Pekerja di store yang sama dengan jalur berbeda. Dia seorang desaigner muda pembuat karya digital dengan pembawaan ramah dan ekspresif. Bertolak belakang namun justru kami malah tertaut. Benang merah mungkin sedang terbelit di jari kelingking pemuda itu.

"Kalian jadian ?"
Kalimat itu mati-matian aku hindari sebisa mungkin. Sebab entah mengapa mengakuinya membuat aku malu setengah mati. Dan jujur itu sedikit mencoreng image diriku.
"Tiga bulan yang lalu."
Kataku menyerah sebab pertanyaan itu terlalu sering terlontar ketika Lexi menunjukan perubahan sikap drastis hanya padaku. Terlalu kentara.
"Jadi kalian menyembunyikan selama ini ? Wahh.. luar biasa aku sampai tidak sadar."
Kali ini perempuan yang lebih tua setahun ini membelalak mata antara kagum dengan tidak percaya pada realita.
"Kupikir kamu dengan dia soalnya."
Ketika kata itu terucap semakin mengecil, netraku menoleh kearah dimana perempuan itu terpaku. Ah.. jadi 'dia' yang dimaksud adalah orang itu.
"Eh.. maaf."
"Tidak apa-apa."
Kataku. Dan aku melihat ada kilat kekecewaan dari 'dia' yang disebutkan si senior. Anggap saja itu hanya perasaanku saja. Tidak ada apa-apa diantara kami.

To be continued
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
394
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan