iluvtariAvatar border
TS
iluvtari
Cerpen pernikahan/psikologi: Perempuan



Pelarian itu ada di rumahku, mengenakan pakaianku, selonjor di atas dipanku. Wajahnya tidak menampakkan penyesalan barang segaris saja. Tapi kenapa pula, pikirku, ia harus lari begini. Bukankah ia tidak menyesal, berarti ia sudah siap dengan akibat perbuatannya.

“Orang yang mengejarku tidak tahu apa yang kurasakan.” Ia menggeletak nyaman, melipat dua sebuah bantal lama, lalu membebankan kepalanya di atas batal itu.

“Makanya kau harus ceritakan, agar mereka tahu.”

“Kau mengusirku?”

“Sama sekali tidak.” Segera aku menggeleng. “Aku hanya mengkhawatirkanmu. Status buron pasti menyusahkanmu. Orang-orang akan segera tahu. Pelarianmu hanya memperjelas ketidakberanianmu untuk bertanggung jawab.”

“Dia yang tidak bertanggung jawab!” Kali ini ia membentakku.

Selanjutnya kupastikan ia akan bercerita ulang tentang sebab pembunuhan yang ia lakukan dan cara ia membunuh suaminya. Tapi kenapa ia memilih rumahku sebagai tempat persembunyian, belum kutahu sebabnya.

Ia terlalu kuat, begitu aku menyimpulkan. Dari cerita Rahmi, kudapati pengakuan, yang besar keyakinanku akan kevalidannya. Rahmi tidak sekolah, tapi ia sering bertindak layaknya orang berpendidikan. Berpendirian teguh, baik, tapi tak ingin diremehkan.

“Aku kemari karena yakin kaulah yang paling mengerti.” Rahmi sedikit menekuk kakinya.

Aku diam saja. Kalimat itu tak spesifik, terlalu di permukaan.

Uraian ceritanya yang lalu bergulir lagi. Suaminya, Amran, yang terbiasa hidup nyaman di antara setengah lusin kakak perempuan, dianggap tak berkelamin saat menghadapi dunia. Rahmi tak seperti kakak-kakaknya, demikian pula istri Amran terdahulu.

Tak ada di dunia ini perempuan yang bisa ngemong Amran sebaik kakak-kakaknya. Tidak soal selera makan, merek rokok, apalagi uang jajan. Amran tak biasa cari uang, jika bekerja ia sakit. Semua kakaknya paham, begitu pun ibu, bahkan bapaknya yang bukan perempuan.

“Lalu aku hamil,” Rahmi melengkapi ceritanya yang sudah pernah kudengar. “Dia sangat suka dan berharap anak kami laki-laki. Tapi aku tidak. Sejak menikah dengannya, bagiku laki-laki adalah parasit.”

Kemudian Rahmi memelihara perutnya sendiri. Cek kandungan dan menutrisi janinnya dengan keringat yang ia dompeti. Dunia sudah terbolak-balik. Laki-laki bernama Amran itu, kepalanya tercemari keperempuanan yang menjadi-jadi ketika berurusan dengan nafkah. Sedangkan enam kakak perempuannya begitu ksatria menjaga pangeran bungsu tak berotot itu.

“Bukan dia yang menikahiku, tapi aku yang menikahinya. Aku membelinya sesuai adat, tapi bertahun hidup dengannya, aku masih terus membeli. Niaga yang merugikan.”

Tawaku tertahan mendengar kalimat terakhir Rahmi. “Tidurlah,” rayuku kemudian.

“Begitu anakku lahir, kerugian makin menggerogotiku ….” Rahmi terus bercerita. Kelopak matanya ditahan-tahan agar tak mengatup, tapi ia kalah. Bibirnya terus bergumam, meski selanjutnya hanya kedengaran seperti ceracau, tapi ruang imajinasiku menampilkan gambar bergerak yang demikian sempurna.


Anak Rahmi laki-laki. Sangat normal, lincah dan sehat. Tapi makin hari bayi yang terus tumbuh butuh biaya untuk ia menjadi anak, remaja, kemudian dewasa. Amran tak punya kekuatan untuk menumpu buah hatinya. Bukankah untuk perutnya sendiri pun ia harus mengais kantong istri. Maka sebagai bungsu yang lemah, ia mengadu pada kakak-kakaknya.

Terjadilah rembuk keluarga besar. Tanpa Rahmi.


“Malam itu ia mendatangiku dengan lembut. Membelaiku. Seperti pejantan. Sangat laki-laki,” Rahmi tersenyum dalam igaunya. “Besar sekali cintaku untuknya. Kecuali setelah ia memaparkan hasil rapat mereka.”


lanjutannya di siniGan!

sumber gambar: unsplash.com
0
492
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan