iluvtariAvatar border
TS
iluvtari
Martir (Cerpen Pemenang Sayembara)
Cerpen ini menempati juara ke-2 sayembara naskah kebhinekaan Kantor Bahasa Jambi tahun 2016 atau 2017 (maaf, Gan/Sis, lupa!) Entah sudah dibukukan atau belum, tapi sebagai pemenang ane belum mendapatkan bukti fisiknya. 
Jadi daripada tersimpan di PC, mending dibagikan kan? Biar banyak yang baca.

M A R T I R

oleh Syarifah Lestari


BOOM ….

“Setaaan!”

“Anjiiingg!”

Kami berlarian sambil terbahak. Mercon busi buatan Muaz memang yang terbaik, barangkali yang belum bangun sejak sahur, sekarang terjengkang di lantai. Hanya makian yang kami dapat, tak akan ada yang berani main tangan pada anak Rusli, Bapakku. Bukan karena itu saja, juga karena memang kampung kami hanya berisi orang-orang baik.

Suara domino diaduk masih terdengar nyaring, juga nada bass para pemainnya. Bapakku tak pernah absen dari meja itu. Ia dan teman-temannya baru saja menyelesaikan rapat warga untuk acara pemilihan Ketua RT. Dengan atau tanpa rapat, malam akan ditutup dengan domino, rokok, dan botol.

Aku senang menunggu Bapak usai bermain, meski tidak demikian dengannya. Mamak, cukup dengan mendelikkan mata, sudah membuatku terkulai di kamar. Aku akan tidur dengan busi berumbai yang dibuatkan oleh Muaz.

Dulu tidak ada yang menjual petasan. Mercon dibuat sendiri oleh aku dan kawan-kawan, sebagaimana Yuk Menik membuat lampu dari lilin dan batok kelapa. Bulan puasa adalah bulan mercon, di mana segala kreativitas berbau ledakan seperti ilmu kanuragan yang dipakai pada saat yang tepat.

Muaz membuatkanku mercon setelah aku dibully—dulu istilah ini belum dikenal—karena merconku terlalu feminin. Aku membuatnya dari potongan papan yang kulubangi dengan paku, lalu lubang itu diisi bubuk fosfor hasil menggerus kepala batang korek api, lalu menutupnya dengan lembar kecil alas gesek yang melekat di sisi kotak korek api itu. Kemudian, berdiri ala kadarnya paku yang ujungnya telah ditumpulkan pada lubang papan tadi. Dengan satu pukulan, ledakan akan terdengar. Tapi itu sangat tidak laki-laki. Ilmu itu aku dapatkan dari Yuk Menik.

Muaz yang kasihan melihat aku menjadi bahan tawa di kelas—Gavin menceritakannya pada seantero sekolah, kemudian menyuruhku mencari busi bekas mobil untuk ia jadikan mercon yang jantan. Dibantu Dodi dan Muhsin, tidak hanya busi, aku bahkan mendapatkan bahan yang lengkap; busi bekas mobil, korek api, karet ban, dan tali rafia.

Malam ini kudengar Bapak masih membahas cerita rapat dengan teman-temannya. Ketua RT lama mendadak sakit, bulan lalu meninggal dunia. Sekarang kelompok domino itu menyiapkan rencana organ tunggal sehari semalam untuk menyambut ketua RT yang baru. Akan ada pesta.

Yang menjadi masalah mereka, saat ini bulan puasa. Suara speaker panggung akan bersaing dengan speaker masjid. Bahwa pada siang hari orang akan berpuasa bukanlah kendala. Di sini kami terbiasa melihat orang lalu lalang sambil merokok dari awal hingga akhir Ramadan.

Biso diatur. Kagek aku yang lobi pengurus masjid untuk libur tadarus semalam baeKito kan menghormati pimpinan kampung. RT lain jugo pasti setuju,” suara Bapak menutup kegaduhan diskusi mereka.

Seharusnya bapakku yang paling pantas menjadi Ketua RT. Semua orang patuh padanya. Ia mampu menyelesaikan masalah antarwarga tanpa keributan. Dan Bapak bukan preman. Ia dituakan karena memang sudah tua. Anak-anaknya hampir semua sudah menikah, hanya tersisa aku dan Yuk Menik di rumah. Kakak-kakak kami membangun rumah sendiri di kanan dan kiri rumah Bapak.

Konon, dulu ketika Bapak datang, Kelurahan Sentosa adalah hutan karet. Entah peninggalan Belanda, atau pribumi yang tak bersisa. Bapak tak tahu baca tulis. Ia hanya mengenal tiga huruf yang diingatnya sebagai masa ketika ia pergi meninggalkan Jawa.

Kala itu, ramai orang menuliskan N, O, dan E di pintu rumah mereka sebagai pernyataan bahwa mereka bukan PKI. Ketika itulah Bapak hijrah, dan hingga kini tak pernah kembali.

Bapak membuka lahan, membangun rumah di atas tanah yang ia kira bukan milik siapa-siapa. Lalu setelah tempat itu ramai dan menjadi perkampungan, barulah utusan Pemerintah Daerah datang, dan menyatakan bahwa tanah yang kami tempati adalah milik pemerintah. Bapak tidak marah, dan tidak pula memprovokasi warga untuk marah. Karena Bapak bukan preman. Ia hanya salah seorang Indonesia yang tak berpendidikan, hingga tak tahu hendak berbuat apa.

Mungkin akhirnya aku terpejam. Hingga terbangun di usia kepala tiga.

Istriku menggeleng haru, salah satu lembar koran lokal di tangannya tertimpa beberapa tetes air mata. Nyaris tembus, hanya tintanya seput lalu gambar di sisi belakangnya muncul. Mengaburkan berita yang baru dibacanya.

“Itu salah dio dewek,” kataku menghibur.

“Aku yakin polisi salah tembak,” jawabnya.

Dio bukan Muaz kau yang dulu, kecuali memang dio jago membuat mercon!” Suaraku agak tinggi. Ning tak menjawab. Istriku menangisi mantan idolanya, wajar kan, jika aku cemburu.

Terjadilah pesta itu. Kami berjoget di depan panggung. Biduan asal Payo Lebar meliuk-liuk bersama salah satu kakak laki-lakiku. Bapak di bawah, tertawa-tawa dengan botol dan rokok di tangannya. 



bersambung



gambar diambil dari unsplash.com
0
307
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan