ceuhettyAvatar border
TS
ceuhetty
Penyesalan Sang Penunggu Pohon Beringin Tua
"Stop, Bang!" Teriak Wahyu. Ketika bus yang ditumpanginya melintas di sebuah perempatan jalan. Rute menuju desanya tidak terlewati oleh angkutan umum, penduduk desa biasanya menggunakan jasa ojek untuk meneruskan perjalanan.

Angin malam menyambut lirih, desaunya terdengar berbeda dari biasanya. Mungkin karena malam yang telah larut dan tanpa suara. Hanya lolong anjing dari kejauhan yang sesekali terdengar. Menciptakan ritme yang menyayat hati. Disaksikan bulan pucat yang berpendar di langit pekat.

Wahyu celingukan mencari ojek yang biasa mangkal. Tapi nihil. Bisa jadi karena hari telah larut malam. Jangankan ojek, tak ada seorang penduduk pun yang kelihatan batang hidungnya. Hanya sesekali terdengar kepak kelelawar yang melintas.

Ditemani sinar rembulan, lelaki berperawakan jangkung itu melangkah dengan gontai. Menyusuri jalanan berlubang yang menjelma kubangan ketika hujan turun. Perjalanan yang harus ditempuh Wahyu sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu belasan menit jika ditempuh oleh kendaraan bermotor.

Untuk menghemat waktu, Wahyu memutuskan mengambil jalan pintas. Meski itu berarti ia harus melalui jalanan yang lebih gelap dan sunyi.

Wahyu melenggang melewati ladang dan pesawahan milik penduduk yang tidak lama lagi dipanen. Ia tertegun untuk beberapa saat, ketika di hadapannya tampak lapangan sepak bola. Dengan pohon beringin tua yang rimbun di sudut lapangan. Semakin terlihat menyeramkan dengan akarnya yang menjuntai.

Sekilas tidak ada yang berbeda dari lapangan sepak bola pada umumnya, hanya sebuah tempat lapang yang ditumbuhi rerumputan liar. Yang membuat Wahyu ragu untuk melanjutkan perjalanan adalah desas-desus tentang penunggu pohon beringin tua tersebut. Konon, arwah yang mati gantung diri menjadi gentayangan dan sering mengganggu orang lewat.

Kalau bukan karena permintaan istrinya yang tengah ngidam anak pertama mereka. Wahyu sebenarnya sungkan jika harus pulang dari kota malam-malam seperti ini.

Dipisah oleh bukit kecil yang ditumbuhi belukar perdu, berjarak sekitar belasan meter dari lapangan, berdiri sebuah sekolah dasar yang juga terkenal angker. Warga yang kemalaman lewat daerah situ sering kali mendengar suara-suara tidak jelas dari dalam kelas.

Setelah beberapa saat mematung. Wahyu merasa tidak memiliki pilihan lain selain melanjutkan langkah. Istrinya pasti sudah tidak sabar menunggu di rumah.

“Berjalanlah dengan menunduk dan jangan pernah menengok ke belakang.” Begitu kira-kira petuah yang sering di dengar Wahyu jika berjalan di tempat yang angker.

Pria muda itu mempercepat langkahnya. Berusaha menghalau perasaan yang tiba-tiba merinding dengan pundak tiba-tiba terasa berat. Anehnya, semakin Wahyu berusaha mempercepat langkah, kakinya justru semakin terasa berat. Ia pun terus melangkah dengan setengah menyeret langkahnya.

Wahyu terseok-seok di kegelapan malam. Logikanya tengah berperang dengan perasaan dan suasana yang mencekam.

Sekitar berjarak sepuluh langkah orang dewasa dari pohon beringin tua. Samar-samar terdengar suara parau mengulang-ulang kata yang sama dengan terus-menerus.

"Dungkek ... Dungkek ... Dungkek ...!"

Suaranya terkadang terdengar begitu jelas seolah berada di samping Wahyu. Kadang terdengar lapat-lapat, seolah timbul tenggelam dihembus angin.

Mata Wahyu jelalatan mencari-cari sumber suara. Ia merasa ketakutan tetapi juga penasaran dengan sang pemilik suara tersebut.

Berjarak beberapa meter di depannya, terlihat seseorang tengah berjalan terseok-seok. Seperti langkah kaki orang yang pincang sebelah. Namun pencahayaan malam yang temaram ditambah kabut yang tiba-tiba melayang membuatnya segalanya samar.

Setengah berlari Wahyu mengejar orang di depannya. Ia sedikit lega karena berpikir merasa memiliki kawan seperjalanan. Namun sosok di depannya seolah tak terkejar.

“Kisanak, tunggu!”

Wahyu terus berusaha mengejar sosok di depannya. Namun keanehan kembali terjadi saat sosok tersebut melintasi semak belukar, tiba-tiba saja Wahyu kehilangan jejak.

"Kemana perginya? Perasaan barusan masih di depanku," desis Wahyu dengan perasaan tidak karuan.

"Dungkek ... Dungkek ... Dungkek!"

Suara itu kembali terdengar seolah menjawab keheranan Wahyu.

'Apa artinya itu?' Wahyu merasa heran mendengar kosa kata yang menurutnya asing.

Suara gemerisik angin yang membelai dedaunan, ditingkahi lolongan anjing dari kejauhan mengiringi suara samar yang terus berulang. Seolah harmonisasi dari sebuah paduan suara.

"Dungkek ... Dungkek ... Dungkek ...!"

Wahyu segera menyadari apa yang tengah terjadi. Ia pun secepat kilat mengambil langkah seribu.

Ketika Wahyu nyaris kehilangan napas, beberapa meter di depannya terlihat kerlip lampu penduduk.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, di gerbang desa ia mendapati petugas ronda yang tengah berjaga. Tanpa ba bi bu, ia langsung melemparkan tubuhnya di bale-bale pos ronda.

"Astagfhirullah ... Ya Allah ... Allahu akbar!" Wahyu menceracau sambil menyebut nama Allah.

"Minum dulu, Mas!" tawar salah seorang petugas ronda sambil menyodorkan segelas air putih.

Wahyu langsung menyambar gelas dan menenggaknya sampai tandas.

"Ada apa, Mas?" tanya petugas ronda yang terlihat paling tua.

Wahyu pun menceritakan kronologisnya setelah beberapa kali menghela napas.
Para peronda manggut-manggut seolah mafhum.

"Itu mah sudah biasa terjadi, Mas. Makanya, penduduk sekitar gak berani lewat situ malam-malam."

"Oh, gitu, ya, Pak? Saya kira, itu cuma hoaks belaka. Tetapi, kata-kata yang diucapkannya berulang-ulang itu, maksudnya apa ya, Pak?"

"Katanya, dungkek itu singkatan dari kaduhung dicekek (Menyesal dicekik). Dahulu kala, kami menemukan mayat di atas pohon beringin tersebut dengan posisi digantung seutas tali. Kata dungkek disinyalir, perasaan menyesal si pelaku bunuh diri tersebut."

"Tapi kok, dicekek? Harusnya kalau emang bunuh diri, bukannya lebih tepat kaduhung mencekik, ya, Pak?"

"Wallahualam. Tetapi, begitulah yang saya dengar, anak muda."

"Kok, saya malah berpikir kalau si penunggu itu hendak menyampaikan pesan lain, ya, Pak?" tebak Wahyu.

"Maksudnya?" Peronda tersebut menatap Wahyu dengan mata menyipit.

"Bagaimana kalau sebenarnya ia hendak menyampaikan pesan, bahwa dirinya korban pembunuhan--dicekek-- bukan pelaku bunuh diri seperti anggapan penduduk selama ini."

Pak tua menghela napas. "Entahlah, Nak! Seperti apa pun keadaannya, kami hanya berharap ia bisa tenang di alam sana.”

"Pelajaran berharga bagi kita semua agar selalu bersyukur atas takdir yang tersurat. Semoga kemudian terhindar dari putus asa dan perilaku merugikan lainnya,” sambungnya.

Wahyu manggut-manggut tanda setuju.

"Jika anak muda sudah mulai tenang biar saya antarkan ke rumah,” tawarnya.

Wahyu mengangguk seraya berujar, "terima kasih banyak, Pak!"

Pak tua segera menyalakan sepeda motor miliknya. Kemudian melaju membelah pekat malam, mengantarkan Wahyu ke tempat tujuan.

*

Terkadang hidup tidak seperti keinginan kita. Tetapi, kita harus yakin apa pun yang terjadi adalah kehendak yang kuasa. Maka, sebaik-baiknya langkah adalah dengan mempertebal rasa syukur.

End
Sumber : Cerita penduduk desa Cibitung.
Diubah oleh ceuhetty 01-07-2021 23:18
senja87Avatar border
joyanwotoAvatar border
axxis2sixxAvatar border
axxis2sixx dan 25 lainnya memberi reputasi
26
4K
57
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan