bekinyotAvatar border
TS
bekinyot
Terimakasih Untuk Kehangatan itu Om


Saat itu tahun 2012, umurku yang masih 17 tahun adalah masa yang sangat sulit untukku.

Hari-hariku dilewati dengan bekerja secara freelance sebagai fotografer. Tolong jangan bayangkan fotografer yang selalu mendapatkan job, ini adalah fotografer keliling yang ku lakukan secara acak, dan dengan taruhan orang yang kufoto mau membawa pulang fotonya. Jika tidak maka aku harus merelakan satu lembar kertas cetak fotoku.

Tahun ini adalah tahunku untuk masuk ke dalam jenjang perkuliahan, dan aku merasakan kegundahan untuk melanjutkan apa tidak. Bukanlah biaya yang menjadi suatu permasalah dalam pertimbanganku, namun adalah kenyamanan, apakah aku yakin bisa melakukannya dengan baik atau aku hanya membuang waktuku saja nantinya.

Beberapa bulan lagi pendaftaran kuliah akan segera berakhir, dan aku masih belum dapat menentukan dengan baik. Orang tuaku sudah memberikan kebebasan sejak aku diputuskan lulus dari SMA. Dan apapun yang kuputuskan sekarang semuanya harus aku pertangggung jawabkan sendiri.

Seringkali aku bermain ke tempat temanku, dengan rencana hanya untuk bersenang-senang, berbicara tentang segala hal yang tidak ada ujungnya, tentu dengan harapan akan ada petunjuk yang dapat aku temukan secara tiba-tiba.

Disuatu sore yang seperti biasa kami berdua duduk di sebuah warung dalam lingkungan komplek rumah kawanku, di depannya ada sebuah rumah dengan tubuh ikan besar digantung di atap teras. Aku tidak yakin ikan jenis apa itu.

Seorang pria besar dengan bobot otot yang terlihat tertutup lemak tubuhnya. Dirinya menyapa temanku dan memanggil untuk datang kepadanya, ternyata temanku sudah mengenal orang tersebut dengan cukup baik.

Kami berdua berada di teras rumahnya, dengan keadaan bapak pria besar tersebut sedang mengangkat barbel besar disamping kami.

“Beberapa hari ini aku perhatikan kalian berdua di warung tersebut terus, tidak ada kerjaan atau lagi nyari kerjaan kalian?” Dengan ketenangan yang sangat baik intonasi suara pria besar tersebut menyerang pikiran kita berdua.

Sebenarnya kawanku ini juga punya masalah, dirinya tidak mendapatkan tempat magang sudah dua bulan ini, dan itu semua karena dirinya juga ragu dalam memilih tempat untuk magang.

Hampir bersamaan kami berdua menjawab paertanyaannya.

“Iya om” balasku.
“Heehe, iya” temanku menimpali.

Saat itu kami berdua ditatap dengan cukup serius, dan tentu kami berdua secara reflek tertunduk tak sanggup membalas tatapannya.

Setelah mendengar permasalahan kami berdua pria besar tersebut mengenalkan dirinya kepada kami, tapatnya kepadaku. Dengan nama Budi, dirinya tidak keberatan jika dipanggil sebagai om Budi.

Menurutnya kami berdua memiliki suatu masalah yang sama, kami berdua bimbang dalam “mencari rumah”.

Mendengar kesmpulan dari maslah kami tersebut tiba-tiba saja jantungku terasa berdegup, dan aku merasakan ini bukanlah degupan biasa yang biasanya aku alami dalam kesaharianku.

Sejenak aku coba melirik kearah temanku, yang kulihat kepalanya menunduk kebawah menatap tanah, seperti melihat cermin yang menampilkan wajah dan seluruh masalah hidupnya.

Saat itu kami berdua mendengar om budi bercerita tentang perjalanan hidupnya pada saat remaja dulu. Pada masanya dirinya tidak memiliki siapapun untuk diajak berbicara masalah, orang tuanya adalah orang yang melepaskan anaknya mencari segala jawaban dari hidup dengan cara sendiri. Dari segala macam percobaan dirinya akhirnya kini berada di titik ini sekarang, dan katanya perjalanan hidupnya ini sudah digariskan untuk diturunkan kepada kami berdua saat ini.

“Jangan pernah ragu dalam mengambil keputusan, rasakan dengan hatimu, jika sudah terasa hangat, maka apapun keputusanmu itu adalah yang terbaik untuk kamu jalani.” Dengan lembut om budi bicara, dan kami berdua yang masih tertunduk, tiba-tiba saja merasakan ada suatu getaran di kepala kami.

Secara bersamaan kami berdua mengangkat kepala kami, dan menatap mata om budi, kami ucapkan terima kasih kepadanya.

Sore itu kami ditraktir kopi dari warung di depan rumahnya (tempat nongkrong kami biasa itu) dan obrolan kami terus berlanjut hingga jam tidur malam.

Keesokan harinya aku berjalan menuju kampus pendaftaran dan merasakan dengan hatiku setiap moment langkahku mendaftarkan diri di kampus, dan kurasakan kehangatan itu.



Spoiler for Sumber Gambar:
0
297
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan