Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

harrywjyyAvatar border
TS
harrywjyy
7 Malam Setelah Nenek Meninggal [Horror Story]
Thread Pindah, silahkan baca di sini ⬇️

7 Malam Setelah Nenek Meninggal NEW

Bagaimana jika orang yang sudah meninggal tiba-tiba pulang di malam hari dan mengetuk pintu? Dia berdiri di depan rumah memakai kain kafan yang masih baru!

"Semenjak nenek meninggal, suasana rumah jadi menyeramkan. Nenek suka datang di waktu malam, mengetuk pintu dan jendela. Kadang juga bernyanyi dan menangis."

Awalnya keluarga kecil ini baik-baik saja. Sampai pada saat Sang Nenek meninggal, semuanya berubah. Teror demi teror mereka alami setiap malam, mama jadi sakit-sakitan dan sering kesurupan. Keadaan kian mencekam.

Misteri apakah yang ada di balik kematian Nenek?

"Bukain Nenek pintu dong, Dek."



Quote:


Let's start!

Part 1

Kala hari telah berakhir, hari esok bagaikan kado yang kita tunggu-tunggu. Kita tak pernah tahu apa isinya dan apapun itu pasti akan menjadi hal baru bagi kita. Hanya saja kado selalu memberikan hal-hal yang kita suka, tapi hari esok tidak. Ia misterius dan tak bisa ditebak. Sore ini matahari tenggelam diiringi rintik hujan yang mulai reda, setelah ia terus turun membasahi tanah sejak beberapa jam lalu. Rasanya seperti matahari terbenam saat siang hari.

Dua burung gereja tampak nyaman di atas ranting pohon yang begitu lesu, pijakan kaki burung itu membuatnya melengkung. Ditambah tetes-tetes air hujan yang mengalir dari daun, melewati kayu tipis itu dan terjun ke bawah. Menghantam tanah dan menciptakan bunyi kecil yang sering kita dengar. Tiba-tiba sebuah kaki bersepatu hitam datang dan menginjak genangan air itu.

Seseorang berjalan di sebuah jalan kecil dengan lebar lima meter dan rumah-rumah yang berjajar rapi di pinggirnya. Sosok berbaju hitam itu lalu membuka gerbang tua yang sedikit karatan, ketika dibuka menimbulkan suara berdecit yang khas. Kakinya melangkah masuk ke sebuah halaman yang tak terlalu besar. Di kiri dan kanannya rumah tetangga berdiri begitu dekat. Ia masuk ke dalam beranda rumahnya.

Badannya lalu duduk di kursi kecil, ia angkat satu kakinya. Sepatu yang seharian ia pakai lalu dilepas olehnya. Begitu juga dengan sepatu di kaki yang satunya. Pria dengan rambut rapi yang disisir ke belakang itu membuka pintu. Wajahnya berubah, dahinya mengkerut saat ia melihat ke dalam. Tampak suasana begitu hening, sunyi dan anehnya di saat senja begini penghuni belum menyalakan lampu.

Belum pernah rumahnya segelap ini saat malam akan datang. Pria itu menutup pintu, berjalan masuk. Langkahnya pelan, kepalanya menoleh ke berbagai arah. Suara sepatunya yang membentur lantai memecah keheningan rumah. Dirinya memeriksa berbagai tempat. Namun, tak ia temukan satu pun tanda-tanda keberadaan orang.

“Mama? Kakak? Adek?” panggilnya sambil berjalan ke arah tombol lampu. Seluruh ruangan pun menjadi terang saat suara tangannya menekan tombol di dinding. Lampu menyala menyebar cahayanya. Suasana tetap sepi seperti saat ia datang. “Adek?” panggilnya lagi.

Tiba-tiba, terdengar suara dari arah kamar mandi. Suara yang sontak membuat wajahnya semakin bingung. Ia berjalan melangkah ke arah suara. Suara tangisan seorang wanita itu terdengar semakin keras di telinganya. Begitu sedih dan lirih. Ia melewati dinding yang membatasi antara ruang tengah dengan dapur dan kamar mandi. Pria itu menelan ludahnya saat dirinya tinggal beberapa meter di depan kamar mandi. Ada rasa bimbang di wajahnya, rasa ragu akan atas apa yang ia lakukan ini.

Tapi mau tak mau pria itu harus ke sana dan memeriksa langsung. Ia adalah kepala keluarga sekaligus pemilik rumah ini. Sambil menghela nafas, ia buka perlahan pintu itu. Tiba-tiba sebuah suara nyaring hampir saja membuatnya lari. Suara itu begitu Cumiik telinga, sampai-sampai ia mundur beberapa langkah dan menabrak rak piring. Suara piring beradu pun membuat suasana semakin ricuh.

Seorang anak kecil berusia lima tahun lalu berhenti meniup terompet, benda yang sejak tadi begitu nyaring di telinga. “Selamat ulang tahun, Ayah!” ucap seorang perempuan yang berdiri dengan setelan baju terusan panjang. Sebuah kue dengan lilin dan hiasan indah tampak di tangannya.

“Selamat ulang tahun!” Tiga orang anak-anaknya lalu keluar dari kamar mandi dan memeluk ayah mereka. Sang ayah memegang kepala mereka satu-satu. Sementara istrinya yang membawa kue ikut keluar bersama seorang wanita tua berambut putih yang merupakan nenek mereka.

“Kalian itu kalo mau kasih kejutan gak gini dong? Masa ngumpetnya di kamar mandi?” keluh ayah kepada mereka.

Mama lalu tertawa kecil, ia menyodorkan kue yang ada di tangannya. “Ayo tiup.”

“Tiup, Ayah!” kata Rara, anak pertamanya yang kini duduk di bangku SMA.

Niko yang berusia dua belas tahun dan Bobi si kecil yang tadi meniup terompet lalu meniru Kakaknya. “Tiup! Tiup!”
Ayah lalu mendekatkan wajahnya ke arah lilin berbentuk angka empat puluh lima itu. Api pun padam, semuanya ikut senang. Si kecil Bobi girang dan tak bisa menahan dirinya untuk mencolek sedikit krim dari kue tersebut. Mama melangkah ke meja makan yang ada di dekat dapur, perempuan dengan rambut dikuncir itu menaruh kuenya.

“Sehat terus ya, Rob,” ucap Nenek saat berjalan melewati Ayah.

“Ibu juga ya,” balas Ayah.

Malam itu menjadi malam yang istimewa, di hari ulang tahun ayah semuanya berkumpul dengan pesta yang sederhana. Setelah kue dipotong, Bobi makan banyak sekali. Krim putihnya sampai belepotan di mulut. Sesekali dirinya berebut potongan kue terbaik dengan kakaknya Niko, tapi Rara dengan tenang memisahkan mereka. Mama dan ayah duduk berdua sambil memperhatikan ketiga anak mereka, senyuman pun terukir diwajahnya. Bahagia terpatri di hatinya.

Nenek duduk tak jauh dari mereka, ia tidak makan sama sekali. “Nenek takut kena penyakit gula kaya temen Nenek,” ucapnya setiap kali ditawarkan makan kue. Aneh, padahal nenek sehat dan tidak punya riwayat penyakit apapun di usia senjanya ini. Bahkan tahun ini umurnya akan menyentuh angka tujuh puluh tahun.

Semua euforia itu berlangsung selama satu jam, meja berantakan oleh anak-anak mereka. Bahkan Ayah yang sedang berulang tahun hanya makan satu potong saja. Sisanya ia habiskan untuk melihat kebahagiaan anak-anaknya. Tawanya, candanya, obrolan polos mereka.

“Sekarang, Ayah harus kasih doa. Harapan untuk ke depannya,” kata Rara sambil membenarkan posisi duduknya.

Ayah lalu tersenyum. Matanya menatap ke atas, menangkap cahaya lampu yang etrang benderang di langit-langit sana. Tangannya terlipat rapi di dada. Anak-anak memeperhatikan wajahnya, menunggu kata apa yang akan keluar dari mulutnya. “Ayah harap, Nenek sehat selalu dan panjang umur. Supaya bisa liat cucu-cucunya berhasil, sukses punya banyak uang,” ucap ayah sambil menatap nenek dan anaknya secara bergantian.

“Amin!” balas mereka secara bergantian.

Jam menunjukkan pukul delapan malam. Mama merapikan piring dan sendok yang berantakan di meja. Gemerincing suara benda logam itu terdengar berisik saat tangan mama menyatukannya ke dalam sebuah baskom plastik kecil. Kakinya lalu melangkah ke arah wastafel. Hampir saja mama menjatuhkan baskom itu, ia kaget saat tiba-tiba nenek sudah ada di wastafel sambil membersihkan piring.

Aneh karena sedari tadi tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Tidak ada langkah kaki, tidak ada suara air dari keran. Tapi tiba-tiba dia sudah di sana. Piring pun sudah ada dua yang bersih, tertata rapi di atas rak.

“Nek?” Mama mendekat sambil membawa baskom berisi sendok dan garpu di samping wastafel. “Nenek kok turun lagi? Biar Irma aja yang bersihin semuanya, nenek ke atas aja,” kata mama sambil melihat nenek. Wajah nenek datar, tangannya terus bergerak mengusap piring-piring dengan spon kuning yang penuh oleh busa dari sabun.

Ia tidak menoleh, tidak juga melirik saat mama berucap. Apalagi membalas perkataannya, ia terus saja mencuci piring mengabaikan Mama.

“Nek?” panggil Mama sekali lagi. Kali ini wajah mama berubah bingung, sedikit cemas melihat sikapnya.

Setelah nenek selesai membersihkan satu piring yang ada di tangannya, ia langsung meraih sebuah serbet. Tangan basah itu bertemu dengan serbet dan akhirnya kering seketika. Nenek menoleh ke arah mama, sebuah senyuman muncul di wajah keriputnya. “Nenek ke atas dulu ya,” ucapnya lalu berjalan meninggalkan mama sendiri.

“Iya, Nek,” jawab mama sambil memperhatikan nenek sampai ia naik tangga yang ada di ruang tengah. Suara langkah kakinya terus terdengar hingga sampai di lantai dua. Mama lalu mulai membersihkan piring dan sendok yang tersisa. Air keran ia buka lebih besar, membuat volume air yang keluar bertambah. Tangannya lalu mulai memoles piring-piring yang penuh dengan krim itu.

Nenek menapaki satu per satu anak tangga, di tengah tangga itu lalu belok ke arah samping. Sesampainya di atas, ketiga cucunya sedang berkumpul di balkon yang tepat di depan tangga. Sedangkan di kiri adalah kamar nenek dan di kanan ada dua kamar. Satu milik Rara dan satu lagi milik Niko dan Bobi yang tidur sekamar.

“Nek, sini!” panggil Niko saat melihat nenek datang.

Akan tetapi Nenek tidak bergeming, langkah kakinya tidak berhenti. Wajahnya datar mengabaikan sang cucu. Ia berjalan menuju pintu, tangannya memegang gagang pintu dan segera masuk seolah tidak mendengar ajakan Niko.

“Eh, jalan!” kata Rara yang kemudian menepuk bahu Niko. Anak kedua itu tersadar dari lamunannya sambil melihat kamar Nenek. Ia lalu mengambil satu pion catur yang kemudian dipindahkan ke posisi lain.

Sementara itu, si kecil Bobi duduk bersandar di pagar balkon sambil memandangi ikan hias yang ia pelihara. Ikan oranye itu bergerak dengan siripnya yang indah, seolah menari-nari di dalam air. Pesonanya terpancar memanjakan mata Bobi.

Mata anak itu lalu berpindah saat ada satu objek yang mencuri perhatiannya. Kepalanya berputar ke arah samping. Ia memandangi halaman depan rumahnya, tampak ada sesuatu yang mencuri perhatiannya. Pupil matanya fokus ke satu titik. Ia melihat seorang laki-laki tanpa busana berdiri di depan rumahnya, rambutnya panjang tak terurus dan badannya kotor. Mirip orang gila yang berkeliaran di jalanan. Tangannya memegang sebuah kantung plastik.

Tangannya lalu berkali-kali mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung itu. Kemudian ia lemparkan benda yang mirip tanah ke arah rumah mereka. Mata Bobi terus memperhatikan orang itu, laki-laki telanjang terus saja melemparkan tanah ke arah rumahnya. Tanpa ada tujuan yang jelas.

“Eh, liat tuh? Ngapain dia?” tanya Bobi sambil menunjuk orang itu. Ia lalu menaruh toples berisi ikannya di lantai dan berdiri memperhatikan lebih jelas. Mendengar perkataan Bobi, kedua kakaknya ikut berdiri. Wajah mereka tampak penasaran, buru-buru mereka mendekat dan melihat ke arah yang ditunjuk Bobi.

“Apaan sih? Gak ada apa-apa juga,” kata Niko.

“Iya, gak ada apa-apa, Dek,” tambah Rara.

Bobi menoleh ke arah kakak-kakaknya. “Beneran lho itu, liat deh!” Saat Bobi kembali menoleh ke arah orang tadi, tiba-tiba orang itu sudah berdiri menghadap ke arah balkon. Wajahnya menghadap dan menatap Bobi. Matanya melotot, tapi anehnya Niko dan Rara tidak melihat.

“Takut!” Bobi langsung mengambil toples ikannya dan berlari masuk ke dalam kamar. Kedua kakaknya terdiam melihat tingkah adiknya itu, mata mereka kembali mempertegas ke arah yang ditunjuk Bobi. Tetap tidak ada apa-apa di sana.

“Apaan sih, Bobi? Gak ada apa-apa juga,” kata Rara sambil kembali duduk di dekat papan catur.

“Iya orang sepi begitu,” tambah Niko.
Mereka melanjutkan permainan mereka selama satu jam, sampai akhirnya mama naik ke lantai atas dan membubarkan mereka saat sudah memasuki jam tidur. Anak-anak itu pun menurut. Pintu balkon di tutup, lampu-lampu dimatikan. Keluarga itu pun terlelap dalam sunyinya malam, bersiap untuk hari esok yang akan datang. Hari esok yang bagaikan kado dengan isi yang misterius.

Bersambung ....
Diubah oleh harrywjyy 27-07-2022 11:46
provocator3301Avatar border
bukhoriganAvatar border
jinramyeonAvatar border
jinramyeon dan 8 lainnya memberi reputasi
7
4.4K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan