Kepala Staf Kantor Kepresidenan yang juga mantan panglima TNI, Moeldoko menjadi sorotan publik akhir-akhir ini lantaran tindakannya yang ingin melakukan pengajuan kembali (PK) atas keputusan Mahkamah Agung RI yang memenangkan AHY cs dalam hal kepemilikan sah Partai Demokrat.

Hal tersebut menuai berbagai kecaman dan prangsangka dari kalangan petinggi Partai Demokrat yang sah, salah satunya dari Herman Khaeron. Politisi tersebut meyakini kuat ada motif politik dibalik tindakan Moeldoko.

Ini menjadi sangat beraroma kental sebab dilakukan tepat setelah join statemen 3 parpol yang bakal mengusung Anies Rasyid Baswedan dalam pilpres 2024 mendatang. Ketiga parpol tersebut adalah Nasdem sebagai pemrakarsa yang kemudian didukung oleh Demokrat dan PKS. Ketiganya mengusung sebuah koalisi bersama yang mereka sebut koalisi perubahan.

Seperti diketahui, PK (peninjauan kembali) adalah suatu mekanisme hukum yang memungkinkan pihak yang merasa dirugikan dalam suatu putusan pengadilan untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan yang lebih tinggi. PK dilakukan berdasarkan fakta atau bukti baru yang belum pernah diajukan dalam persidangan sebelumnya.

Namun demikian, untuk mengajukan PK, harus ada alasan yang sah dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Tidak boleh ada upaya untuk menyalahgunakan mekanisme ini untuk kepentingan politik atau pribadi.

Dalam kasus ini, Herman Khaeron dari Partai Demokrat menuduh bahwa Moeldoko menggunakan PK sebagai bagian dari upaya untuk menghalangi Anies Rasyid Baswedan dari proses pencalonan presiden. Namun, hingga saat ini belum ada bukti konkret yang menunjukkan adanya motif politik atau pribadi di balik PK tersebut.

Sebagai negara demokratis, prinsip keadilan, ketertiban, dan supremasi hukum harus dijunjung tinggi. Setiap orang, termasuk pejabat publik, harus menghormati keputusan pengadilan yang telah diambil, terlepas dari apakah mereka setuju atau tidak dengan putusan tersebut.

Dalam hal ini, Moeldoko harus menjelaskan dengan jelas dan transparan mengapa ia mengajukan PK. Sebaliknya, Herman Khaeron dan Partai Demokrat harus memperhatikan bahwa tuduhan tanpa bukti konkret hanya akan merusak tata kelola negara yang baik dan menimbulkan ketidakpercayaan pada institusi pengadilan.

Dalam konteks yang lebih luas, upaya untuk memastikan bahwa institusi hukum bekerja secara independen dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik atau pribadi harus menjadi prioritas bagi negara demokratis. Hal ini penting untuk menjaga integritas dan kredibilitas sistem hukum yang merupakan dasar dari sebuah masyarakat yang adil dan demokratis.

Lebih lanjut tindakan Moeldoko bisa saja dianggap sebuah manuver yang melibatkan pihak istana. Ini berkaitan erat dengan upaya pembentukan "koalisi gemuk" yang digadang-gadang bakal diisi oleh orang-orang kepercayaan Jokowi. "All Jokowi Man", sebuah istilah yang santer terdengar di publik adalah sebuah wacana pembentukan koalisi yang akan mengusung bacapres yang konon direstui oleh presiden Jokowi.

Apapun itu, secara etis tindakan Moeldoko tidak dapat diterima. Bagaimanapun juga upaya untuk "merampas" Partai Demokrat adalah tindakan yang tidak wajar. Padahal jika meyakini kemampuan dirinya secara elektabilitas dan pengaruh, hal paling bijak dilakukan oleh Moeldoko adalah membentuk partai politik baru dengan jerih payahnya sendiri.

Apapun itu, semoga polemik ini bisa segera berakhir. Ini merupakan tontonan yang tidak elok dan dapat mencederai semangat demokrasi yang sudah lama kita gaungkan.

Nah Agan dan Sista, bagaimana pendapat kalian mengenai hal ini? Apakah setuju atau punya perspektif lain? Berikan komentar kalian di bawah yaa. Terima kasih sudah membaca, see you on the next thread.

Narasi : Ulasan Pribadi

Sumber Referensi :

https://wartaekonomi.co.id/read49343...anies-baswedan

Copyright @albyabby912023, All right reserved