Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Tanah Kuburan, Kuburan Ayah - KUNCEN


Banyak yang bilang rezeki itu sudah diatur. Banyak yang bilang makanan semut tak akan diembat gajah. Banyak yang bilang seperti itu, tapi menurutku itu cuma ucapan manis orang-orang yang tak tahu rasanya banting tulang tanpa imbalan yang pantas.

Keluargaku memiliki sebuah toko. Cuma toko kecil, tapi toko itu sudah buka sejak dimulai oleh kakekku dan toko itulah yang sudah membiayai hidup ayah dan paman-pamanku. Sekarang toko itu dipegang oleh ayahku dan dari toko itulah beliau membiayai aku dan adik-adikku. Aku sudah memutuskan untuk meneruskan toko dan akan meneruskannya pada anakku kelak.

Namun semua berubah secara perlahan. Awalnya itu cuma getaran kecil, tetapi tahun demi tahun merubahnya menjadi ancaman besar. Kemunculan minimarket dan supermarket telah merubah toko kebanggaan kami menjadi sarang debu tempat penyimpanan barang yang tidak laku.

Bagaimana caranya sebuah toko kecil bisa bersaing dengan raksasa kapitalis? Apalagi jika minimarket itu berada tepat di seberang jalan. Keramiknya yang putih, bola lampu yang berkilau, dan senyum manis kasir cantik itu pasti akan menarik siapa pun untuk berbelanja di sana.

Mereka bilang kita harus tetap berusaha, jangan pernah menyerah, tetapi aku langsung tahu kalau kami bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan mereka. Mereka punya uang untuk mendatangkan lebih banyak uang sedangkan yang kami punya hanya tagihan uang sekolah yang sudah menunggak. Promo, diskon, giveaway, itu semua mustahil kami lakukan.

Ayahku seorang pengusaha sejati, dia terus berusaha melakukan perlawanan. Dia merubah toko menjadi warung kopi, membuat tempat ini menjadi tempat nongkrong yang asik, tetapi hanya dalam hitungan bulan sebuah kafe dibangun tepat di sebelah minimarket dan kafe itu menarik semua pengunjung warung kopi.

Mana mungkin itu kebetulan, semua pasti sudah direncanakan.

Akhirnya ayahku pun jatuh sakit, toko sudah di ambang kebangkrutan, tapi satu kalimat terakhir dari ayah membuatku memutuskan berjuang sedikit lebih lama.

“Setelah ayah dikubur, ambil sepuluh kepal tanah kuburan ayah dan taruh di halaman minimarket itu.”

Aku sudah tak percaya kata-kata motivasi dari orang lain, tapi aku percaya pada ayah. Di malam ayah dikubur aku mengambil sepuluh kepal tanah kuburannya dan menaruhnya di pot bunga yang menjadi hiasan halaman minimarket. Rasanya seperti sihir. Ada sensasi dingin di dalam tubuhku yang tak pernah hilang sejak aku melakukan itu.

Namun perasaan dingin itu cuma bayaran kecil jika dibandingkan dengan kebangkitan kembali toko kebanggaan kami.

Pembeli yang biasanya cuma numpang lewat kini masuk dan melihat-lihat. Mereka memesan kopi, mengobrol panjang, dan bahkan membeli jajanan untuk anak-anak mereka di rumah. Sementara itu minimarket seberang jalan perlahan menjadi sepi. Keramiknya berdebu, separuh lampu dimatikan, bahkan si kasir cantik sudah enggan memberikan senyuman.

Apakah aku merasa bersalah? Tidak, tidak sama sekali. Jika mereka bisa menggunakan uang untuk menekan usaha toko kami (dan mungkin ribuan usaha lain) maka apa salahnya jika aku menghalalkan segala cara untuk melawan balik?

Tanah kuburan ayah sukses memutar balik keadaan, tapi aku tak bisa puas hanya dengan satu pembalasan. Tak lama setelahnya aku kembali mengambil sepuluh kepal tanah kuburan ayah dan menaruhnya di halaman kafe sebelah minimarket. Kafe itulah yang merusak harapan terakhir ayah. Kafe itu juga harus merasakan keheningan dari ketiadaan pelanggan.

Semua sempurna. Uang dan pelanggan terus berdatangan sementara minimarket dan kafe di depan akhirnya angkat tangan dan gulung tikar. Mimpiku dan ayah pun terwujud, toko keluarga kami akan terus bertahan hingga generasi anak cucuku kelak.

Namun perubahan datang begitu cepat.
Tanpa kusadari minimarket lain muncul di berbagai tempat. Tak hanya minimarket, rumah-rumah yang semula hanya rumah biasa perlahan berubah menjadi ruko. Saingan terus meningkat sementara pembeli lebih memilih menabung daripada membeli yang tak perlu. Lagi dan lagi, toko kembali sepi.

Tiga tahun sejak aku pertama kali mengambil tanah dari kuburan ayah. Sejak hari itu ada sesuatu di dalam diriku yang berubah dingin dan rasa dingin itu tidak pernah hilang tak peduli tahun berganti. Saat aku kembali mengambil tanah dari kuburan ayah hawa dingin itu bertambah dan mulai menyesakkan dada.

Meski demikian aku memerlukan tanah itu untuk menyingkirkan para pesaing. Awalnya rasa dingin itu hanya ada di dada, lalu perlahan merambat ke tangan, pinggang, kaki, dan akhirnya merambah ke leher. Entah sudah berapa tempat yang kutaburi tanah kuburan, tubuhku sudah tak lagi bisa merasakan kehangatan.

Terus dan terus. Layaknya mayat hidup aku terus menggali kuburan ayah dan menaburnya di tempat saingan kami. Yang kurasakan hanya dingin, yang kupikirkan hanya kelangsungan toko kami. Terus dan terus aku menggali tak kenal hari sampai akhirnya aku sadar apa yang sebenarnya terjadi.


Tanahnya sudah hampir habis ….



Kuburan ayah sudah berubah menjadi lubang ….



Dan kedua mata ayah menatapku dalam-dalam di dalam lubang kuburan itu.



“Ali … dingin ….”


Dan kemudian, aku berteriak.

Aku berlari sekencang-kencangnya tanpa peduli teriakanku membangunkan setengah kota. Aku berlari, berlari, dan berlari sampai tak tahu ada di mana.

Itulah yang terjadi pada diriku. Tanah itu bagaikan selimut bagi ayah dan aku terus mengambilnya sehingga hawa dingin kuburan merasuk menembus kain kafannya dan juga merasukiku. Hawa dingin yang terus bertambah seiring banyaknya tanah yang kuambil kini sudah mencapai kepala.


Aku … sudah sama dinginnya dengan mayat. Namun aku tetap bergerak, aku tetap berteriak. Seperti mayat hidup, hanya berlari tanpa tujuan, berteriak tanpa makna. Tak bisa berhenti, tak bisa berpikir, hanya lari dan terus berlari.

Dingin, dingin, dan dingin. Bahkan dunia sudah enggan membagikan kehangatannya padaku. Yang kuinginkan hanyalah agar toko bisa terus berjalan, aku hanya meneruskan impian dari ayah. Ya … ayah. Ini semua salah ayah.

Dan kemudian, aku kembali ke kuburannya. Lubang kubur itu masih menganga lebar seolah menunggu tanahnya dikembalikan. Entah di mana semua tanah itu berada, tapi jika hanya sekedar tanah untuk membuatmu hangat, ada aku di sini, ayah. Aku sudah melakukan semua yang kau mau dan jika kau mengeluh dingin maka pakailah tubuhku sebagai selimutmu. Mungkin dua mayat dingin bisa saling berbagi kehangatan.

***


Dan kemudian, Ali terjatuh. Seluruh tanah yang dia ambil kini dibayar dengan tubuhnya sendiri. Sedikit demi sedikit daging dan darahnya berubah menjadi tanah keras nan hitam yang terus menumpuk hingga menggunung.

Kuburan itu telah kembali seperti semula. Sesungguhnya apa yang dia tuai, itu pulalah yang harus dia taburkan kembali.



--END--
iwenaAvatar border
mancitybestAvatar border
rinandyaAvatar border
rinandya dan 14 lainnya memberi reputasi
15
1.4K
45
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan