ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #9 : Kamera Hantu


Kenangan. Sebuah memori indah yang terasa hangat dan membahagiakan. Setiap orang memiliki kenangan yang mereka simpan rapi dan tarik keluar saat membutuhkan kebahagiaan. Namun, di kala detik waktu terus bergerak dan usia terus bertambah, kenangan bisa memudar.

Banyak cara untuk mengabadikan kenangan. Ditulis, dilukis, atau dicetak. Dengan kamera sederhana dan segulung film sebuah kenangan bisa diabadikan dalam bentuk foto. Foto tersebut kemudian dicetak, diberi piugra, dan dipajang di ruang tamu.

Namun kenangan hanyalah kenangan. Kenangan tak akan bisa menggantikan yang asli. Hal itulah yang sangat dipahami sekaligus disesali oleh Rio. Tak peduli secantik apa dia menghias foto putrinya dan menggantungnya layaknya pusaka keluarga, dia tak akan pernah bisa memeluk putrinya lagi.

Sayang sekali,Rio bergumam sembari mengelus kamera digital yang rencananya akan dia berikan untuk ulang tahun kesepuluh putrinya, Mia sangat suka foto.

***


Pada akhirnya kenangan hanyalah kenangan, kenangan ada untuk mendorong kehidupan. Itulah sebabnya Rio keluar dari kamar dan kembali pada pekerjaannya. Tidak mudah untuk hidup sebagai fotografer dan akan semakin tidak mudah jika dia menghilang tanpa kabar selama berbulan-bulan.

Kebetulan dia mendapat tawaran untuk menangani pemotretan wisuda di suatu universitas. Memotret ratusan foto akan membuatnya terlalu sibuk untuk mengenang masa lalu.

“Mi, kamu lihat kameraku nggak?”

“Bukannya di kamar ya?”

“Yang satu lagi, yang di kamar rusak,” jawab Rio. Mika mencoba untuk mengingat-ingat, tapi akhirnya menggeleng sebagai jawaban.

“Mungkin ketinggalan di rumah Papa. Kita kan buru-buru pulang kemarin,” ucapnya.
Rio memang tidak yakin apakah dia mengemas kameranya saat pulang dari rumah mertuanya kemarin. Kalau benar kameranya tertinggal di sana maka tak mungkin dia bisa memakainya besok.

“Nggak mau pakai yang ini aja?”

Rio menoleh ke arah yang ditunjuk istrinya. Ada rasa sedih di hatinya saat melihat kamera yang kini cuma jadi pajangan di lemari kaca. Teringat kembali mimpinya untuk mengajari Mia cara mengambil gambar. Ahh, semua cuma tinggal mimpi sekarang.

“Jangan sedih terus,” dengan lembut Mika membelai kepalanya. “Jadikan itu sebagai pengingat. Ada seseorang yang melihatmu dari atas sana.”

“ .… Iya. Makasih ya sayang.”

Bukan cuma dia yang merasa kehilangan. Dia tidak sendirian. Tidak pernah sendirian.

Akhirnya Rio pun membawa kamera tersebut dan berangkat ke acara wisuda. Wisuda diselenggarakan di aula besar yang mampu menampung seribu orang dengan 500 wisudawan di dalamnya. Tugas Rio lah untuk memotret semua wisudawan saat mereka menerima ijasah. Dia melakukan tugasnya dengan baik. Kamera yang hendak dia hadiahkan pada Mia adalah kamera profesional yang bahkan lebih baik daripada kamera yang dia punya.

Wajah-wajah gembira para mahasiswa itu entah bagaimana membuat Rio merasa tenang. Ini adalah hari yang akan mereka kenang seumur hidup dan Rio bersumpah akan mencetak kenangan itu dengan seindah-indahnya.

***


“Halo Pak! Iya, maaf, softfile foto wisuda tadi bisa saya kirim pagi hari aja nggak? Ada sedikit masalah soalnya …. Nggak, bukan masalah serius kok …. Iya iya, makasih ya.”

Rio menghembuskan napas berat. Dia sama sekali tak menduga akan mendapat masalah yang harus membuatnya memperpanjang deadline. Sudah hampir sepuluh tahun sejak dia memutuskan menjadi fotografer profesional dan ini pertama kalinya dia meminta perpanjangan deadline. Masalahnya juga bukanlah masalah teknis yang biasa dia hadapi melainkan sesuatu yang berada di luar lingkup pengetahuannya.

“Ini … asli?” tanya Mika entah untuk keberapa kalinya malam itu.

“Aku nggak tahu. Tadi itu jelas-jelas nggak ada.”

“Terus, mau digimanain?”

Rio menggaruk kepalanya dengan kasar. Bagaimana tidak? Ratusan foto yang dia ambil pagi itu menampakkan sesuatu yang tak lazim, sebuah penampakan. Latar gambar yang harusnya merah polos kini memperlihatkan sosok semi-transparan seorang anak kecil. Bukan hanya satu atau dua, tapi semua foto yang dia ambil.

Ini pertama kalinya Rio memotret sebuah penampakan. Dia pernah mendengar hal serupa dari rekan seprofesinya, tapi tak pernah mengalaminya sendiri. Rio yakin sosok itu tak ada saat prosesi wisuda, sosok itu hanya tampak di dalam foto.

“Mungkin bisa kuedit pakai photoshop,” gumam Rio kemudian.

“Yakin? Ini ratusan lo.”

“Mau gimana lagi?”

Mika tak menemukan jawaban lain. Meski demikian dia berkata, “Bisa simpan file aslinya nggak? Ini agak … aneh kan?”

Rio mengangguk dan membuat salinan file tersebut. Akhirnya Rio pun menghabiskan berjam-jam mengedit semua foto tersebut dan mengirimkannya pada klien tepat saat matahari terbit. Rio menguap, dia tak sempat tidur satu detik pun. Tanpa repot-repot mandi atau berganti pakaian dia langsung membenamkan diri ke kasur dan tertidur lelap.

Beberapa saat kemudian (atau begitulah rasanya) dia terbangun akibat Mika yang menggoyang tubuhnya dengan panik.

“Pi, lihat ini Pi! Lihat!”

Rio merasa matanya terbakar saat tiba-tiba disodorkan layar ponsel tepat setelah bangun. Dia mengucek matanya dan setelah terbiasa dia pun melihat apa yang membuat Mika panik. Ternyata itu adalah foto penampakan semalam.

“Emang kenapa, Ma? Ada yang salah?”

“Mulutnya,” seru Mika. “Hantu ini ngomong sesuatu. Lihat deh.”

Rio menyipitkan matanya. Benar saja, mulut hantu tersebut terbuka dan tertutup membentuk sebuah pola.

“To … long?”

“Mayatku di bawah sini,” sambung Mika ketakutan. Rio tak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Apa hantu itu mencoba memberi mereka pesan?

***


“Nggak mungkin, Ma. Nggak mungkin.”

Satu bulan sejak kejadian itu, Rio mendapat tawaran untuk sesi wisuda di universitas yang sama. Seperti yang Mika takutkan, Rio kembali memotret penampakan hantu itu. Selain harus bekerja lembur lagi, Rio harus dipusingkan dengan Mika yang jadi kelewat takut.

“Tapi tubuh anak itu terkubur di bawah sana. Kamu tega abaikan dia gitu aja?”

“Tapi kita nggak mungkin minta universitas buat bongkar Aula Besar cuma gara-gara ada penampakan. Lagian siapa yang mau percaya?”

“Tapi hantu ini masih anak-anak lo. Kalau … kalau misalnya Mia dikubur nggak layak apa kamu bisa terima?”

Penyebutan nama Mia membuat Rio tertegun panjang. Apa yang harus dia lakukan? Tak mungkin pihak universitas peduli pada penampakan semacam ini. Lagipula kenapa hanya kamera Rio yang bisa menangkap gambar si hantu kecil? Tadi dia mencoba memotret dengan kamra ponsel dan hantu itu tidak ada di dalam foto.

Dia ingin menolong anak itu, tapi apa yang bisa dia perbuat? Apa pihak universitas mau merusak fasilitas mereka dan mengeluarkan dana ratusan juta untuk seorang anak kecil yang tak bisa dilihat siapa pun? Tidak, tak ada yang bisa dia lakukan.

Namun di dasar hatinya dia tahu dia harus melakukan sesuatu. Bukan hanya untuk anak itu, tapi juga untuknya, untuk Mika, dan untuk Mia yang melihat dari atas sana.

***


“Ini … asli?”

Rio mengangguk. Dia memperlihatkan semua foto hantu tersebut pada Pak Anton, orang yang mengurus prosesi wisuda. Entah apa yang Rio harapkan, tapi jelas dia berharap Pak Anton bisa melakukan sesuatu. Namun, Pak Anton cuma geleng-geleng kepala.

“Kalau di kamera lain ada penampakannya nggak?”

“Nggak ada sih, cuma kamera ini aja,” jawab Rio sembari menunjuk kamera yang sengaja dia bawa.

“Kalo gitu bulan depan pakai kamera lain aja.”

Rio mengernyit, bukan itu jawaban yang dia inginkan.

“Maksud saya, hantu anak ini menyampaikan pesan, Pak. Coba lihat mulutnya.”

Pak Anton menghembuskan napas berat. Setitik emosi dongkol muncul di wajahnya.

“Pak Rio, bapak maunya apa? Mau kami bongkar Aula Besar buat nyari mayat hantu ini? Nggak masuk akal! Lagian di mana-mana pasti ada mayat yang terkubur. Sudahlah! Kalau Bapak terus protes kami bakal cari kameramen lain.”

Meski sudah siap dengan penolakan, Rio tetap merasa sakit. Dia melangkah keluar dari gedung rektorat dengan kaki yang terasa berat.

Memang sulit menjadi orang kecil, pikirnya. Tak ada uang, tak ada kuasa. Hanya ada tekad yang perlahan berubah menjadi penyesalan. Memang aneh rasanya jika Rio benar-benar peduli pada hantu kecil yang bahkan dia tak tahu apa sebenarnya itu. Rio selalu takut pada hantu, tapi hantu ini membuatnya tak bisa berpaling begitu saja.

Rio hanya berjalan tanpa tujuan, tapi tanpa sadar kakinya membawanya menuju Aula Besar tempat prosesi wisuda biasanya diadakan. Rio menatap pintu yang tertutup. Dia ada di sini, pikirnya.

“Maaf,” Rio berkata tidak pada siapa pun, “aku nggak bisa nolong kamu. Nggak mungkin aku bisa bujuk universitas. Aku cuma orang biasa, cuma seorang ayah yang merasa bertanggungjawab demi anaknya.”

Rio mengelus kamera putrinya. Dia paham, semua ini dia lakukan karena dia tahu itulah yang diinginkan oleh putrinya. Ada banyak hal yang ingin Rio lakukan bersama putrinya, ada banyak hal yang dia harapkan saat melihat anaknya tumbuh besar, dan tanpa sadar Rio mencurahkan semua emosi itu untuk menolong hantu kecil yang terlihat seperti putrinya.

Tanpa sadar kedua tangan Rio sudah mengangkat kamera dan memotret pintu depan. Dia mengharapkan jawaban atas permintaan maafnya dan berharap agar hantu itu mengerti, tapi hantu itu tidak mengatakan apa-apa. Dia malah mengangkat tangannya dan menunjuk ke suatu tempat.

Rio melihat ke arah yang hantu itu tunjukkan padanya. Rio memotret sekali lagi dan kali ini hantu itu mengangguk padanya. Meski tak paham, Rio memutuskan mengikuti arah yang hantu itu tunjuk. Rupanya dia masih belum ingin menyerah.

Rio tak tahu seberapa jauh ia harus berjalan, tetapi dia langsung paham apa yang hendak hantu itu tunjukkan padanya. Di belakang gedung rektorat, sedikit tertutup oleh cabang pohon yang rindang, dia melihat seseorang dengan tindak-tanduk mencurigakan.

“Itu kan Pak Rektor,” bisik Rio.

Pak Rektor tidak sendirian. Dia bersama seorang wanita yang masih sangat muda, mungkin seorang mahasiswi. Rio tersenyum samar, rencana licik berjalan di otaknya. Segera dia mengangkat kameranya dan memotret mereka berdua secara diam-diam mulai dari saat mereka masuk ke dalam mobil hingga saat mereka memasuki hotel.

***


“Apa maksudnya ini?”

Pak Yogi menatapnya berang. Ini pertama kalinya Rio bertatap muka secara langsung dengan Pak Rektor dan jelas ini tak akan menjadi kesan pertama yang baik.

“Saya cuma punya satu permintaan. Jika Bapak menuruti itu saya jamin foto-foto ini tak akan tersebar ke mana pun.”

“Bongkar Aula Besar? Kamu gila ya? Buat apa?!”

Meski Rio yakin Pak Yogi tak akan percaya dia tetap memberitahu alasannya. Ekspresi Pak Yogi melunak. Alasan yang sungguh konyol dibandingkan aksi yang berbau kejahatan.

“Rombak Aula dan cari mayat anak itu … cuma itu kan?”

“Ya, cuma itu.”

Rio bisa saja meminta uang dalam jumlah besar. Bagaimanapun ini adalah skandal serius yang bisa menghancurkan hidup Pak Yogi. Namun, Rio tidak menginginkan hal itu. Dia hanya berharap untuk kebahagiaan seorang gadis kecil yang kehidupan telah direnggut darinya. Ya, itu saja sudah cukup.

***


“Kau berhasil, Sayang. Kamu berhasil!”

Mika memeluknya hangat. Sudah satu bulan sejak Rio menemui Pak Yogi dan Pak Yogi menepati janjinya. Dengan alasan renovasi dia memerintahkan pembongkaran Aula Besar dan di salah satu fondasinya mereka menemukan mayat seorang gadis kecil yang terperangkap terkubur di dalam semen.

Usut punya usut ternyata mayat itu sudah berada di sana 15 tahun lamanya sejak bangunan itu berdiri. Setelah penyelidikan lebih dalam 15 tahun lalu ada kasus anak hilang di daerah tersebut dan datanya cocok dengan hasil autopsi. Orangtua anak itu sangat bersyukur atas penemuan ini.

Tak ada yang tahu mengapa anak itu bisa sampai berada di sana, orangtuanya sudah begitu bersyukur bisa mengubur anaknya dengan pantas. Hari ini Rio dan Mika akan mengunjungi makamnya dan memberikan penghormatan yang sepantasnya.

“Aku masih nggak tahu kenapa cuma kamera ini yang bisa nangkap hantu anak itu,” ucap Rio dalam perjalanan.

“Mungkin … mungkin Mia yang menunjukkannya padamu,” jawab Mika. Rio mengelus kamera putrinya yang memang sengaja dia bawa. Rio merasa jauh lebih nyaman mempercayai dugaan itu dibanding hal mistis lain.

“Aku foto ya. Satu … dua … tiga!”

Saat memotoret Mika di sebelah batu nisan, Rio sama sekali tak terkejut saat melihat hantu anak itu ada di dalam foto. Seperti biasa, mulut anak itu bergerak seolah ingin mengucapkan sesuatu jadi Rio memotret lagi, lagi dan lagi.

“Te-ri-ma-ka-sih.”

Lima suku kata itu menjadi pesan terakhirnya. Dia menghilang di foto keenam dan sejak saat itu kamera Rio tak pernah menangkap penampakan lagi.

***TAMAT***
jenggalasunyiAvatar border
hamudaoki989Avatar border
jembloengjavaAvatar border
jembloengjava dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.6K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan