ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #19 : Reinkarnasi


Bagaimana rasanya hidup di waktu yang salah?

Manusia di jaman ini lahir terlambat untuk menjelajahi samudra, tapi terlalu cepat untuk menjelajahi antariksa. Kita yang hidup di masa ini tak bisa meraih apa pun, tapi itu adalah takdir yang tak bisa diganggu-gugat.

Namun, aku terus merasa bahwa aku tak seharusnya berada di waktu ini. Hanya sedikit menyimpang, tapi menciptakan lubang ketidakteraturan yang besar. Aku memiliki sedikit lebih banyak waktu dibanding yang lain dan itu membuatku merasa … berbeda.

Pada tahun 2015, aku sudah mati. Rasanya seperti melayang di kehampaan tanpa apa pun yang bisa dilihat, didengar, maupun dirasakan. Kosong. Tak merasa, tak berpikir. Rasanya seperti tidur, tapi jauh lebih ringan. Dan kemudian kekosongan itu berubah menjadi panas, basah, dan lembut. Butuh waktu lima tahun bagiku untuk menyadari bahwa itu adalah perasaan di dalam kandungan.

Tepat sembilan bulan sejak kematianku, aku terlahir kembali.

Aku ingat semuanya. Sepuluh tahun kehidupanku di masa lalu tergambar jelas di ingatan tubuh ini. Nama, orangtua, sahabat, semua masih terukir jelas dan tak bisa diabaikan. Aku bukanlah seorang anak Sumatra berkulit gelap, aku adalah orang Jawa berkulit putih. Orangtuaku adalah Papa dan Mama, bukan Ayah dan Ibu.

Aku tidak seharusnya ada di sini. Di tempat ini, di waktu ini. Aku berbeda dari mereka semua dan karenanya aku tak bisa menyingkirkan perasaan bahwa semua ini adalah palsu.

Aku tak bisa menganggap orangtua baruku selayaknya orangtua. Aku tak bisa akrab dengan anak-anak seusiaku karena aku merasa terlalu tua untuk mereka. Aku bukanlah aku dan ini bukanlah duniaku.

Tahun demi tahun yang kuhabiskan di tubuh Denny membuatku merasa tak nyaman. Rasanya seperti tersesat. Aku tahu jalan pulang dan aku harus ke sana. Layaknya seekor burung yang bermigrasi, insting itulah yang membuatnya ingin pulang.

Akhirnya aku pun mulai menabung. Aku ingat alamat rumahku dan biaya ke sana tidaklah murah. Ketekunan dan rindu membuatku menyisihkan semua uang yang kudapat pada sebuah celengan plastik yang kujaga baik-baik.

Aku akan pulang, itulah yang terus kuucapkan pada diri sendiri setiap kali memasukkan uang ke dalamnya.

Hari demi hari, tahun demi tahun. Akhirnya, saat aku berumur 15 tahun, aku mengumpulkan cukup uang untuk perjalanan pulang. Hanya satu kali perjalanan, aku sama sekali tak punya niat untuk kembali. Aku akan menemui Papa dan Mama lalu menceritakan semua yang telah aku alami.

Dalam perjalanan aku mengingat kembali akhir kehidupanku dulu. Aku meninggal karena penyakit. Hari-hari terakhirku kuhabiskan dengan berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit berwarna putih. Rasanya sangat hampa dan tidak bermakna. Bagi anak berumur sepuluh tahun itu adalah perasaan yang sangat menakutkan.

Entah kenapa aku merasa tahu kalau aku akan mati. Wajah dokter tidak menunjukkan harapan, bahkan Papa dan Mama mulai menjauh. Mungkin mereka tak sanggup melihat anak semata wayang mereka meninggal. Aku tidak ingin melihat mereka bersedih dsn karenanya aku pun berdoa, memohon pada Tuhan untuk memberiku kesempatan kedua.

Dan inilah kesempatan kedua itu.

Rasanya aneh melihat perumahan ini lagi setelah 16 tahun lamanya. Banyak hal telah berubah. Toko buku di ujung jalan sudah tutup, pohon besar di depannya sudah ditebang, bahkan beberapa rumah sudah tergusur digantikan supermarket.

Namun rumah itu tidak berubah. Rumah dua lantai sederhana bercat biru yang sudah menguning. Anjing peliharaan yang biasanya berjaga di depan rumah memang sudah tak ada, tapi aku bisa mendengar suara-suara dari dalam sana. Ahh, suara itu sangat membuat rindu.

Dengan keberanian yang sudah terkumpul selama 15 tahun aku pun mengetuk pintu. Kira-kira apa yang harus kukatakan lebih dulu? Apa aku harus memeluk mereka erat? Atau meminta maaf sudah membuat mereka menunggu lama?

“Iya?”

Ahh … Mama. Dia masih sama cantiknya dengan yang ada dalam ingatanku. Dia memancarkan kehangatan dan kasih sayang yang membuatku terpukau tak sanggup berkata-kata. Sungguh aku merindukannya. Tak terbayang hidupku tanpa dia.

“Ada apa ya?”

“Ahh. A-aku ….”

“Mama!”

Perhatianku tercuri oleh seorang anak kecil yang berlari dan memeluk Mama dari belakang. Anak itu memiliki wajah yang sangat familiar. Wajah yang seharusnya adalah milikku.

“Kenapa Sayang? Kok belum mandi?”

“Airnya dingin.”

“Ohh, mau mandi air panas? Sebentar Mama siapin ya.”

Dengan ekspresi bingung dan canggung bercampur Mama kembali menoleh ke arahku dan berkata, “Tunggu sebentar ya. Silahkan masuk dulu.”

Aku ditinggal sendirian bersama kebingungan. Meski bagian luar rumah nyaris tak berubah, bagian dalam sudah tak bisa dikenali lagi. Poster-poster superhero yang dulu kukumpulkan dengan susah payah kini hilang tak berbekas. Sepeda kesayanganku juga sudah tidak terlihat. Dan di lemari tempat mereka memajang foto keluarga … tak ada diriku di sana. Semua fotoku sudah tak ada.

Sebenarnya apa yang kuharapkan? Lima belas tahun aku terus bertekad untuk pulang, tapi ternyata tempat ini bukan lagi rumahku. Aku sudah terganti … mereka sudah melupakanku.

Rasanya seperti kembali terjebak di aliran waktu. Jika masa ini bukanlah waktuku maka apa jadinya jika rumah ini juga bukan tempatku? Di mana dan kapan sebenarnya aku berada?

“Maaf ya, anak saya nggak suka mandi air dingin. Ngomong-ngomong, kamu cari siapa?”

Semua rindu dan ucapan telah buyar dari kepala. Aku mengangkat wajah dan menatap wajah orang yang dulunya adalah ibuku. Namun, sekarang dia adalah ibu dari orang lain. Ibu dari seseorang yang akan menggantikanku memberinya kebahagiaan.

“Maaf, saya salah rumah.”

Dan kemudian aku berlari. Berlari meninggalkan rumah itu, berlari dari masa lalu. Aku tak yakin ke mana aku harus berlari. Ke mana pun aku pergi, tak ada tempat untukku pulang.

***


“Nak, sebenarnya kamu kenapa?”

Satu bulan sejak kejadian itu dan aku masih belum bercerita apa-apa. Di tengah keputusasaan aku menghubungi orangtuaku di Sumatra dan meskipun aku tak memberi penjelasan mereka mau menjemputku jauh-jauh ke Jawa.

Satu bulan ini terasa seperti siksaan. Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Ayah dan Ibu. Aku bahkan tak sanggup menjawab pertanyaan dalam diriku sendiri. Bahkan, masihkah aku pantas memanggil mereka Ayah dan Ibu?

Lama kelamaan semua orang semakin lelah bertanya padaku dan akhirnya meninggalkanku seorang diri. Cuma Ibu yang terus mengajakku bicara setiap harinya.

“Nak, kemari sebentar.”

Suatu hari dia mengajakku ke gudang. Ini adalah tempat untuk menyimpan barang-barang yang tak lagi digunakan, tapi terlalu berharga untuk dibuang. Ibu menunjukkan sebuah album foto padaku. Sebuah album tua yang tak pernah kulihat sebelumnya.

“Ibu pernah cerita kan? Kau punya kakak. Dia meninggal saat masih bayi.”

Aku pernah dengar, tapi ini pertama kalinya aku melihat fotonya.

“Dokter bilang Ibu akan sulit punya anak, tapi kemudian kakakmu lahir. Kau tak akan bisa membayangkan betapa senangnya Ibu. Dia adalah anugrah yang tak tergantikan. Tapi ….”

Wajah sendunya membuatku merasa tak enak. Tak ada orangtua yang ingin melihat anaknya mati. Tak mungkin.

“Butuh waktu lama sekali sampai akhirnya kau lahir. Bagi Ibu kau adalah kesempatan kedua untuk kembali mencintai. Ibu tak tahu apa yang sedang kau hadapi dan apa yang akan terjadi padamu nanti, tapi biarkan Ibu mengatakan ini. Terima kasih sudah menjadi anakku.”

Senyum dan air matanya menembus tubuhku. Mungkin ini pertama kalinya aku benar-benar merasakan kasih sayang mengaliri tubuh ini. Kasih sayang yang selama ini kutolak dan kulupakan.

Tanpa sadar aku pun menceritakan semuanya. Kehidupanku di masa lalu, keresahanku selama ini, dan apa pertemuanku dengan Mama. Ibu mendengar semuanya tanpa menyela. Saat aku selesai dia menepuk kepalaku dan terus tersenyum.

“Ada milliaran manusia di dunia ini dan akulah yang melahirkanmu. Tak mungkin itu sebuah kesalahan. Kau mungkin merasa tersesat entah di mana, tapi bagiku kau ada di sini, di hadapanku. Tak apa untuk merasa ragu, Nak, tapi kau harus tahu aku akan tetap menyayangimu.”

Aneh bagi seseorang yang sudah hidup 25 tahun melakukan ini, tapi aku mulai menangis di pelukan Ibu. Rasanya hangat seperti di rumah. Untukku yang tersesat di ruang dan waktu, aku tak merasa ada tempat untukku pulang. Namun aku melupakan bahwa kedua kehidupanku terhubung oleh rahim seorang wanita yang menyayangiku apa adanya. Jika itu bukan rumah, lalu apa namanya?

Aku tak tahu mengapa aku terlahir kembali, tapi aku tak akan menyia-nyiakannya. Jika aku bisa membuat orang lain bahagia, meski cuma satu orang saja, itu sudah cukup. Ya, sudah cukup.

***TAMAT***
pulaukapokAvatar border
DiNa853Avatar border
jenggalasunyiAvatar border
jenggalasunyi dan 9 lainnya memberi reputasi
10
1.4K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan