ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #33 : Lift ke Lantai Dua


“Salam kenal, nama saya Mila. Mulai hari ini saya akan bekerja di sini. Mohon bantuannya.”

Rekan-rekan kerjanya bertepuk tangan dan menyambutnya. Setelah job hunting yang begitu lama Mila akhirnya diterima di sebuah perusahaan asuransi. Agak sedikit melenceng dari gelar sarjananya, tapi Mila merasa tak akan ada kesempatan lagi jika dia menolak pekerjaan ini.

“Okay Mila. Namaku Nurul, supervisormu. Ruang kerjamu ada di lantai tiga. Ayo sini kuantar.”

“Thank you.”

Bangunan setinggi sepuluh lantai itu hanya memiliki satu lift. Untungnya lift sedang kosong saat mereka masuk jadi Nurul menekan tombol ke lantai tiga dan lift langsung bergerak.

“Santai aja. Hari pertama nggak langsung kerja kok. Bos kita orang baik, asal kamu jangan terlalu malas aja.”

“Oh ya, siap Kak!”

Lift berhenti dan pintu terbuka. Mila sudah hampir melangkah keluar tapi Nurul menarik tangannya.

“Ini lantai dua,” ucapnya.

Setelah Mila lihat lagi memang lift berhenti di lantai dua. Mila melihat keluar tapi tak ada siapa pun yang hendak memasuki lift. Apa ada orang iseng yang memanggil lift dan meninggalkannya begitu saja?

Mereka mencapai lantai tiga dan Mila pun diperkenalkan pada pekerjaan barunya. Tak ada pekerjaan yang terlalu rumit (namanya juga pegawai junior). Mila diharapkan bisa mulai bekerja penuh esok hari. Dalam hati Mila tersenyum gembira. Akhirnya kehidupan baru sebagai non-pengangguran sudah menantinya.

***


“Pagi Mila. Pagi banget datangnya. Semangat hari pertama ya?”

“Iya, Pak. Takut telat juga. Rumah saya kan jauh.”

Keesokan harinya Mila bertemu Pak Broto, karyawan HRD yang dulu mewawancarainya. Mila menekan tombol ke lantai tiga sementara Pak Broto ke lantai sembilan. Suasana canggung menyelimuti mereka saat lift bergerak naik. Mila tak bisa menemukan bahan pembicaraan dan Pak Broto sendiri tampaknya tak keberatan dengan keheningan.

Mila merasa lega saat lift berhenti dan pintu terbuka. Dia mengira sudah sampai ke lantai tiga, tapi ternyata lift berhenti di lantai dua. Sekali lagi tak ada siapa pun di luar sana.

“Siapa sih yang iseng?” tanya Mila tanpa sadar.

“Udah biasa kok,” ucap Pak Broto pelan. “Abaikan saja. Abaikan saja.”

Mila tak mengerti apa maksudnya dan tak ada waktu untuk bertanya karena lift sudah sampai di lantai tiga. Dia mengucap salam ke Pak Broto dan berjalan menuju meja kerjanya.

Masih belum ada orang yang datang. Mila memang datang terlalu pagi. Dia membuat kopi untuk dirinya sendiri dan duduk sembari membaca ulang daftar hal-hal yang harus dia kerjakan. Satu demi satu rekan kerjanya berdatangan dan secara resmi Mila pun memasuki hari pertama kerja.

Pekerjaan Mila membuatnya harus secara rutin turun ke lantai satu dan berdiskusi dengan bagian administrasi. Dia sebenarnya ingin mengeluh kenapa dia tidak ditempatkan di lantai satu saja, tapi Mila menelan keluhan itu bulat-bulat.

Mila turun, bertukar data dengan bagian administrasi, lalu naik lift ke lantai tiga. Lima kali Mila menaiki lift dan lima kali juga lift berhenti di lantai dua tanpa alasan. Tak ada yang menekan tombol lantai dua dari dalam maupun luar, tetapi lift itu selalu berhenti dan terbuka. Mila mencoba berpikiran positif, mungkin ini hanyalah semacam prank untuk pegawai baru sepertinya. Namun di dalam hati Mila merasa takut.

Ada sesuatu yang tak beres dengan lift ini.

***


“Abaikan aja. Toh nggak mengganggu kan?”

Itulah yang dikatakan Nurul saat Mila menanyakan tentang lift tersebut. Memang benar fenomena itu tidak mengganggu, tapi bagaimana bisa dia mengabaikan yang seperti itu? Nurul tak ingin membicarakan hal itu lebih jauh dan Mila takut untuk memaksa.

Mungkin lift yang berhenti di lantai dua sudah menjadi bagian alami dari kehidupan mereka sehingga mereka tak lagi mempertanyakannya. Mila bertanya-tanya apakah dia juga akan seperti itu. Menjadi begitu abai akan sesuatu yang jelas-jelas tidak normal. Dia takut dia benar-benar akan jadi seperti itu.

Namun tak sampai seminggu kemudian, jawaban ternyata datang padanya.
Seperti biasa Mila datang terlalu pagi. Biasanya dia cuma disambut OB yang tengah bersih-bersih, tapi saat masuk dia melihat seorang wanita yang tengah berlutut di depan lift. Wanita itu bangkit dan berjalan pergi. Saat mereka berpapasan Mila bisa melihat wajah sedih yang mencoba menahan tangis.

Mila penasaran siapa itu dan rasa penasarannya meningkat saat melihat botol plastik berisi bunga yang diletakkan di dekat lift. Bunga itu tampak seperti dekorasi yang biasa ada di kuburan, tapi mengapa wanita itu meletakkannya di dekat lift?

“Halo Mila, masih semangat datang pagi rupanya.”

Pak Broto berjalan menghampirinya. Mila menjawab dengan senyum dan Pak Broto balas tersenyum, tapi senyumnya mendadak hilang saat melihat bunga itu.

“Kamu tau apa itu duka?” tanyanya tiba-tiba. “Duka itu cinta yang bertahan terlalu lama. Kalau cinta memang tak bisa hilang, bagaimana bisa kita menyembuhkan duka?”

Mila penasaran mengapa Pak Broto mengatakan itu, tapi tak tahu cara menanyakannya secara sopan. Akhirnya dia pun bertanya, “Wanita itu … Bapak kenal?”

“Itu Ibu Wulan. Dulu dia kerja di sini.”

Pak Broto menatap bunga itu lagi. Kesedihan terlihat di kedua matanya.

“Bu Wulan itu single mother. Dulu dia punya anak yang masih kecil, kelas satu Sd kalau nggak salah. Karena sekolah anak itu dekat dia selalu mampir kemari sepulang sekolah. Dia akan menghabiskan waktu di sini lalu pulang dengan ibunya. Tak ada yang keberatan, Bu Wulan juga bersyukur bisa terus mengawasi anaknya. Tapi ….”

Ada jeda yang lama sekali. Mila harus menahan keinginan untuk berkata ‘tapi apa?’ Pak Broto terus menatap bunga itu sembari terbenam dalam masa lalu.

“Suatu hari ada kecelakaan. Lift terjatuh dan anak itu yang ada di dalamnya meninggal. Sungguh kasihan.”

Pak Broto menekan tombol dan pintu lift pun terbuka. Mila menatap bunga itu sekali lagi sebelum ikut masuk ke dalam.

“Apa Bu Wulan ….”

“Mengundurkan diri,” jawab Pak Broto tanpa ditanya. “Kudengar dia menikah dan punya anak lagi, tapi tiap tahun dia selalu datang menaruh bunga di sana. Luka kehilangan anak memang tak mungkin sembuh. Anak itu anak yang ceria. Pegawai yang lain menyukainya dan dengan senang hati mengantarnya ke lantai dua.”

“Lantai dua?”

“Ya, lantai dua. Bu Wulan dulu kerja di lantai dua dan setiap hari anak itu mengunjunginya. Mungkin itulah alasannya kenapa lift ini selalu berhenti di lantai dua tanpa diminta.”

Lift berhenti dan membuka pintu ke lantai dua. Dalam sekejap Mila bisa melihat adegan masa lalu di mana seorang anak kecil berlari keluar dari lift dan memeluk ibunya yang tengah bekerja. Setiap hari tanpa henti, anak itu datang demi melihat ibunya karena tak bisa menahan rindu terlalu lama.

“Mila? Kamu nggak turun? Udah lantai tiga lo.”

“Hah? Oh iya, makasih Pak.”

Mila keluar dari lift, tapi jiwanya seolah tertinggal di dalam sana. Detik demi detik berlalu dan Mila pun mengambil keputusan. Tanpa pikir panjang lagi Mila berbalik dan berlari menuruni tangga. Dia keluar dari gedung dan menyusuru jalanan menuju stasiun terdekat. Tak ada jaminan orang yang dia cari ada di sana, tapi Mila terus mencari. Seperti Hachiko, seperti anak itu, dia terus mencari.

“Bu Wulan!”

Mila merasakan kelegaan yang luar biasa melihat orang yang dia cari tengah berdiri menunggu kereta yang akan datang. Dia menoleh ke arah Mila dan tanpa meminta ijin Mila langsung menarik tangannya.

“Ayo Bu! Kita temui anak Ibu!”

“Hah? Mau apa kamu?!”

“Ayo Bu! Anak Ibu masih di sana, dia cuma ingin bertemu ibunya.”

***


Dulu saat masih kecil dia pernah membaca kisah anjing bernama Hachiko. Hachiko adalah seekor anjing yang selalu menunggu tuannya pulang. Karena tak bisa menahan rindu lebih lama dia memutuskan menjemput tuannya di stasiun kereta daripada harus menunggu di rumah. Tak kenal lelah dia terus menjemput tuannya hari demi hari.

Namun suatu hari tuan Hachiko meninggal. Meski demikian Hachiko terus saja menunggu di stasiun meski tuannya tak pernah muncul. Tak peduli meski orang lain memberitahunya dan membujuknya pulang, Hachiko terus menunggu. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Hachiko terus menunggu sampai hari kematiannya.

Bagi Mila itu adalah kisah kesetiaan yang luar biasa. Sembilan tahun sembilan bulan dan lima belas hari Hachiko menunggu karena ingin bertemu tuannya lagi. Jika Hachiko yang hidup saja bisa menunggu selama itu maka berapa lama orang mati bisa menunggu?

Karena itulah Mila bersikeras membawa Bu Wulan ke lantai dua. Mereka menaiki tangga dan menunggu kedatangan anak itu. Mila bisa merasakan apa yang Wulan rasakan. Dia pasti mengingat kembali masa lalu saat ketikan keyboard mengiringi penantiannya.

Dulu Bu Wulan juga menunggu, menunggu, dan menunggu. Namun bukannya anak kesayangan, dia malah dihadapkan pada lift yang jatuh dan membunuh putrinya. Keinginan mereka tak pernah terwujud, tapi mereka masih punya kesempatan mewujudkannya.

Dan akhirnya lift itu pun datang. Tak peduli ke mana tujuan orang yang menaikinya, lift itu selalu berhenti di lantai dua. Di saat pintu itu terbuka, air mata Wulan langsung terjatuh.

Mungkin dia bisa melihatnya. Atau mungkin dia melihat kenangan dari masa lalu. Yang jelas Wulan menangis sembari memeluk anak yang sepenuh hati ingin menemuinya.

Sejak saat itu tak ada lagi keanehan di dalam lift. Lift berjalan dengan semestinya yang berarti keinginan anak itu akhirnya telah tersampaikan. Dia hanya ingin menemui ibunya, mengapa orang-orang mengabaikan keinginan seindah itu?

Di kala mengenang itu Mila selalu tersenyum. Suatu hari dia juga ingin memiliki seseorang yang selalu menunggunya.

***TAMAT***
hamudaoki989Avatar border
ceuhettyAvatar border
jembloengjavaAvatar border
jembloengjava dan 14 lainnya memberi reputasi
15
24.2K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan